November 2006 hingga Desember 2012 adalah enam tahun yang penting dalam hidup seorang Metta Dharmasaputra, wartawan Tempo tahun 2001-2012. Kurun waktu yang sama juga kurun waktu yang penting untuk seorang Vincentius Amin Sutanto, seorang profesional keuangan yang pernah bekerja untuk perusahaan Asian Agri, bagian dari grup perusahaan Raja Garuda Mas, milik pengusaha Sukanto Tanoto.
Dua lelaki ini bertemu pada akhir tahun 2006 ketika Vincent yang saat itu tengah dalam pelarian di Singapura dan mengontak Metta untuk berbagi data yang ia miliki terkait dengan penyimpangan pajak yang dilakukan oleh kantornya. Vincent sebelumnya adalah Group Financial Controller dari Asian Agri. Ia tahu lalu lintas keuangan yang dilakukan perusahaannya, termasuk dengan upaya-upaya rekayasa transaksi yang semuanya berujung pada pengecilan jumlah pajak yang harusnya disetor perusahaan ke negara.
Vincent sendiri bukanlah seorang malaikat, karena ia pernah mencoba untuk membobol brankas uang perusahaan, yang itu ia akui secara terbuka. Namun data yang dimiliki Vincent berkontribusi besar pada pembongkaran praktek manipulasi pajak yang mengakibatkan kerugian negara sebesar Rp 1,2 trilyun. Pada Desember 2012 Mahkamah Agung memutus Asian Agri harus membayar Rp 2,3 trilyun.
Buku ini menggambarkan lika-liku bagaimana kisah Vincent sebagai peniup peluit (whistle blower) turut membongkar kasus manipulasi pajak tersebut, mulai sejak kontak pertama Vincent dengan penulis buku ini, hingga ketika Vincent masuk tahanan, diadili dan jadi narapidana karena tudingan penggelapan uang. Vincent sendiri menjadi penting karena ia menjadi informan utama dari Tempo ketika mengangkat liputan soal manipulasi pajak dari PT Asian Agri tersebut.
Liputan Tempo sendiri tak terpublikasi dengan mulus-mulus saja. Bahkan ketika liputan majalah Tempo belum lagi terbit, pihak Asian Agri telah memiliki naskah yang ditulis redaksi dan menyerang cara pemberitaan Tempo kala itu. Apakah ada orang dalam yang terlibat dalam pembocoran ini? Orang-orang akan menduga-duga, walau tak mendapat jawaban yang terang benderang untuk itu.
Setelah majalah Tempo terbit (dengan judul sampul Akrobat Pajak awal Januari 2007) sekelompok wartawan mendadak mempertanyakan kesahihan liputan tersebut, apalagi ketika disebut bahwa Metta juga terlibat dalam upaya kemanusiaan untuk mengupayakan bantuan dana bagi Vincent untuk menghadapi kehidupan di penjara, dan untuk keperluan menyewa pengacara.
Tak hanya itu, sekelompok pengajar dari jurusan Komunikasi, Universitas Gadjah Mada, sepakat untuk ikut membuat penelitian pesanan yang ujungnya menyalahkan liputan Tempo terhadap Asian Agri tersebut. Belum lagi dengan beredarnya cetakan pesan pendek dari seluler Metta, sehingga orang bisa mengetahui bagaimana komunikasi Metta dengan seorang pengusaha, yang ternyata adalah rival bisnis Sukanto Tanoto.
Apakah buku ini tengah mendongeng fiksi? Tidak. Semua data yang termuat dalam buku ini bersumber pada fakta-fakta, dokumen yang relevan, hingga kita akan menemukan banyak kisah yang belum pernah terbit di media massa. Cara penulisan buku ini memang mirip fiksi, karena ditulis dengan gaya jurnalisme narasi, namun ini gaya yang menarik untuk memaparkan kisah yang memang penuh lika-liku. Buku ini menggambarkan pertarungan panjang antara pihak perusahaan Asian Agri di satu sisi dengan pihak Tempo dan Vincent di sisi lain.
Perusahaan dengan amunisi keuangan tak terbatas bisa melakukan banyak hal untuk membuat kasus ini akan lebih menguntungkan perusahaan milik pengusaha asal Medan tersebut, mulai dari pembentukan opini publik, mempengaruhi akademisi, serta mempengaruhi para wartawan media-media lain. Kuku tajam yang mencengkeram sejumlah instansi pemerintah, bukan mustahil juga hasil lobi kuat mereka kepada sejumlah aparat hukum.
Buku ini menggambarkan detil berbagai peristiwa yang menegangkan. Buku ini juga sesungguhnya merangkai konteks dari aneka peristiwa baik yang terjadi pada level pribadi Vincent, pergulatan di dalam majalah Tempo sendiri, hingga ke tingkat pertarungan antar instansi pemerintah Direktorat Pajak, Kepolisian dan Kejaksaan dalam merespon kasus ini. Mereka-mereka yang terlibat ditulis dengan terang dalam buku ini.
Mungkin tak berlebihan jika buku ini disejajarkan dengan kecermatan serta ketelitian yang dilakukan oleh Bondan Winarno ketika menulis buku Bre X: Sebungkah Emas di Kaki Pelangi (1997). Namun begitu buku ini pun tak luput menyorot sisi kehidupan pribadi Vincent yang sangat manusiawi: seorang yang sangat cinta keluarga, orang yang takut dengan kehidupan di penjara, hingga takut pada balas dendam perusahaan pada dirinya.
Buku yang langka ini sangat layak dibaca oleh para jurnalis, akademisi, dan para mahasiswa jurnalistik untuk menjadi contoh bagaimana suatu karya jurnalistik investigasi dilakukan, berikut dengan lika-liku menghasilkannya, plus resiko yang dihadapi. Kalangan pembaca umum pun akan mendapat manfaat dari buku ini dengan mengetahui duduk perkara di balik kasus ini. Mungkin tak semua orang akan setuju dengan buku Metta ini, tapi biarlah mereka yang tak puas menulis buku tersendiri. Yang pasti buku ini telah memaparkan dengan lengkap seluk beluk kasus manipulasi pajak yang jumlahnya terbesar dalam sejarah penanganan pajak di Indonesia. (Ignatius Haryanto)