Pilkada serentak adalah produk yang melewati dinamika saat perumusannya, hingga sekarang kebijakan pilkada serentak ini masih menyisakan banyak ruang yang bisa menjadi celah untuk terjadinya kecurangan, pelanggaran, atau kesalahan teknis pelaksanaan. Pilkada serentak ini dari awal kerangka hukumnya saja sudah membuka ruang-ruang kecurangan. Banyak yang menyayangkan aturan pilkada yang masih banyak kekurangan seakan tidak belajar dari kesalahan- kesalahan pada Pileg dan Pilpres terdahulu.
Bila melihat balik ke Undang-undang Pilkada sebelum Pemilu 2014, tahun 2012 presiden mengajukan RUU Pilkada pola pembahasannya dengan menggunakan pendekatan baru yaitu dengan pembahannya dibagi menjadi tujuh cluster, dan pemerintah yang pertama kali menyampaikan bahwa Pilgub dilakukan oleh DPRD, Pilkada kab/kota secara langsung, namun mayoritas fraksi menolak.
Pada tahap selanjutnya, setelah Pemilu 2014 dan setelah peta di DPR berubah, Pilkada tidak langsung mulai diangkat padahal sebelum Pilpres mayoritas anggota DPR menolak usulan pemerintah untuk melaksanakan Pilkada tidak langsung. Pemerintah mengusulkan Pilgub langsung dan Pilkada kab/kota tidak langsung. Jadi, ada skenario yang terbalik. Kemudian menyetujui RUU tentang Pilkada oleh DPRD, lalu presiden mengeluarkan Perppu Pilkada Langsung. Lahirlah UU Nomor 1/2015. Perppu diambil dari Draft RUU pilkada versi langsung, dibahas dalam waktu singkat dan tidak sempat dikritisi oleh pihak lain. Ada banyak masalah, misalnya masalah redaksional, masalah sistematika, dan masalah substansi. Sehingga ada revisi tahap satu yang hanya dilakukan 14 hari pada bulan Februari, yang menjadi UU nomor 8/2015.
Pilkada Serentak
Apa yang terjadi sekarang bukan Pilkada serentak, melainkan hanya menyelenggarakan Pilkada bersama-sama. Pilkada serentak adalah apabila proses penyelenggaraannya menjadi satu, bukan seperti yang terjadi sekarang, yaitu menggabungkan tahapan dan hari pemungutan secara bersama-sama. Serentak itu akan efisien apabila dilaksanakan serentak Provinsi dan kabupaten/kota di dalam satu wilayah karena akan bisa menghemat biaya logistik dan biaya sosialisasi dan juga biaya paling besar, yaitu honorarium penyelenggara. Sehingga skema sekarang belum bisa melahirkan efisiensi biaya.
Bila dilihat dari segi pembiayaan, biaya pada pilkada serentak kali ini mengalami kenaikan hingga 100% bila dibandingkan dengan pilkada 2010. Ketidakefisienan pembiayaan ini dapat dilihat misalnya di Provinsi Banten. Ada 4 Kabupaten/Kota yang melakukan Pilkada, tapi hanya waktunya saja yang bersamaan, namun logistik hingga honorarium dibayar oleh masing-masing daerah. Jadi, memang benar bila ada yang mengatakan bahwa Pilkada 2015 tidak segaris lurus dengan efisiensi karena sekarang ini baru pra-kondisi sampai punya konsep Pilkada serentak yang menghasilkan efisiensi yang direncanakan dapat dicapai pada Pemilu 2027. Berikut kriteria Pilkada yang ideal:
- Serentak Nasional: DPR, DPD, dan Pemilu Presiden dan Wakil Presiden.
- Serentak Daerah: Kepala Daerah dan DPRD.
Desain ini dimaksud untuk menguatkan sistem presidensial karena dengan desain seperti ini akan ada kecenderungan presiden yang terpilih seiring dengan partai pemenang pemilu.
Untuk menuju ke Pemilu Serentak 2027, akan ada beberapa tahap penyesuaian yang dilakukan. Pemilu Desember 2015 adalah gelombang pertama yang diikuti oleh 269 daerah. Gelombang kedua direncanakan pada Februari 2017 yang dilaksanakan oleh 99 daerah. Gelombang ketiga dilakukan pada Juni 2018, yang akan dilakukan di 171 daerah. Siklus ini akan berulang pada tahun 2020, 2022, dan 2023. Baru setelahnya akan serentak nasional pada tahun 2027.
Terkait dengan potensi kecurangan, ada masalah lain yang mesti dicermati, yaitu masalah anggaran penyelenggaraan Pilkada. Awalnya Perppu mengatur anggaran pilkada bersumber dari APBN, namun setelah proses revisi perppu ini kemudian menetapkan bahwa anggaran pilkada akan diambil dari APBD. Dari sini terlihat ketidakmerataan anggaran, misalnya Kabupaten Jember, dengan jumlah pemilih lebih dari satu juta dan dilaksanakan di 31 kecamatan menganggarkan dana 71 Miliar. Sementara Kota Tanggerang Selatan yang hanya memiliki tujuh kecamatan dengan jumlah pemilih sekitar
900 ribu, anggarannya mencapai 60 Miliar. Jadi, ketika anggaran berasal dari APBD, tidak ada standar yang sama di masing-masing daerah yang kemudian rentan menjadi celah kecurangan, terutama di daerah yang diikuti oleh petahana. Ada kecenderungan untuk memberi anggaran yang lebih besar ke KPU.
Variabel Pembeda Pilkada Serentak
Beberapa faktor lain yang menjadi penyebab Pilkada sekarang menjadi lebih mahal adalah kampanye yang didanai oleh negara. Misalnya di Indragiri Hulu, anggaran pemilu pada 2010 adalah 10
Miliar dan sekarang menjadi 17 Miliar. Ternyata biaya kampanye yang ditanggung negara membuat peningkatan tinggi pada pembiayaannya.
Ada 4 jenis kampanye yang dibiayai oleh negara:
- Debat publik
- Kampanye media cetak dan elektronik
- Pemasangan alat peraga kampanye
- Penyebaran Bahan Kampanye
KPU juga mengatur tempat-tempat pemasangan alat peraga kampanye. Jadi, ada pembatasan kampanye berupa penyebaran pencitraan di ruang-ruang publik, tapi lebih memperbanyak dialog di ruang-ruang privat. Sayangnya, mesin partai belum bekerja hingga saat ini, sehingga belum terlihat dialog-dialog tersebut. Ada kemungkinan ini dilakukan partai agar dana dapat dialokasikan pada saat-saat terakhir.
Variabel lain yang menjadi pembeda pada Pilkada kali ini adalah: adanya pembatasan belanja kampanye, tidak ada proses rekapitulasi suara di PPS, tidak ada ambang batas kemenangan (pilkada satu putaran), syarat pengajuan sengketa hasil ada ambang batas maksimal selisih yang harus dipenuhi, larangan mahar politik, Bawaslu dan Pengawas kab/kota memiliki kewenangan menyelesaikan sengketa, dan terdapat pengawas TPS. Serta fenomena unik lain, yaitu disetujuinya calon tunggal oleh MK, serta proses rekapitulasi tidak ada lagi di TPS atau tingkat desa.
Beberapa variabel pembeda ini ditujukan untuk meminimalkan peluang kecurangan, namun tentu masih ada peluang untuk terjadinya sengketa Pilkada. Meskipun sekarang aturan untuk menggugat pelanggaran ke MK ada syarat ambang batas selisih suara berdasarkan populasi. Apabila suatu kab/kota populasinya sampai dengan 200.000, maka syarat selisih suaranya tidak boleh lebih dari
2%. Sementara apabila populasinya 2 juta atau lebih, maka syarat selisih suaranya tidak boleh lebih dari 0,5%.
Penanganan sengketa tahapan Pilkada harus dimulai dengan memisahkan antara kewenangan pengawasan dan kewenangan penyelesaian sengketa. Sebaiknya, demi kepastian hukum dan menghindari terjadinya benturan kepentingan, kewenangan penyelesaian sengketa pilkada ditangani langsung badan peradilan, dalam hal ini Peradilan Tata Usaha Negara. Sebab, Keputusan KPU masuk kategori keputusan pejabat tata usaha negara. Selain itu, juga harus dibuka mekanisme banding atas putusan tingkat pertama agar tidak menutup jalan seseorang untuk mencari keadilan.