Kabar muncul dari negara tetangga. Maria Rosario Vergeire, Wakil Menteri Kesehatan Filipina memutuskan menarik alat deteksi Covid-19 merek Sansure yang didatangkan dari Negeri Tirai Bambu. Dalam jumpa pers pada Sabtu, 28 Maret 2020, ia menyatakan kalau alat tersebut kurang akurat. “Akurasinya hanya 40 persen sehingga kami tak memakainya,” terang Vergeire.
Jeleknya kualitas Sansure membuat Vergeire heran. Pasalnya, alat dengan merek tersebut sudah mengantongi lisensi China Food and Drug Administration (CFDA). Pun rekomendasi Badan Kesehatan Dunia sudah didapat. Selang beberapa hari, pernyataan Vergeire dibantah Kedutaan Besar Cina di Manila. Kedubes Cina menyebut alat ini telah diuji oleh Institute for Tropical Medicine dan menunjukkan akurasi sangat baik.
Vergeire menarik pernyataannya, tetapi masalah tak berhenti. Presiden Rodrigo Duterte menduga harga Sansure terlalu mahal. “Harga wajarnya adalah 1,75 juta peso (Rp 518 juta), tetapi pemerintah harus mengeluarkan ongkos sebesar 4 juta peso per unit,” kata dia seperti dikutip CNN Filipina.
Kisruh Sansure di Filipina tak menghentikan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) untuk menggunakan merek ini. Melalui mekanisme penunjukkan langsung, lembaga yang dipimpin Doni Monardo ini menunjuk PT Mastindo Mulia, perusahaan batu bara milik taipan Prajogo Pangestu untuk mendatangkan 500.000 reagen merek Sansure. Nilainya mencapai Rp 172,5 miliar.
Di tengah meningkatnya jumlah pasien yang terjangkit virus corona, reagen Sansure gegas dikirim ke berbagai penjuru nusantara.
***
Dinas Kesehatan Papua merupakan salah satu penerima reagen merek Sansure. Jumlahnya mencapai 12.997 unit. Namun, barang kiriman BNPB tersebut tak lama berada di sana. Sebanyak 16 sampel yang dibaca dengan reagen Sansure mengembalikan hasil negatif meskipun diambil dari orang yang mengalami berbagai gejala Covid-19 seperti batuk dan demam.
“False negative begitu tinggi,” ujar Kepala Balai Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Papua Antonius Oktavian kepada tim KJI, pada Rabu, 23 Desember 2020.
Keluhan Oktavian diperkuat Balai Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan. Reagen Sansure terlalu sensitif sehingga pengujian perlu dilakukan berulang kali. Selain memakan waktu lebih lama, langkah tersebut juga terhitung boros.
Oktavian yang meragukan akurasi reagen Sansure kemudian memilih mengembalikannya ke BNPB pada 21 Agustus 2020. Ia beralih ke merek Biosensor buatan SD Biosensor, perusahaan asal Ginseng Korea Selatan, yang dinilai lebih akurat.
Penelusuran yang dilakukan KJI menemukan kalau bukan hanya merek Sansure yang bermasalah dan dikembalikan ke BNPB. Merek Seegene, Liferiver, Intron, Kogene, dan Wizprep mengalami kondisi serupa. Dari enam merek ini hanya tiga merek pertama yang direkomendasikan WHO dalam surat edaran bertarikh 20 April 2020.
Indonesia Corruption Watch mencatat sepanjang April-September 2020 sebanyak 78 laboratorium di 29 provinsi yang mengembalikan 498.644 unit komponen alat uji Covid-19. Uang yang dikeluarkan untuk membeli ratusan ribu alat tersebut lebih dari Rp 169 miliar. Hanya saja, mereka Sansure memang paling banyak dikembalikan, Dari 500 unit, hanya 3,2 persennya saja yang dipakai, sedangkan sisanya sebanyak 483.984 unit diretur.
Kepala BNPB Doni Monardo mengatakan kalau hanya beberapa laboratorium saja yang tidak memakai bisa memakai alat deteksi Covid-19 kiriman BNPB. “Kami tarik yang tidak cocok, lalu didistribusikan ke laboratorium yang cocok. Artinya tidak ada barang yang terbuang sia-sia. Semua biaya juga tanggung jawab penyedia,” ujarnya saat ditemui KJI pada Kamis, 11 Maret 2021.
Menurut peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW), Wana Alamsyah, kondisi darurat tak membuat uji teknis dan validasi alat deteksi virus bisa diabaikan sebelum mengumumkan pengadaan. Semestinya, pemerintah meminta laboratorium dan rumah sakit mengirimkan spesifikasi PCR yang sesuai alat yang mereka miliki. “Apalagi beberapa negara sudah mengumumkan penarikan Sansure,” katanya.
***
Tingkat akurasi Sansure juga menjadi masalah di Malaysia sehingga ditarik dari beberapa laboratorium rumah sakit. “Akurasinya tidak sesuai harapan,” kata Direktur Jenderal Kesehatan Malaysia Noor Hisham Abdullah.
Langkah tersebut ditindaklanjuti dengan menggunakan alat uji lain yang diproduksi Korea Selatan dan Singapura. Sama seperti di Indonesia, Milton Lum Siew Wah dari Malaysian Medical Council, mengatakan kalau pengadaan alat deteksi Covid-19 di Negeri Jiran tak melewati proses uji coba.
Segendang sepenarian, pengadaan Sansure di Indonesia, diakui Kepala BNPB Doni Monardo, juga tak melalui proses uji coba. Lantaran kelangkaan reagen PCR, keputusan pengadaan merek ini didasari rekomendasi pakar dan WHO. Selain itu, kesanggupan perusahaan untuk menyediakan 1 juta reagen PCR dalam waktu 10 hari.
Meski dikembalikan oleh banyak laboratorium, Doni berkelit kalau alat deteksi yang dikembalikan bakal didistribusikan ulang ke laboratorium yang cocok. Tak sampai di situ, kelebihan unit yang tak terpakai juga bisa dikembalikan ke perusahaan pemasok dan akan dibeli kembali. “Perusahaan bertanggung jawab dalam proses penarikan dan redistribusinya,” kata dia.
Penelusuran yang dilakukan KJI menemukan kalau ribuan unit alat deteksi Covid-19 yang dikembalikan laboratorium, menumpuk di gudang BNPB di BGR, Kelapa Gading. BNPB, ketika dikonfirmasi pada Kamis, 11 Maret 2021, juga tak dapat menunjukkan kalau mereka telah menjalankan rekomendasi BPKP untuk melakukan redistribusi alat-alat tersebut.
Artikel ini merupakan laporan ketiga Jaring.id terkait pengadaan reagen Covid-19 di Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB). Sebelumnya, kami menerbitkan “Alkes Bermasalah Kiriman BNPB” dan wawancara Kepala BNPB, Doni Monardo berjudul “Kami Pikir Semua Merek Sama.” Liputan ini bertolok pada kerja-kerja jurnalistik oleh sejumlah media yang tergabung dalam Klub Jurnalis Investigasi (KJI) dan kajian dari Indonesia Corruption Watch (ICW).