Dalam catatan Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Kalimantan Timur, di wilayah Kaltim telah diterbitkan 1.337 Izin Usaha Pertambangan (IUP) dan 33 Kontrak Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (KPKP2B). Jumlah izin ini merupakan jumlah izin yang paling banyak dikeluarkan oleh pemerintah provinsi di Indonesia. Bandingkan dengan 7.377 IUP yang dikeluarkan di 13 provinsi.
Jika seluruh lahan yang diberi izin dijumlahkan, hasilnya adalah lahan dengan luas 5,2 juta hektar atau seperempat wilayah seluruh Kaltim.
Tentu saja persoalan izin pertambangan ini tidak datang dalam semalam, tetapi hal ini merupakan proses yang masif terjadi antara tahun 2001 hingga satu dekade setelahnya. Barulah pada tahun 2013 terbit moratorium penerbitan izin pertambangan yang didukung oleh Unit Kerja Presiden Bidang Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan (UKP4).
Pertambangan telah memberikan pendapatan besar kepada pemerintah provinsi Kaltim, dan provinsi pun dikenal sebagai “provinsi kaya raya” akibat kegiatan pertambangan di sana. Data BPS menyebut kontribusi sektor pertambangan dan penggalian mencapai Rp 259,17 miliar, hampir setengah Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Kaltim pada 2014. Jumlah tersebut menyusut dari tahun sebelumnya sebesar Rp 286,01 miliar.
“Waktu itu tukang ojek saja punya fotokopian IUP buat dicarikan pemodal yang tertarik investasi di tambang,” kisah Sukisman, Kepala Bidang Pengawasan Distamben Kota Samarinda, menceritakan “masa keemasan” industri batubara dan hujan perizinan masa tersebut.
Hal yang sama juga diungkapkan oleh Carolus Tuah, aktivis dari Pokja 30. “Dulu pemerintah yang menjajakan izin ke investor, bukan investor yang mencari izin,” katanya. Sejak munculnya UU Minerba tahun 2009 yang melarang adanya Kuasa Petambangan, dan mewajibkan untuk beralih ke IUP, Penyesuaian Kuasa Pertambangan (KP), Surat Izin Pertambangan Daerah (SIPD), dan Surat Izin Pertambangan Rakyat (SIPR) berubah menjadi Izin Usaha Pertambangan (IUP) atau Izin Pertambangan Rakyat (IPR).
Seiring dengan keluarnya UU 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah, pemberian izin pertambangan kemudian beralih ke provinsi. “Kami hanya kebagian masalahnya,” kata Azwar Busra, Kepala Seksi Pembinaan Pertambangan Distamben Kaltim. “Secara personil kami juga kurang untuk melakukan pengawasan seluruh tambang di Kaltim,” ungkapnya.
Pasar batubara internasional memang pernah mengalami masa kejayaan ketika harga pasaran pernah mencapai angka US$ 118,4/ton pada tahun 2011. Dua tahun sebelumnya, harga batubara masih di angka 70,7 US$ per ton lalu melesat ke angka 91,74 US$ per ton di tahun berikutnya. Setelah mencapai masa jayanya, harga emas hitam anjlok ke angka 72,62 US$ per ton pada 2014.
Ketika pasar batu bara lesu, lubang-lubang bekas tambang ditinggalkan begitu saja. Tak heran jika dalam empat tahun terakhir ini di wilayah Kaltim, khususnya kota Samarinda, mencuat permasalahan lubang bekas tambang yang seolah mengepung kota tersebut. Beberapa lubang telah beralih fungsi menjadi danau tadah hujan, sumber air MCK, hingga sarana pengairan sawah. Bahkan, ide memanfaatkan lubang tersebut sebagai sarana olahraga jetski muncul ke permukaan.
“Banyak lubang yang dimanfaatkan masyarakat, bahkan masyarakat marah kalau perusahaan mau menutup,” kata Rendo Barus, Kepala Teknik Tambang Bukit Baiduri Energi saat menunjukkan salah satu lubang yang beralih jadi irigasi. Beberapa lubang di Samarinda ada yang dimanfaatkan warga untuk sumber air untuk kebutuhan rumah tangga atau untuk tempat keramba ikan.
Tentang tidak ditutupnya lubang bekas tambang untuk peruntukan tertentu tersebut, anggota DPRD Kaltim Baharuddin Demu berpendapat, ”Lubang yang dijadikan irigasi dan keramba itu hanya alasan dari perusahaan agar tidak perlu menutup lubangnya.”
Ketua Jatam Kaltim, Pradarma Rupang, mengatakan, penggunaan bekas lubang sebagai sumber air oleh warga karena sumber air alami sudah rusak oleh aktivitas tambang. Menurutnya, tata ruang di Samarinda juga bermasalah. Dalam RTRW tahun 2002, kawasan yang ditentukan sebagai wilayah tambang batubara hanya kawasan Sungai Siring yang terletak di pinggiran kota, tapi dalam perkembangannya wilayah Samarinda hampir penuh dengan pertambangan.