Pengiriman Au Pair Dilakukan Sepihak Negara Tujuan

Kesempatan ke Eropa lewat program au pair menarik minat belasan ribu anak muda di pelbagai negara di Afrika dan Asia, termasuk Indonesia. Mereka tinggal bersama keluarga asing yang disebut host family untuk bekerja sebagai pengasuh anak, serta mengurus rumah dengan imbalan sekitar 350 Euro atau setara hampir Rp6 juta per bulan. Di balik itu, program au pair bisa berubah menjadi mimpi buruk karena lebih mengarah pada eksploitasi pekerja muda.  

Ini karena selama ini program tersebut berjalan tanpa pengawasan. Situasi itu bertambah buruk karena calon au pair bisa berhubungan langsung dengan keluarga angkat melalui platform digital maupun media sosial. Direktur Perlindungan Warga Negara Indonesia Kementerian Luar Negeri, Judha Nugraha memastikan bahwa Indonesia sama sekali tidak memiliki hubungan bilateral dengan negara tujuan terkait pengiriman tenaga kerja. Kondisi berbeda dengan pengiriman buruh migran ke negara-negara, seperti Malaysia dan Arab Saudi.  

Wartawan Jaring.id, Abdus Somad dan Sonya Andomo mewawancarai Judha di kantornya selama kurang lebih dua jam, Senin, 30 November 2023.


Bagaimana Kementerian Luar Negeri melihat dinamika au pair asal Indonesia?

Kami belajar dari kasus yang kami temui, tentu bukan hanya kasus-kasus terkait au pair. Tujuan orang Indonesia ke sana itu bukan hanya untuk bekerja, melainkan hal lain seperti unboxing Iphone, lalu foto-foto saat lagi jalan-jalan ke luar negeri. Tapi, mereka ini tidak berpikir panjang mengenai konsekuensi dari sebuah perjanjian au pair yang dilakukan.

Nah posisi kami bagaimana, itu yang kita harus duduk bersama dengan semua stakeholder yang ada. Ketika kami menyatakan au pair adalah pekerja migran, maka undang-undang yang digunakan itu terkait pekerja migran. 

Kami harus mendefinisikan au pair dahulu. Peserta au pair ini apa? Apakah ini magang? Tujuannya pendidikan atau untuk bekerja? Kemudian dari hal itu kami bisa turunkan di tingkat nasional. Oke lah, kita tidak dilibatkan dalam proses au pair secara bilateral, tapi kami sebagai pemerintah punya posisi. 

Dengan begitu au pair bisa tergolong pekerja migran?

Sesuai dengan UU 18 tahun 2017 di Pasal 1 disebutkan bahwa setiap warga negara Indonesia yang bekerja dan mendapatkan upah di luar negeri itu adalah pekerja migran.

Apakah disamakan dengan pekerja migran Indonesia? Itu kan au pair kebijakan dari negara lain. Kami harus merespon tentunya. Dalam konteks ini, tentunya Kementerian Luar Negeri akan berkoordinasi dengan kementerian lembaga terkait. 

Au pair ini program yang disusun di Eropa. Tujuannya untuk sekolah di sana, namun sambil bekerja di host family-nya. Ini kan berarti ada 2 cover. Apakah ini masuk ke ranah PMI ataupun masuk ke ranah yang pendidikan. Namun, kalau kita melihat kembali pada UU 18 dari sisi kami, ketika WNI bekerja dan kemudian mendapatkan upah, maka dia masuk di coverage UU 18.

Mengapa au pair di luar negeri tidak terdata?

Ini kan masalah yurisdiksi hukum. Pengaturan kemigrasian mengenai au pair itu adalah kewenangan yuridis hukum di negara host. Kami kan tidak punya jangkauan, karena itu masalah kedaulatan. Tapi tentunya kami sebagai negara asal atau origin tentu menyampaikan concern.

Ini kan masalahnya adalah pola migrasi, bahkan ketika mereka berangkat pun kita nggak aware. That’s the problem. Itu lah kenapa kita perlu bicara dan tentu kita ingin juga melihat itikad dari negara host.

Program ini disusun oleh Uni Eropa. Sedangkan kami tidak dilibatkan dalam proses penyusunan program. Ini jelas berbeda dengan pengiriman pekerja migran, contoh, antara Indonesia dengan Malaysia. Kami mengirimkan pekerja migran ke Malaysia sudah punya MoU.

Jadi ketika kami memberangkatkan sudah tercatat di Indonesia maupun Malaysia. Nah ini tidak terjadi di Eropa. Tidak ada pembahasan secara khusus antara country of origin dengan country of destination. Dan ini akan menjadi loophole yang akan menjadi potensi masalah di kemudian hari.

Ada satu kasus yang kami catat ialah mengenai au pair yang bunuh diri di Jerman baru-baru ini. Apakah Kemenlu mengetahui hal ini?

Kalau dari sisi kami, kami menangani kasus kematiannya. Ketika itu, kami mendapatkan informasi bahwa ada kematian warga negara Indonesia, kemudian kami mendapat informasi dari public prosecutor bahwa ini adalah kasus bunuh diri. Kemudian kita pada saat itu, yang paling utama adalah tentu melakukan pemulusan dan pemulangan jenazah.

Apa yang Kemenlu ketahui mengenai sebab kematian?

Apakah kasus Nesty bunuh diri dikarenakan dia sebagai au pair atau ada hal lain, itu di luar jangkauan kami. Karena itu adalah yurisdiksi dari otoritas setempat. Dan informasi yang kami terima dari otoritas setempat, dilihat dari hasil autopsinya dan hasil penyelidikan polisi bahwa ini adalah kasus bunuh diri.

Berapa banyak laporan atau pengaduan yang diterima pemerintah dari Eropa maupun Amerika?

Pada 2022 kami menangani 35 ribu kasus lebih dari seluruh WNI yang berada di dunia. Nah secara khusus, nanti kami bisa sampaikan data untuk yang ada di wilayah Eropa.

Kalau yang terkait au pair bagaimana?

Dalam catatan kami sejak 2018 sampai 2023, ada 338 orang yang ikut au pair. Sebanyak 15 pria 323 wanita di Eropa. Jadi temuannya terdapat sejumlah kasus, mulai dari kerja paksa, kekerasan verbal, upah tidak dibayar, hingga bunuh diri. Tentu dalam bentuk perlindungannya ketika yang bersangkutan melaporkan kasus, baik ke kami di pusat maupun langsung di perwakilan kita punya hotline number. Kita juga punya laporan pengaduan online melalui portal BP2MI, maka tugas kita kita adalah mem-follow up perlindungannya.

Kami memperoleh informasi bahwa ada sekitar 2000 lebih di Belanda dan sekitar 1500 lebih berada di Jerman, betulkah?

Data yang ada di kami melalui portal peduli PMI saat ini ada 2,2 juta warga negara kita yang tinggal di luar negeri. Kalau ditanya ke saya berapa yang sebenarnya ada di luar negeri ya hanya Tuhan yang tahu. Karena banyak warga negara yang tidak lapor diri. 

Mereka baru lapor ketika ada masalah. Ini yang selalu kami sampaikan kepada publik bahwa kami harus melihat secara hati-hati angka yang tercatat ketika kami menyampaikan 2,2 juta itu adalah angka yang mereka aktif lapor diri. Sedangkan yang tidak aktif pasti banyak, demikian juga ketika bicara masalah kasus. Ketika kami bicara kasus let’s say tadi 300 itu mungkin adalah just the tip of the iceberg. Angka sebenarnya jauh lebih besar.

Menurut Anda apakah mereka semua terdaftar?

Kalau melihat tipologi kasusnya, total 35 ribu kasus yang kita tangani tahun lalu. Mayoritas jenis permasalahan itu adalah masalah keimigrasian. Artinya warga negara kita yang berstatus undocumented. Kedua terbanyak itu adalah masalah ketenagakerjaan. Kalau kita lihat yang lainnya itu ada kasus pidana, perdata. Termasuk masalah sakit, masalah domestik.

Ketika kami lihat sebarannya, yang paling banyak itu memang ada di wilayah Asia Tenggara, kemudian Timur Tengah, baru yang lainnya menyebar. Jadi total 35 ribu kasus itu adalah kasus-kasus yang paling banyak terjadi di Asia Tenggara dan Timur Tengah. Ini memang konsisten dengan konsentrasi warga negara kami. Jadi konsentrasi warga negara kita yang terbesar pertama itu ada di Malaysia, kedua ada di Saudi, ketiga di Taiwan, keempat di Hongkong, yang lain itu semuanya menyebar.

Bagaimana Kemenlu menjamin perlindungan warga Indonesia di luar negeri?

Memang sudah menjadi tugas konstitusi bagi Negara untuk mementingkan perlindungan kepada warga negara kita yang ada di luar negeri. Jadi, kalau dalam konteks peraturan perundang-undangannya, dalam konstitusi itu kami turunkan ke UU 37 tahun 1999 mengenai hubungan luar negeri. Di situ ada satu bab khusus mengenai perlindungan warga negara Indonesia.

Kemudian di tingkat Kementerian Luar Negeri kita punya Permenlu Nomor 5 tahun 2018 yang di situ menjelaskan tugas dari Kemlu dan juga seluruh perwakilan RI untuk memberikan perlindungan kepada warga negara Indonesia. Kami punya 128 perwakilan RI yang memiliki fungsi perlindungan warga.

Nah, dalam pelaksanaannya kami di sini dengan Direktorat Perlindungan WNI mengkoordinasikan berbagai macam upaya-upaya perlindungan bagi warga negara kita. Mulai dari penanganan kasus, berbagai macam kasus yang muncul, kita koordinasikan dengan perwakilan RI di mana perwakilan RI berfungsi sebagai first respondent. Jadi ketika ada kasus itu mereka yang paling dekat. 

Apakah Kemenlu juga memantau kegiatan agen penyalur, baik yang online maupun offline?

Ini perlu dibahas bersama dengan pemerintah Indonesia dengan negara tujuan. Bahkan di Indonesia sendiri pun kita harus menyepakati dulu, sebetulnya ini ranahnya siapa. Terus terang kami perlu duduk bersama dengan kementerian lembaga terkait. Jika kita sepakati au pair ini adalah masuk dalam kategori pekerja migran maka UU 18 tahun 2017. 

Berarti memang belum bisa ditindak lanjuti?

Kalau ditertibkan berdasarkan UU apa? UU 18? Ya kalau kami mengklasifikasikan sebagai pekerja migran, maka regulasinya menggunakan UU PMI. Cuma kami sudah sampaikan dan awareness kepada stakeholder kami di dalam negeri bahwa ini potensi masalah yang kita harus definisikan sejak awal bagaimana respon kita di tingkat nasional. 

Kemenlu sendiri sudah mencoba berkomunikasi?

Sudah beberapa kali dengan kementerian lembaga terkait. (Hasilnya?) Ya masih dalam tahap diskusi. Kasus-kasus yang muncul ini menjadi bahan buat kami untuk segera pembahasan bersama.

 


Wawancara berjudul “Pengiriman Au Pair Dilakukan Sepihak Negara Tujuan,” merupakan serial pamungkas dari 4 laporan yang membahas problematika pengiriman au pair.  Sebelummnya, kami menerbitkan “Pulang dalam Peti Jenazah” dan Lara Au Pair dalam Penampungan Keluarga Asing,” serta Bermimpi Mujur dari Tanah Eropa.  Pengerjaan naskah ini dimulai pada pertengahan tahun lalu berkolaborasi dengan media asal Filipina, Rappler.

Atas dukungan Jurnalism Fund kami mengerjakan naskah ini pada pertengahan tahun lalu berkolaborasi dengan media Belanda, OneWorld.nl. Tulisan ini juga akan terbit di serbukindonesia.org dan media asal Filipina, Rappler.


Tim Kolaborasi

Penanggung Jawab: Kholikul Alim (Jaring.id)

Reporter: Abdus Somad, Sonya Andomo, Asmariyana (Indonesia); Sarah Haaij (Belanda)

Penyunting: Damar Fery Ardiyan (Jaring.id)

Ilustrasi: Ali (Jaring.id)

Melawan Kusta dari Jongaya

Gapura bercat merah putih dengan ornamen kemerdekaan menjadi penanda awal keberadaan Kompleks Jongaya di Kecamatan Tamalate, Kota Makassar, Sulawesi Selatan. Permukiman ini dikenal sejak puluhan

Berlangganan Kabar Terbaru dari Kami

GRATIS, cukup daftarkan emailmu disini.