September 1969, sebuah konferensi pers antiperang Vietnam digelar di Haverford College, Pennsylvania, Amerika Serikat. Bagian dari pertemuan War Resisters’ International, sebuah organisasi antiperang yang beranggotakan para aktivis antiperang dari 30 negara. Randy Kehler, seorang aktivis perdamaian yang menolak wajib militer, berpidato di sana. Ia menyebut perang Vietnam telah “memakan anak-anak muda Amerika Serikat”. Hari itu adalah hari Kehler bersiap masuk penjara. Penolakannya terhadap wajib militer dan kampanye antiperang yang ia lancarkan terus-menerus membuatnya diseret ke penjara.
Kalimat yang dilontarkan Kehler tentang perang yang memakan anak-anak muda Amerika Serikat bercokol dalam kepala Daniel Ellsberg. Lari ke toilet di tengah acara konferensi pers, Ellsberg menangis kurang lebih satu jam. Ellsberg adalah analis militer yang tergabung dalam tim penyusun Pentagon Papers, studi tentang perang Vietnam yang dipimpin oleh Menteri Pertahanan AS Robert McNamara. Ia adalah salah satu orang yang paling tahu bahwa AS seharusnya sudah sejak lama menghentikan pengiriman pasukan ke Vietnam. AS tidak akan pernah memenangkan perang tersebut.
Adegan konferensi pers Kehler maupun Ellsberg yang menangis di toilet tidak ada dalam The Post, film nominasi Oscar 2018 besutan Stephen Spielberg. Namun momen “pertemuan” Ellsberg dengan Kehler itulah yang sebenarnya melandasi seluruh cerita The Post. Momen tersebut tercatat dalam memoir Ellsberg Secrets: A Memoir of Vietnam and the Pentagon Papers yang dirilis tahun 2002.
Dihantui rasa bersalah setelah mendengar pidato Kehler, sepekan setelah konferensi pers tersebut, Ellsberg mengambil dokumen Pentagon Papers yang ia simpan di RAND Corpororation, lembaga riset dimana ia berkantor, dan mulai memfoto copy dokumen setebal 7.000 halaman.
Awalnya, Ellsberg berniat hanya berbagi dokumen ini dengan anggota parlemen dan berharap parlemen punya kekuatan untuk memaksa pemerintah menarik pasukan dari Vietnam. Namun ketika lobby yang ia lakukan sepanjang tahun 1970 gagal meyakinkan parlemen, Ellsberg pun mulai berpikir membuka dokumen tersebut ke media. The New York Times adalah media pertama yang yang menjadi targetnya karena ia mengenal dan pernah bekerja sama dengan Neil Sheehan, jurnalis senior the New York Times.
Dari sinilah cerita The Post dimulai. Ben Bradlee-dimainkan dengan baik oleh Tom Hanks-, redaktur eksekutif the Washington Post, pada Sabtu 12 Juni 1971, melontarkan kekhawatirannya di ruang redaksi bahwa New York Times bakal memiliki headline istimewa di hari Minggu karena Sheehan tak hadir dalam konferensi pers yang menyoal pernikahan anak perempuan Presiden Richard Nixon. Menyuruh seorang reporter magang pergi ke New York untuk mencari tahu dummy halaman satu the Times edisi Minggu, kekhawatiran Bradlee terbukti. Minggu 13 Juni 1971, the Times memunculkan berita tentang Pentagon Papers di halaman 1, berdampingan dengan berita tentang pernikahan anak Nixon, anggaran New York City, dan konflik India-Pakistan.
The Post “kebakaran jenggot”. Setiap kalimat “menurut the New York Times” yang tertulis dalam berita Pentagon Papers, dalam pengakuan Bradlee di kemudian hari, membuat “panas” jurnalis the Post. Itu artinya bahwa the Times mendapatkan berita eksklusif. The Times satu langkah lebih maju dibanding the Post.
Kebebasan Pers VS Rahasia Negara
Berusaha menemukan siapa whistleblower di balik berita Pentagon Papers, Bradlee mendapatkan pemberitahuan awal dari Katherine “Kay” Graham—dimainkan oleh Meryl Streep—bahwa the Times bakal ditutup sementara gara-gara berita Pentagon Papers. Perintah penutupan berasal dari jaksa agung. The Times dianggap membocorkan rahasia negara. Alih-alih mensyukuri situasi karena “belum” mempublikasikan Pentagon Paper sehingga tak perlu mempertaruhkan risiko seperti the Times, Bradlee makin bersemangat untuk menemukan dokumen Pentagon tersebut dan mempublikasikannya. Meski ia juga paham dilema yang dihadapi Kay sebagai pemilik the Post yang lebih menimbang “periuk nasi” para karyawan, juga perkawanan Kay dengan McNamara.
Kay adalah sentral cerita Spielberg. Sebagai perempuan yang mewarisi perusahaan keluarga dari mertuanya, setelah suaminya meninggal mendadak, Kay dianggap tidak punya kompetensi. Ia hanya dianggap sosialita yang tidak becus mengurus perusahaan koran. Namun Kay tidak sedangkal itu. Keyakinannya bahwa keberhasilan sebuah perusahaan koran diukur dari kualitas berita yang ditampilkannya dan bukan kompromi-kompromi non-substantif di luar itu, membuat ia berada di sisi Bradlee saat harus berhadapan dengan para bankir yang menginginkan the Post tidak mempublikasikan dokumen Pentagon Papers. Satu-satunya cara untuk melindungi hak mempublikasikan adalah dengan mempublikasikannya.
Adalah Ben Bagdikian, redaktur nasional the Post, yang pada akhirnya berhasil mendapatkan dokumen tersebut dari Ellsberg. Bagdikian pernah bekerja di RAND Corporation sehingga ia langsung dipercaya oleh Ellsberg. Rabu 16 Juni 1971, Bagdikian terbang ke Boston menemui Ellsberg dan mendapatkan dokumen tersebut. Esok harinya dengan penerbangan kelas satu, Bagdikian balik ke Washington DC dengan memesan dua kursi. Satu untuk dirinya dan satu untuk tumpukan kardus berisi dokumen.
Bradlee, setelah mendapat persetujuan Kay lewat perdebatan yang alot, memutuskan menerbitkan dokumen tersebut keesokan harinya. Jumat sore, asisten jaksa agung menelpon Bradlee untuk menghentikan publikasi Pentagon Papers. Namun seperti halnya the Times, Bradlee menolak perintah ini, sehingga the Post bersama the Times harus berhadapan dengan negara di pengadilan. Tanggal 25 Juni 1971, kasus ini masuk ke Mahkamah Agung. Lima hari kemudian Mahkamah Agung memenangkan the Post dan the Times. Amendemen I Konstitusi Amerika Serikat menjamin kebebasan pers. Negara tidak bisa membungkamnya dengan alasan apapun.
Dua tahun setelah itu, usai menurunkan laporan investigasi tentang skandal Watergate yang berujung pada pengunduran diri Nixon, Bradlee menulis: “Selama seorang jurnalis mengatakan kebenaran, berdasarkan nurani dan azas keadilan, maka ia tak perlu khawatir konsekuensinya.”
Era Post-Truth dan Sindiran untuk Trump
Spielberg memutuskan menyutradai the Post setelah ia membaca naskah yang dibuat Liz Hannah dan Josh Singer. Dalam wawancara dengan the Guardian yang dipublikasikan 19 Januari 2018, Spielberg mengatakan keputusan itu ia ambil segera karena kebutuhan mendesak saat ini ketika pemerintah selalu menuding pers sebagai pembuat berita bohong. Di era dimana semua orang bisa membuat dan menyebarluaskan informasi lewat bantuan teknologi digital, pers kerapkali ikut terseret dalam arus ini. Gagal membedakan mana fakta dan mana berita bohong. Hal inilah yang membuat pers saat ini kerapkali justru dituduh—setidaknya menurut Presiden AS Donald Trump—sebagai “musuh masyarakat” karena membawa berita bohong. Hasil survey Gallup baru-baru ini mengungkap hanya 1 dari 4 orang Amerika yang mempercayai media massa, dalam hal ini surat kabar. Survei yang dirilis Reuters Institute for the Study of Journalism tahun lalu juga mengungkap 33 persen dari 70.000 responden dari 36 negara mengaku tidak bisa mempercayai kebenaran berita.
Sayangnya, dalam film ini, Spielberg tidak memberikan porsi besar untuk Ellsberg. Tidak diceritakan apa yang terjadi dengan Ellsberg pasca membocorkan dokumen tersebut, selain bahwa belasan koran lain kemudian mengikuti jejak the Times dan the Post mempublikasikan dokumen Pentagon. Spielberg justru sangat kentara memberikan porsi besar pada keberanian para perempuan di balik publikasi Pantagon Papers. Mulai dari persetujuan publikasi yang diambil Kay, perempuan misterius yang memberikan dokumen di meja redaksi the Post, perempuan pegawai Kejaksaan yang berterima kasih kepada Kay menjelang putusan di Mahkamah Agung, hingga para aktivis perempuan anti-perang yang berdiri di luar gedung Mahkamah Agung dan memberikan jalan untuk Kay.
Meski demikian, The Post dirilis pada momen yang tepat. Momen ketika orang ragu kepada siapa mereka harus bersandar mendapatkan informasi yang benar. Momen ketika mayoritas jurnalis lebih senang mengutip statement daripada berjibaku memverifikasi data dan menelusuri fakta. The Post setidaknya mengembalikan ingatan terhadap tugas paling mendasar yang harusnya dilakukan oleh jurnalis, seperti dikatakan Bradlee: “They learn, they report, they verify, they write and they publish.”