Pilkada serentak 2015 merupakan bagian dari desain jangka panjang Pilkada serentak di Indonesia. Saat ini beberapa pihak seperti LIPI, Perludem, dan lembaga-lembaga lainnya yang terkait dengan regulasi pemiilu sedang melakukan kajian terkait hal ini. Dua opsi yang muncul adalah pemilu didesain pemilu nasional dan lokal atau pemilu legislatif dan eksekutif.
Pada awalnya, Komisi Pemilihan Umum (KPU) mengusulkan agar Pilkada serentak diawali dengan gelombang pertama pada tahun 2016 dan gelombang kedua pada 2017, sehingga pada 2021 Pilkada sudah bisa dilangsungkan secara serentak di seluruh daerah di Indonesia. Namun, pemerintah berkata lain. Mereka menetapkan proses Pilkada serentak diawali dengan tahap pertama yang berlangsung pada 2015, 2017, dan 2018. Kemudian dilanjutkan oleh tahap kedua yang berlangsung pada 2020, 2022, dan 2023. Adapun Pilkada serentak di seluruh daerah di Indonesia dijadwalkan berlangsung pada 2027. Alasan di balik penetapan tersebut adalah agar ada kontinuitas dan tidak ada Plt (pelaksana tugas) yang terlalu
lama mengisi pos Kepala Daerah.
Tahapan Pilkada
Sesuai dengan UU no.8 tahun 2015 KPU membuat tahapan siklus Pilkada serentak yang dimulai Desember 2015. Dimulai pada April 2015 ketika Daftar Agregat Kependudukan (DAK2) diserahkan pemerintah. Setelah itu, KPU baru menentukan anggota-anggota Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK), Panitia Pemungutan Suara (PPS), proses pemutakhiran Data Penduduk Potensial Pemilih Pemilu (DP4) dan seterusnya.
Pilkada serentak 2015 ditentukan jatuh pada hari Rabu tanggal 9 Desember dengan dua pertimbangan. Pertama, terkait dengan hari. Jika Pilkada dilakukan pada Sabtu atau Minggu kemungkinan voter turnout-nya akan rendah karena banyak pemilih yang sedang berlibur. Tidak juga hari Jumat dan Senin karena kemungkinan pemilih berlibur juga besar sebab berdekatan dengan akhir pekan.
Kedua, terkait dengan tanggal. Ditentukan tanggal 9 untuk mencegah terjadinya kesamaan dengan nomor urut calon Kepala Daerah yang menggunakan angka 1 hingga 5. Ini pernah terjadi saat pemilihan Kepala Daerah Karawang, Jawa Barat yang dilakukan pada 2 Oktober dan ternyata pasangan calon no.2 yang memenangkan Pilkada tersebut. Tanggal 9 Desember juga dipilih agar tidak mengganggu persiapan umat Kristiani dalam merayakan Hari Raya Natal dan tahun baru.
Salah satu tahapan penting dari seluruh rangkaian proses Pilkada adalah pencalonan. Anggota KPU di daerah banyak yang diadukan ke DKPP karena urusan ini. Masalah pencalonan yang paling banyak terjadi disebabkan oleh kasus dualisme partai.
Hal lain yang perlu diperhatikan adalah pemutakhiran daftar pemilih. Pilkada serentak 2015 bersifat lokal sehingga azas yang berlaku adalah domisili. Terkait hal ini yang harus diperhatikan adalah potensi mobilisasi. Misalnya saja seorang kepala desa—karena tekanan Kepala Daerah—membuat semacam surat keterangan domisili untuk memobilisasi massa pendukung pasangan calon tertentu datang ke TPS.
Perbedaan lain yang muncul dalam UU yang baru adalah keikutsertaan penderita gangguan mental dalam Pilkada. Dalam UU no.8 tahun 2012 yang berlaku sebelumnya, penderita gangguan mental diperbolehkan ikut dalam pemilihan. Namun, dalam UU yang berlaku saat ini ada klausul yang menyebut bahwa penderita gangguan mental tidak bisa memilih atas keterangan dari dokter. Dengan demikian, maka mereka tetap bisa memilih jika tidak ada surat keterangan tersebut. Jadi, sebetulnya kepentingan mereka juga terakomodir.
Proses penyiapan dan pendistribusian logistik juga harus terus dikawal. Begitu juga halnya dengan rekap suara. Penghitungan suara berlangsung di TPS, dilanjutkan dengan rekap di PPK—tidak lagi di PPS—lalu KPU Kabupaten/Kota dan KPU Provinsi jika ada pemilihan Gubernur.
Poin lainnya adalah penegakan hukum sengketa pemilu. Ada dua badan yang terkait dengan hal ini, yakni Bawaslu dan lembaga peradilan. Jika terjadi pelanggaran administrasi, maka KPU yang akan menangani dan menindaklanjuti dengan memberikan teguran dan peringatan. Tapi jika yang terjadi adalah pelanggaran pidana, maka hal tersebut akan diurus oleh kepolisian dan kejaksaan.
Sementara itu, persoalan yang terkait dengan sengketa hasil diurus oleh Mahkamah Konstitusi seperti amanat UU. Adapun sengketa mengenai proses pencalonan ditangani oleh Bawaslu, PTPUN, dan Mahkamah Agung. Perbedaan dengan Pilkada sebelumnya adalah gugatan hanya bisa dilakukan dalam kurun waktu tahapan yang ada. Dalam Pilkada sebelumnya orang dimungkinkan untuk mempersengketakan pencalonan di luar periode tahapan yang ada. Adapun dalam Pilkada serentak 2015 jika masih ada proses pencalonan yang disengketakan hingga tingkat kasasi, maka putusan MA paling lambat dikeluarkan sebelum tanggal 15 November 2015. Proses sengketa yang dibatasi periode tertentu ini ditujukan agar tidak mengganggu proses-proses lainnya dalam Pilkada seperti pencetakan surat suara dan alat peraga kampanye.