Meliput Perdagangan Manusia

Daftar Isi
Sebelumnya | Selanjutnya
Bab ini ditulis oleh Martha Mendoza, reporter Associated Press dan pemenang hadiah Pulitzer. Saat ini ia menulis berita sela dan liputan investigasi mengenai Silicon Valley. Dia adalah bagian dari tim yang mengekspos kerja paksa di industri perikanan di Asia Tenggara pada tahun 2015.

Perdagangan manusia berulang dan terus meluas. Kejahatan ini acapkali tak terlihat meski ada di depan mata. Mulai dari panti pijat hingga kapal yang tertambat di dermaga terjadi praktik eksploitasi seksual dan penyalahgunaan tenaga kerja, dua kategori dasar perdagangan manusia.

Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) memperkirakan ada 40 juta orang jadi korban perdagangan manusia. Sebagian besarnya adalah perempuan, tetapi ada juga lelaki dan anak-anak yang jadi korban. Sementara itu, ILO menyebut kalau keuntungan yang didapat para pelaku — lazim diidentifikasi sebagai pedagang dan tuan budak — mencapai US$ 150 miliar per tahun.

Reporter yang menginvestigasi perdagangan manusia dihadapkan pada berbagai tantangan. Tak banyak korban yang mau buka mulut lantaran trauma dan takut. Mereka juga tak berani meminta bantuan lantaran mendapatkan ancaman dari para majikan yang kerap bertindak kejam. Oleh sebab itu, reporter perlu melakukan pendekatan pada para korban dengan sangat hati-hati. 

 

Dengan Siapa Harus Bicara

Reporter bisa memulai investigasi dengan menghubungi organisasi nonpemerintah yang fokus menyelidiki isu perdagangan manusia. Beberapa di antaranya adalah International Organization for Migration, Minderoo (Walk Free) Foundation, Polaris Project, dan Catholic Charities. Mereka memiliki perwakilan di beberapa negara dan seringkali bisa memberikan gambaran bagus tentang isu-isu tertentu di wilayah tersebut.

Organisasi lain seperti International Justice Mission menjalin kerja sama dengan penegak hukum untuk mengidentifikasi, menangkap, dan mengadili para pelaku. Sementara itu, Issara Institute bekerja dengan komunitas migran dan kelompok bisnis untuk melakukan audit dan memberikan kanal para pekerja untuk bersuara. Ada juga Free the Slaves yang bertujuan untuk mengubah kondisi yang membentuk perbudakan modern. Organisasi-organisasi tersebut, ada yang berbasis agama, dijalankan oleh pemerintah, dan beberapa di antaranya fokus pada topik atau negara tertentu.

Bicaralah dengan setidaknya selusin ornop yang fokus pada perdagangan manusia sebagai awalan. Mereka bisa memperkenalkan Anda dengan para penyintas yang pernah mengalami perbudakan, memberikan gambaran kasus-kasus yang pernah ada, dan mengidentifikasi area-area tertentu yang marak praktik perdagangan manusia.

Sebagai contoh, pabrik-pabrik sarung tangan karet di Malaysia disebut-sebut melakukan penyalahgunaan tenaga kerja selama bertahun-tahun. Pekerja yang direkrut secara ilegal menjadi korbannya. Sementara itu, perdagangan seks telah berkembang pesat di kota-kota Timur Tengah seperti Dubai dan Abu Dhabi selama beberapa generasi. Perempuan dari berbagai negara dibawa ke sana dan dengan iming-iming bekerja sebagai asisten rumah tangga. Namun, ketika sampai di lokasi, mereka dipekerjakan dalam industri seks. 

Perbudakan yang terjadi dalam industri penangkapan ikan juga adalah contoh lain perdagangan manusia yang telah terdokumentasikan dengan baik. Pekerjaan biasanya dilakukan para pekerja migran, jauh di lepas pantai dan tanpa pengawasan. Mereka acapkali terjebak dan rentan disalahgunakan.

Selain mewawancarai ornop yang fokus dalam perdagangan manusia, reporter juga bisa memeriksa laporan tahunan yang dibuat pemerintah di beberapa negara dan PBB. Beberapa di antaranya adalah Global Report on Trafficking in Persons dari UN Office on Drugs and Crime;  Trafficking in Persons Report dari US State Department; dan Together Against Trafficking in Human Beings dari Uni Eropa. Setiap tahun, Departemen Tenaga Kerja AS juga menerbitkan Daftar Barang yang Diproduksi oleh Pekerja Anak atau Kerja Paksa. Laporan itu memasukkan 155 barang yang dicurigai — seperti tekstil dari Kamboja, bola sepak dari India, atau batu bara dari Ukraina — melibatkan perbudakan modern dalam proses produksinya.

Banyak karya jurnalistik ciamik mengenai perdagangan manusia dibuat dengan menelusuri aliran uang dan rantai pasokan. Reportase lapangan adalah cara terbaik untuk melakukannya. Reporter bisa mengamati label sebuah produk, lalu menelusuri alur produksi dan distribusinya. Temui orang yang dipekerjakan untuk membuatnya dan bisa jadi mereka adalah korban perdagangan manusia. Untuk melacak pengiriman dari sebuah pabrik ke pembeli yang berada di negara lain, data perdagangan bisa digunakan. Dengan skema tersebut, reporter bisa tahu siapa yang menangguk laba dari proses tersebut.

 

Studi Kasus

The Guardian: APD di Inggris, Pabrik di China, dan Budak Asal Korea Utara

Investigasi The Guardian membongkar perdagangan manusia dalam produksi APD.
Sumber: tangkapan layar

Permintaan masker medis, sarung tangan, dan produk APD lainnya membanjiri pabrik-pabrik di China seiring dengan pandemi Covid-19. Salah satu pembeli produk-produk tersebut adalah Inggris. Pada November 2020, The Guardian merilis investigasi yang menyebut kalau pabrik-pabrik tersebut mempekerjakan tenaga kerja yang dipasok oleh pemerintah Korea Utara. Mereka, yang kebanyakan perempuan, berada di bawah pengawasan kontinu, tidak dapat bepergian, dan bekerja hingga 18 jam sehari. Sementara itu, upah mereka dikumpulkan oleh pemerintah Korea Utara. PBB menyatakan praktik semacam itu sebagai kejahatan. Merespons berita tersebut, pemerintah Inggris berjanji untuk lebih transparan tentang kontrak pengadaan yang dilakukan oleh pemerintah dan menyesalkan penyalahgunaan tenaga kerja yang terjadi serta berupaya untuk mengakhirinya.

 

CNN: Perbudakan Anak di Perairan Ghana

Anak-anak di Ghana menjadi korban perdagangan manusia.
sumber: tangkapan layar video dokumenter

Sekitar 20.000 anak di Ghana dibeli dari keluarganya seharga US$250 atau ditukar dengan sapi untuk dipekerjakan di Danau Volta, Ghana. Mereka bekerja seharian mengurai jaring yang kusut, tanpa dibayar. Dalam video dokumenter yang diproduksi CNN, reporter mengikuti anak-anak saat mereka bekerja, mewawancarai keluarga, penculik, dan organisasi yang menyelamatkan anak-anak dari perbudakan. Liputan ini merupakan tindak lanjut film dokumenter bertajuk Slaves of the Volta yang dirilis Joy News pada 2017. Film tersebut menceritakan kisah-kisah anak-anak pernah diperbudak dan bagaimana hal tersebut memengaruhi mereka.

 

Associated Press: Makanan Laut Hasil Perbudakan

Nelayan di Asia Tenggara jadi korban perdagangan manusia.
sumber: tangkapan layar

Reporter Associated Press mendapati pria yang ditahan dalam sebuah penampungan. Ia lalu melacak makanan laut yang mereka tangkap dan diproses untuk dijual di supermarket Amerika Serikat. Liputan ini dianugerahi Penghargaan Pulitzer 2016 untuk kategori Layanan Publik dan, yang lebih penting, berujun pada kebebasan lebih dari 2.000 pria. Ada penuntutan, penyitaan keuangan, dan komitmen seluruh industri untuk meningkatkan rantai pasokan tenaga kerja. Investigasi ini dilakukan setelah publikasi serangkaian artikel mengenai nelayan migran yang diperbudak di sektor makanan laut Thailand. Namun, kisah tersebut tak banyak berdampak. Investigasi AP mengangkat sisi lain dari orang-orang yang masih diperbudak dan meminta pertanggungjawaban para tuan budak dan pihak-pihak yang berbisnis dengan mereka. Liputan ini juga menandai trend investigasi mengenai rantai pasokan produk yang melibatkan penyalahgunaan tenaga kerja di seluruh dunia.

 

Tips dan Perangkat

Ada beberapa saran untuk reporter yang ingin menjadikan topik ini sebagai bahan investigasi 

  1. Pelajari bagaimana melakukan wawancara para penyintas perdagangan manusia ataupun korban eksploitasi seksual. Global Investigative Journalism Network (GIJN) dan The Dart Center for Journalism and Trauma punya banyak artikel dan panduan mengenai hal ini. Jangan lupa bertanya kepada ornop lokal bagaimana cara terbaik untuk melibatkan dan melindungi narasumbermu.
  2. Agregator data perdagangan seperti Panjiva dan Importgenius menyediakan catatan ekspor-impor yang memungkinkan wartawan melacak barang dari pabrik tempat barang itu dibuat ke pembeli di negara lain. Data tersebut mencakup merek barang yang dibuat di pabrik tertentu.
  3. OpenCorporates adalah database terbuka yang berisi 190 juta perusahaan dari 130 yurisdiksi. Butuh usaha lebih untuk menemukan hal yang dicari dalam tumpukan data tersebut, tetapi banyak informasi juga yang bisa didapat reporter. Mulai dari nama orang yang menduduki posisi dewan perusahaan, laporan tahunan, artikel mengenai perusaah tersebut, dan banyak hal lain.
  4. Gunakan jaringan yang dimiliki GIJN atau Journalism Fund untuk mencari mitra liputan di negara lain. Menginvestigasi perdagangan manusia memang sulit, tetapi bekerja dengan jurnalis di negara tempat suatu produk dibuat dan negara lain yang menjadi tujuan produk tersebut, membuat liputan jauh lebih mudah.
  5. Periksa kembali norma sosial di tempat Anda meliput. Adakalanya, praktik umum yang dikerjakan masyarakat sekitar sebetulnya merupakan perbudakan modern. Sistem kafala atau sponsorship di Timur Tengah misalnya, sering mengakibatkan jeratan hutang bagi para pekerja Asia yang dikirim ke sana untuk mendapatkan pekerjaan sementara. Ada juga anak-anak restavek di Haiti yang dikirim oleh orang tua mereka untuk bekerja sebagai asisten rumah tangga. Bahkan di AS, AP mengidentifikasi skema visa di armada penangkapan ikan Hawaii yang memungkinkan pekerja asing bekerja di kapal tanpa perlindungan hukum.

 

Tetap Waspada

Jurnalis harus menjadi suara bagi mereka yang terbungkam dan meminta pertanggungjawaban pada pihak yang berkuasa. Saat menginvestigasi kasus perdagangan manusia, reporter bisa melakukan kedua hal tersebut. Tak banyak isu liputan lain yang berdampak positif pada kondisi orang dan membawa perbaikan jangka panjang terhadap praktik bisnis eksploitatif.

Jadi, berhati-hatilah. Tetap gigih dan memperhatikan keselamatan para korban. Pada 2016, rekan-rekan saya di AP kembali dan mewawancarai orang-orang yang telah dibebaskan pascainvestigasi Seafood From Slaves. Beberapa dari mereka mengalami trauma, berjuang dengan rasa malu atau kembali ke situasi yang tidak menguntungkan. Namun, ada juga yang berhasil menemukan pekerjaan layak, membuka bisnis, berkeluarga, bahkan menjebloskan tuan mereka ke penjara. Banyak dari mereka yang mengatakan kalau rasa sakit berkurang seiring berjalannya waktu dan mereka mensyukuri kebebasan mereka. “Mereka bersyukur berada di rumah, hidup sebagai orang bebas,” tulis AP. “Mereka bukan budak lagi.” (Penerjemah: Kholikul Alim)


Sebelumnya | Selanjutnya

Berlangganan Kabar Terbaru dari Kami

GRATIS, cukup daftarkan emailmu disini.