Perlindungan Wartawan Masih Bermasalah

Perlindungan hukum bagi wartawan dinilai masih lemah meski Indonesia sudah memiliki jaminan perlindungan yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers. Aliansi Jurnalis Independen (AJI), begitu juga Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) sepakat bahwa persoalan terkait perlindungan kerja-kerja jurnalistik bukan terletak pada norma hukum, melainkan pada pelaksanaan dan koordinasi antar lembaga yang sampai saat ini belum konsisten.

Hal tersebut disampaikan kedua organisasi wartawan dalam sidang lanjutan uji materiil dengan agenda mendengarkan keterangan sebagai Pihak Terkait dalam perkara Nomor 145/PUU-XXIII/2025 yang diajukan oleh Ikatan Wartawan Hukum (IWAKUM). Selain PWI dan AJI, hadir pula anggota Dewan Pers, Abdul Manan, dan perwakilan pemerintah dan DPR.

Sidang yang digelar Selasa, 21 Oktober 2025 ini dipimpin oleh Ketua MK Suhartoyo dan dihadiri tujuh hakim konstitusi lainnya, yakni Arief Hidayat, Enny Nurbaningsih, Arsul Sani, Saldi Isra, Daniel Yusmic P. Foekh, M. Guntur Hamzah, dan Ridwan Mansyur. Dalam persidangan, para hakim menyoroti bentuk konkret pelindungan hukum yang dibutuhkan jurnalis, serta membandingkannya dengan praktik di negara lain.

Sekretaris Jenderal AJI, Bayu Wardhana menyampaikan beberapa permohonan dalam petitum pemohon—khususnya angka (2) dan (3)—yang justru berpotensi menyempitkan makna perlindungan hukum hanya pada konteks tindakan kepolisian atau gugatan hukum. Padahal, menurut AJI, Pasal 8 UU Pers memberikan jaminan pelindungan hukum yang lebih luas, baik bagi jurnalis maupun bagi kerja-kerja jurnalistik.

Bayu menjelaskan bahwa Pasal 8 sudah memberikan kepastian hukum, karena dalam penjelasannya disebutkan bahwa pemerintah dan masyarakat wajib melindungi jurnalis yang menjalankan tugas berdasarkan ketentuan hukum yang berlaku. Namun, tantangan terletak pada kurangnya penegakan dan implementasi pasal tersebut, terutama oleh pemerintah.

“Pemerintah harus lebih aktif memberikan perlindungan pada jurnalis sebagaimana diamanatkan Pasal 8 UU Pers. Bentuknya bisa berupa bantuan hukum bagi jurnalis yang dikriminalisasi, serta penegakan hukum tegas terhadap aparat yang melakukan kekerasan agar menimbulkan efek jera,” ujar Bayu.

Bayu mencontohkan kasus gugatan perdata Rp 200 miliar yang diajukan Menteri Pertanian Amran Sulaiman ke Tempo maupun kasus pidana yang melibatkan Pemred Banjarhits Diananta pada 2020 lalu. Kedua kasus ini sudah mendapatkan keputusan dari Dewan Pers sesuai UU Pers no 40/1999, namun diabaikan oleh pemerintah maupun Kepolisian. Oleh sebab itu, Ketua Umum Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia Nany Afrida menilai sengketa pemberitaan sudah seharusnya diselesaikan melalui mekanisme yang telah diatur dalam UU Pers, apakah itu hak jawab atau koreksi maupun penyelesaian di Dewan Pers sebagai mediator.

Apabila tidak dilakukan, maka segala bentuk gugatan terhadap pers, termasuk gugatan perdata Amran terhadap Tempo ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan merupakan pemberangusan kebebasan pers. Gugatan ini menjadi preseden buruk bagi demokrasi dan ekosistem pers di Tanah Air. “Ini upaya pembungkaman dan pembangkrutan. Ini pengen menutup Tempo,” kata Nany dalam diskusi publik yang digelar AJI Jakarta di Jakarta pada Senin, 20 Oktober 2025.

Perkara gugatan Kementerian Pertanian kepada Tempo telah parkir di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan dengan nomor 684/Pdt.G/ 2025/PN JKT SEL. Perkara ini muncul setelah Amran mempersoalkan poster berita Tempo berjudul “Poles-Poles Beras Busuk”. Judul tersebut mewakili isi artikel yang mengungkap penyerapan gabah oleh Bulog melalui kebijakan any quality dengan harga tetap Rp 6.500 per kilogram. Akibat kebijakan ini, petani menyiram gabah yang berkualitas bagus agar bertambah berat. Gabah yang diserap Perum Bulog pun menjadi rusak. Kerusakan gabah juga telah diakui Menteri Pertanian seperti dalam kutipan di artikel berjudul “Risiko Bulog Setelah Cetak Rekor Cadangan Beras Sepanjang Sejarah”.

Dalam gugatan ini, Amran mengklaim Tempo telah berbuat melawan hukum yang menimbulkan kerugian materil maupun immateril. Menurut penggugat, perbuatan Tempo berdampak pada penurunan kinerja Kementerian Pertanian, mengganggu keberjalanan program dan kegiatan, serta berdampak pada kepercayaan publik terhadap Kementerian Pertanian.

Sementara itu, Nurina Savitri dari Amnesty International Indonesia yang juga mewakili Komite Keselamatan Jurnalis (KKJ) menyebut gugatan yang menimpa Tempo merupakan bentuk serangan terhadap jurnalis dan media. Sejak Januari-September 2025, Nurina mengatakan KKJ mencatat jurnalis atau media menjadi korban paling dominan yang mendapat serangan dari aktor negara.

Nurina mengatakan gugatan terhadap media ini juga bukan kali pertama terjadi. Di Makassar, Sulawesi Selatan,  sebanyak enam media juga digugat perdata senilai Rp 100 triliun pada Desember 2021. Gugatan ini muncul karena seorang bernama Akbar Amir keberatan karena 6 media tersebut menulis dirinya bukan keturunan Raja Tallo. “Ruang sipil untuk mengkritik kebijakan negara sudah sempit, bahkan hilang,” katanya.

Pengacara yang juga Kuasa Hukum Tempo dari Lembaga Bantuan Hukum Pers, Wildanu Syahril Guntur, mengatakan Tempo telah memenuhi seluruh rekomendasi Dewan Pers dalam kasus ini.  Lima rekomendasi di antaranya mengganti judul di poster yang diunggah di akun Instagram Tempo; menyatakan permintaan maaf; serta melakukan moderasi konten. Sisa poin lainnya berbunyi agar Tempo melaporkan kembali ke Dewan Pers bahwa telah melaksanakan rekomendasi yang diberikan.

Karena itu, Guntur menyayangkan adanya gugatan ini karena telah mengabaikan mekanisme sengketa pers yang diatur dalam UU Pers. Menurut dia, seharusnya semua pihak patuh terhadap Pernyataan, Penilaian, dan Rekomendasi (PPR) yang dikeluarkan Dewan Pers.  “Karena pers sebagai kontrol sosial, perannya penting untuk mengawasi penyalahgunaan kekuasaan. Ketika prosedur ini diabaikan yang harus kita lakukan meluruskan bersama,” katanya.

Di samping itu, Guntur mengajak semua masyarakat untuk mendukung dan mengawal gugatan terhadap Tempo. Menurut Guntur, semua pihak harus mewujudkan cita-cita bersama, yaitu kemerdekaan pers di Indonesia.

Atas gugatan perubahan UU PERS, Ketua Umum Persaatuan Wartawan Indonesia (PWI) Akhmad Munir menegaskan bahwa masalah utama dari maraknya gugatan hukum terhadap media bukan pada substansi Pasal 8 UU Pers, melainkan pada implementasi dan dampaknya di lapangan. Karenanya, pasal tersebut tidak perlu diubah. Munir menekankan pentingnya memaknai pelindungan hukum secara aktif dan komprehensif, dengan memperkuat koordinasi antara Dewan Pers, aparat penegak hukum, dan organisasi wartawan agar tidak terjadi tumpang tindih kewenangan.

“Pelindungan hukum tidak boleh diartikan sebagai kekebalan hukum, melainkan sebagai perwujudan semangat konstitusi sebagaimana diatur dalam Pasal 28F UUD 1945,” ujarnya.

Sebelumnya, Ikatan Wartawan Hukum (Iwakum) mengajukan uji materi terhadap Pasal 8 dan Penjelasan Pasal 8 Undang-undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers ke Mahkamah Konstitusi (MK). Dalam permohonannya, pemohon menilai makna pelindungan hukum dalam pasal tersebut masih sangat multitafsir. Dalam pasal tersebut tidak diterangkan secara rinci yang jelas tentang mekanisme atau prosedur spesifik apabila pers sedang menjalankan profesinya berhadapan dengan aparat penegak hukum, ataupun mendapatkan laporan maupun gugatan terhadap berita yang diterbitkan.

Dalam hal ini Iwakum mengajukan 2 alternatif tafsir pasal 8 menjadi:

Tindakan kepolisian dan gugatan perdata tidak dapat dilakukan kepada Wartawan dalam melaksanakan profesinya sepanjang berdasarkan kode etik pers.

atau,

Dalam menjalankan Profesinya, pemanggilan, pemeriksaan, penggeledahan, penangkapan dan penahanan terhadap Wartawan hanya dapat dilakukan setelah mendapatkan izin dari Dewan Pers.

Namun kedua alternatif tafsir dari Iwakum ini justru ditolak oleh AJI dan PWI yang beranggapan masalah bukan di pasal tapi bagaimana pelaksanaan penegakan hukumnya.

Berlangganan Kabar Terbaru dari Kami

GRATIS, cukup daftarkan emailmu disini.