Ramai-ramai Tolak Bisnis Vaksin

Vaksinasi gotong royong di Tenis Indoor Senayan, Jakarta, 21 Juni 2021. (Dok: Jaring.id)

Pemerintah dituntut untuk segera mencabut peraturan vaksinasi Covid-19 berbayar. Kutipan atas barang yang harusnya menjadi milik publik ini dinilai membebani dan tidak peka terhadap kesulitan masyarakat menghadapi pandemi. Rachmi Hertanti, peneliti dari Indonesia for Global Justice menyatakan bahwa aturan vaksinasi berbayar ini menjadi bukti dari kegagalan pemerintah memecahkan masalah aksesibilitas publik terhadap vaksin. “Ini kegagalan kebijakan pemerintah. Penetapan vaksin gotong royong sudah salah sedari awal. Kebijakan itu berlangsung di tengah ketimpangan akses vaksin,” ujar Rachmi dalam konferensi pers koalisi warga untuk keadilan akses kesehatan menanggapi bisnis vaksinasi Covid-19, Senin, 12 Juli 2021.

Koalisi masyarakat sipil ini terdiri dari sejumlah lembaga swadaya masyarakat, antara lain LaporCovid19, YLBHI, ICW, Lokataru, PSHK, TII, KontraS, Indonesia Global Justice (IGJ), RUJAK, Covid Survivor Indonesia (CSI) dan Aliansi Jurnalis Independen (AJI).

Skema bayar vaksinasi bagi individu ini merupakan perubahan dari program vaksinasi gotong royong (VGR) yang pembayarannya dibebankan kepada badan usaha maupun badan hukum. Pelaksaaan vaksin bagi pekerja ini sebelumnya diatur dalam Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 10 Tahun 2021 tentang Pelaksanaan Vaksinasi Penanggulangan Pandemi Covid-19. Namun, Kementerian Kesehatan mengubah ketentuannya melalui Permenkes Nomor 19 Tahun 2021 pada 6 Juli lalu. Dalam aturan baru ini disebutkan bahwa pendanaan pelaksaan vaksinasi yang menggunakan vaksin merek Sinopharm dibebankan kepada masing-masing individu.

Harga vaksin yang dibikin oleh China National Pharmaceutical Group Corp ini dipatok seharga Rp 321.660 perampul, ditambah biaya pelayanan yang lapaknya digelar oleh PT Kimia Farma (Persero) sebesar Rp 117.910. Maka tiap orang yang hendak divaksin perlu membayar uang sejumlah Rp 879.140 untuk dua kali penyuntikan. Hal ini sesuai dengan Keputusan Menteri Kesehatan Nomor HK.01.07/MENKES/4643/2021.

Rachmi menilai vaksin Covid-19 untuk warga tidak bisa diperjualbelikan di tengah situasi darurat. Terlebih produksi dan distribusi vaksin masih menjadi masalah di seluruh negara. Persoalan ini bertambah pelik karena indsutri farmasi di negara maju, menurut Rachmi, tengah melakukan praktik monopoli pengetahuan pembuatan vaksin Covid-19. Padahal, semua negara harus mendapat jatah vaksin terutama di negara-negara yang rentan, seperti Indonesia yang kasus hariannya lebih dari 30 ribu per hari.

Oleh sebab itu, ia khawatir harga vaksin yang sudah dipatok pemerintah tersebut bisa menjadi terlampau mahal karena suplainya terbatas. Kata dia, mekanisme pasar ini yang akan mengakibatkan masyarakat makin sulit untuk mengakses zat yang dapat merangsang kekebalan tubuh tersebut. Tanpa akses yang merata, maka imunitas kelompok yang digadang-gadang pemerintah akan sulit tercapai. “Harga bisa jadi kemahalan karena suplainya terbatas. Tidak mungkin swasta itu membeli sendiri. Vaksin gotong royong seharusnya tidak dilakukan,” ucapnya.

Alih-alih mengalihkan beban kepada masyarakat, pemerintah harusnya memastikan proses distribusi vaksin yang saat ini tersedia, serta mengusahakan produksi vaksin alternatif di luar merek yang sudah beredar saat ini, seperti Sinovac, Sinopharm dan Astra Zaneca. Dalam hal ini, penting bagi Indonesia untuk terlibat penuh dalam mendukung proposal TRIPS Waiver yang diusung India dan Afrika Selatan untuk mendapatkan akses vaksin Covid-19 yang adil dan merata.

“Terakhir memperkuat kerjasama Selatan-Selatan. Kenapa? Hari ini ada beberapa negara yang mau berbagi teknologi dan know-how soal kandidat vaksin. Seperti negara di Amerika Selatan, seperti Kuba dan lainnya.  Sekarang kalau pemerintah mau pasokan vaksin lebih banyak dan murah Kerjasama itu mesti berjalan. Kuncinya ada di pasokan. Siapa yang bisa mengontrol produksi, distribusi dan harga akan berdampak pada kemampuan negara dalam program vaksinasi,” jelasnya.

Direktur Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Asfinawati sangsi pemerintah telah menggunakan seluruh sumber dayanya untuk membantu rakyat menghadapi krisis pandemi Covid-19. Dalam pendistribusian vaksin misalnya, Asfin melihat bagaimana pemerintah melalui usaha Negara, yakni PT Kimia Farma belum dapat mendistribusikannya dengan baik. Hingga Senin, 12 Juli 2021, tercatat baru 37.27 persen atau 15 juta lebih orang yang sudah mendapat vaksin dosis kedua. “Sumber daya negara ini tidak ditujukan pada rakyat, tapi orang yang mampu bayar seperti vaksin gotong royong ini,” ujar Asfin.

Menurut Asfin, vaksin berbayar telah melanggar segudang aturan dalam penanganan pandemi. Mulai dari Undang-Undang Nomor 6 tentang Karantina Kesehatan dan UU Nomor 27 Tahun 2007 tentang Kebencanaan, Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 11 Tahun 2020 tentang Penetapan Kedaruratan Kesehatan Masyarakat Corona Virus Disease 2019 (COVID-19), serta Keppres tentang Penetapan Bencana Nonalam Penyebaran Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) Sebagai Bencana Nasional yang terbit pada 13 April 2020 lalu.  Seluruh aturan tersebut, kata dia, sama-sama menyebutkan bahwa pemerintah wajib memenuhi pelayanan kesehatan warga. “Bahkan orang yang mampu pun tidak harus bayar. Untuk apa ada Kepres itu tapi kenapa tidak dijalankan,” ucapnya.

Sejumlah orang menunggu laporan KIPI usai vaksin Covid-19 di Tenis Indoor Senayan, Jakarta. (Dok: Jaring.id)

Sementara itu, Direktur Pengembangan Organisasi dan Sumber Daya Penelitian PSHK (Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia), Rizky Argama menyoroti penggunaan Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1984 tentang Wabah Penyakit Menular sebagai dasar hukum penerbitan Permenkes Nomor 19 Tahun 2021. Sekalipun aturan ini meminta keterlibatan swasta maupun masyarakat, menurut dia, Pasal 10 UU tersebut secara tegas menyatakan bahwa pemerintah bertanggungjawab penuh atas biaya pengendalian wabah yang meluas. Dalam konteks ini berarti wabah virus corona.

Adapun yang perlu dilakukan seperti tertera dalam Pasal 5 (1) meliputi penyelidikan epidemiologis; pemeriksaan, pengobatan, perawatan, dan isolasi penderita, termasuk tindakan karantina; pencegahan dan pengebalan;  pemusnahan penyebab penyakit; penanganan jenazah akibat wabah;  penyuluhan kepada masyarakat; upaya penanggulangan lainnya.  “Peran serta swasta atau masyarakat itu bisa banyak hal, misal dalam soal membantu distribusi, dalam pelaksaan. Tapi yang jelas bukan menjadikan barang publik menjadi komoditas ekonomi,” tegasnya.

Menteri Kesehatan, Budi Gunadi Sadikin dalam konferensi pers daring hari ini, Senin, 12 Juli 2021, mengungkapkan alasan utama pemberlakukan program vaksinasi gotong royong berbayar. Skema penjualan tersebut bersifat pilihan (opsional) untuk melebarkan jangkauan vaksin. “Untuk vaksin gotong royong di rapat terbatas tadi juga ditegaskan bahwa vaksin gotong royong ini merupakan opsi. Jadi apakah masyarakat bisa mengambil atau tidak, prinsipnya pemerintah membuka opsi yang luas,” kata Budi.

Menurutnya, saat ini tidak sedikit pengusaha yang belum mendapatkan vaksin melalui program Kamar Dagang dan Industri (Kadin). Selain itu, warga negara asing yang sudah lama tinggal dan berusaha di Indonesia, seperti dalam bidang kuliner dan seni pun belum mendapatkan akses. “Misalnya mereka juga ingin mendapatkan akses ke vaksin gotong royong itu juga bisa mendapatkan akses ke vaksin gotong royong yang individu,” ujarnya.

“Sedangkan masyarakat yang ingin mengambil opsi yang lain, juga tersedia, sehingga semua opsi tersedia,” sambungnya.

Sebelumnya, PT Kimia Farma (Persero) menunda pembukaan lapak vaksinasi berbayar. Menurut Sekretaris Perusahaan, Ganti Winarno Putro, penundaan dilakukan sampai waktu yang tidak ditentukan. “Kami mohon maaf karena jadwal Vaksinasi Gotong Royong Individu yang semula dimulai hari Senin, 12 Juli 2021, akan kami tunda hingga pemberitahuan selanjutnya,” katanya dalam keterangan tertulis.

Kimia Farma, Ganti menambahkan, butuh waktu lebih banyak guna menyosialisasikan program vaksinasi gotong royong berbayar dan merumuskan skema pendaftaran peserta vaksinasi.

Meski begitu, salah seorang penyintas yang tergabung dalam komunitas Covid Survivor Indonesia, Juno Simorangkir meminta agar pemerintah maupun PT Kimia Farma mengurungkan niat melabeli vaksin dengan harga. Sebab, menurutnya, aturan vaksin berbayar bertolak belakang dengan prinsip vaksinasi, yakni merata dan adil. Dalam hal ini, sebelumnya pemerintah membikin daftar prioritas penerima vaksin Covid-19, antara lain bagi tenaga medis, guru, aparatur negara, pedagang serta orangtua. Sementara penyintas seperti Juno paling tidak harus menunggu tiga bulan lebih lama untuk disuntik vaksin.

“Selama ini kami menunggu karena anjuran pemerintah hingga bulan ketiga setelah sembuh. Walau banyak yang ingin, tapi ini untuk kebaikan orang banyak, sehingga kami tidak boleh egois. Mendahulukan yang lebih perlu didahulukan. Penyintas itu 2,5 juta. Tapi dari skala prioritas, kami semua ini berada paling bawah,” ungkapnya.

Juno berharap pemerintah tetap berpegang pada aturan sebelumnya sembari mempercepat distribusi vaksin kepada masyarakat. “Kalau kondisi normal bisa saja berbayar. Ini soal hidup dan mati. Kok sempat terpikir menjual vaksin ini? Jangan sampai hak vaksinasi ini jadi guyonan,” ujar Juno.

Senada dengan Juno, Direktur Eksekutif Lokataru, Haris Azhar menilai vaksin berbayar merupakan kesewenang-wenangan kekuasaan untuk mencari uang di tengah kiris. Padahal saat ini, harusnya pemerintah, termasuk perusahaan BUMN fokus mengedukasi masyarakat tentang betapa pentingnya pembatasan mobilitas, serta memastikan proses vaksinasi berjalan hingga ke pelosok daerah sampai menyediakan sumber daya untuk vaksinasi. Jika perlu Menteri BUMN, Erick Thohir turun langsung untuk memvaksinasi masyarakat. “Misalnya ke pulau-pulau terluar harus datang ke pulau yang jauh, padahal disuntiknya hanya dua detik. Kimia Farma, seharusnya oleh Menkes dan BUMN disuruh bikin perahu,” ungkapnya.

Haris menilai kebijakan vaksin Covid-19 berbayar menunjukkan carut-marutnya tata kelola pemerintah dalam menanggulangi krisis kesehatan. “Para pejabat gagal mendeteksi, mencegah, ketika memburuk orang dipaksa membeli. Di sisi lain masyarakat belum mengerti PPKM. Mereka harus bertahan hidup. Menurut saya kebijakan ini kejam,” pungkasnya.

Berlangganan Kabar Terbaru dari Kami

GRATIS, cukup daftarkan emailmu disini.