Jakarta – Maxwell Ronald Lane, peneliti politik asal Australia, mendorong rakyat Indonesia berorganisasi untuk mengimbangi rezim oligarki dan dinasti politik yang selama ini memanfaatkan ruang demokrasi pasca-Orde Baru. Hal tersebut ia sampaikan dalam diskusi publik bertajuk Masa Depan Demokrasi dan Hak Asasi Manusia Pascapemilu yang digelar oleh Jaring.id, Perhimpunan Pengembangan Media Nusantara (PPMN), dan Amnesty International Indonesia, Jumat, 16 Februari 2024.
“Lembaga Swadaya Masyarakat yang mengkritik (rezim) banyak, tapi yang coba membangun kekuatan untuk demokrasi tidak ada,” ujarnya.
Pria yang akrab disapa Max tersebut menambahkan bahwa salah satu langkah yang bisa dilakukan adalah membangun kesadaran politik hingga ke pedesaan. Dengan demikian, kekuatan politik alternatif atau gerakan oposisi yang bisa membayangi jalannya pemerintahan bisa terbangun.
Menurutnya, kekerasan aparat pemerintah terhadap aksi demonstrasi bukan indikasi menyempitnya ruang demokrasi. Hal itu, terang Max, juga terjadi di negara-negara yang demokrasinya telah maju. Pasalnya, demokrasi liberal selalu punya sisi yang tidak liberal.
“Sejauh mana demokrasi menyempit itu adalah hasil perimbangan kekuatan antara pihak yang mau menyempitkan dan mereka yang mau menggunakannya untuk berjuang,” jelasnya.
Dalam kesempatan yang sama, Deputi Direktur Amnesty International Indonesia Wirya Adiwena mengkhawatirkan hasil pemilihan umum 2024 bakal melanggengkan impunitas dan menguatkan konsolidasi kekuatan politik yang dibangun Jokowi. “Kalau Prabowo-Gibran (menang), pasti melanjutkan program Jokowi,” ujarnya.
Kekuasaan yang dipraktikkan rezim saat ini, menurut Wirya, tidak hanya menciptakan impunitas tetapi juga berpotensi melahirkan kasus kekerasan hak asasi manusia (HAM) baru. Berdasarkan catatan Amnesty International, selama lima tahun terakhir terdapat 93 kasus kekerasan dan kriminalisasi terhadap pembela HAM.
Puluhan kasus tersebut antara lain terjadi dalam unjuk rasa penolakan Omnibus Law, Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana pada, dan tragedi Kanjuruhan. “Pentungan dan penggunaan gas air mata terhadap seseorang yang tidak berbuat apa-apa. Kekerasan berlebihan (juga) digunakan terhadap orang kritis,” ujarnya.
Apabila Prabowo dan Gibran terpilih sebagai presiden dan wakil presiden 2024-2029, Wirya memprediksi ruang kebebasan sipil kian menyempit. Meski begitu, ia berharap masyarakat tetap bersuara lantang mengkritik pemerintahan. “Kebebasan sipil dibutuhkan untuk iklim yang sehat di suatu negara. Ini membuat saya berharap,” ujarnya.
Sementara itu, peneliti Badan Riset dan Inovasi Nasional, Irine Hiraswari Gayatri menilai pelanggengan kekerasan dan penyempitan ruang demokrasi tak terlepas dari kekuatan oligarki yang kini menduduki pemerintahan dan legislatif.
“Dengan sudah diaplikasikannya Omnibus Law, oligarki bisa berkembang,” imbuhnya.
Ia sependapat dengan Max yang menyebut bahwa kekuatan masyarakat sipil perlu dibangun agar dapat merebut ruang demokrasi yang kini dimanfaatkan oleh penguasa. “Kita harus rebut ruang kebebasan sipil,” tegasnya.