Pelanggaran HAM di Lubang Tambang

Data terakhir yang dihimpun Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menyebut total 21 anak dari 25 orang korban kehilangan nyawa karena terperosok dalam  lubang-lubang  bekas tambang di tiga wilayah Kalimantan Timur. Sejumlah kalangan kemudian melihat bahwa kondisi tersebut tidak bisa sekadar dipandang sebagai sebuah insiden. KPAI bahkan menyebutnya sebagai tindak pelanggaran Hak Azasi Manusia dan Negara tidak boleh cuci tangan.

Musibah ini pertama kali terjadi pada tanggal 13 Juli 2011, ketika tiga anak meninggal sekaligus di kolam yang menganga tak jauh dari perumahan warga di daerah Sambutan. Seorang gadis cilik dan dua kakak beradik sedang bermain di sisi lubang tersebut tenggelam dan hilang nyawanya di lahan konsesi PT. Himko Coal.
Insiden kematian anak-anak di lubang tambang ini telah juga menyita perhatian Presiden Joko Widodo saat melakukan kunjungan ke wilayah Kaltim pada bulan November 2015 dan Maret 2016. Sayangnya, pada saat menjelang kedatangan eks walikota Solo tersebut, korban terus berjatuhan.

Masyarakat di Kaltim sendiri telah melakukan protes sejak 2012, ketika sekelompok masyarakat mendirikan Gerakan Samarinda Menggugat (GSM) dan mengajukan gugatan Warga Negara (citizen lawsuit) ke Pengadilan Negeri Samarinda.Mereka menuntut agar pemerintah kota mengurangi izin pertambangan batubara dan bertindak serius terhadap banjir yang mulai jadi langganan kota yang dibelah oleh sungai Mahakam tersebut.

***

Maret 2016, tim KPAI melakukan kunjungan ke Samarinda dan mendapati dua lubang bekas tambang berada di tengah perkampungan penduduk, tidak ada pagar, tidak ada papan pemberitahuan. Jarak antara rumah terakhir dengan lubang tidak sampai 100 meter. Komisoner KPAI, Maria Ulfa Anshor, turut serta dalam peninjauan itu. Ia memperkirakan diameter lubang bisa sampai ribuan meter. Lubang bekas ekplorasi menyerupai sebuah danau. Dalamnya mencapai 50 meter.

Tinjauan KPAI pada Maret 2016 itu sebagai bentuk tindak lanjutdari laporan masyarakat. Tahun 2014, KPAI menerima aduan Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Kalimantan Timur dan orang tua korban yang melaporkan ada sembilan anak yang meninggal di bekas galian tambang.

Maria mengatakan bertambahnya jumlah korban setiap tahunnya mengindikasikan adanya pembiaran oleh perusahaan dan pemerintah. Seharusnya sesuai dengan peraturan Kementrian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), 30 hari setelah perusahaan selesai melakukan eksplorasi maka wajib dilakukan reklamasi untuk memperbaiki lingkungan seperti semula dan menutup lubang bekas galian ekplorasi.

Namun Pemda setempat, menurut Maria, menolak dituding melakukan pembiaran. Pemda mengaku telah melakukan penimbunan meski penimbunan yang mereka lakukan tidak sesuai dengan aturan.

“Waktu kami cek ke lokasi hanya ditimbun, tidak ditutup sesuaidengan aturan reklamasi. Kalau reklamasi kan ditutup seperti semula, direboisasi, ada proses yang dilakukan sehingga harus seperti semula. Kami lihat itu tidak dilakukan,” kata Maria dalam wawancara, minggu kedua Agustus lalu.

KPAI juga menemukan ketidakseriusan penegak hukum terhadap kasus anak-anak yang meninggal di lubang tambang. Dari 24 kasus, hanya satu kasus yang diputus hingga tingkat pengadilan. Terhadap satu kasus itu, pengadilan memutus pidana dua bulan penjara dan denda Rp 2.000 kepada security perusahaan yang dianggap lalai.

“Baru satu dan keputusannya itu menurut kami tidak tepat sasaran. Yang jadi subjek hukum harusnya bukan pihak security,  tetapi pemilik perusahaan itu. Itu yang tidak terjadi,” kata Maria. KPAI telah melaporkan hasil temuannya kepada Presiden dan kementrian terkait. Sebuah rapat koordinasi yang dihadiri Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, Kementrian Lingkungan Hidup, Polri, Kejaksaan dan Gubernur Kalimantan Timur pun digelar pada awal Agustus 2016.

Maria mengatakan dua hal positif yang disepakati dalam rakor tersebut adalah penegakan hukum harus jalan dan pemberian uang duka dari perusahaan  tidak akan menghentikan proses hukum. Rakor kedua, menurut Maria,  akan dilakukan di Kaltim sekaligus membentuk tim bersama untuk melakukan peninjauan lapangan.

KPAI mengkategorikan kejadian ini sebagai bentuk pelanggaran HAM terhadap anak-anak yang dilakukan perusahan dan pemerintah. KPAI menemukan adanya indikasi pembiaran lubang sehingga kejadian terceburnya anak-anak ke lubang tambang terulang kembali. “Ini pelanggaran terhadap hak hidup anak dan hak bermain dengan aman,” kata Maria.

***

Di Samarinda, Rahmawati bersikeras bahwa berapapun santunan perusahaan tidak menghapuskan kelalaian perusahaan. “Waktu saya akan ke Jakarta untuk membawa petisi, ada orang yang diutus oleh perusahaan memberitahu kalau saya ke Jakarta maka perusahaan tidak akan memberi uang untuk acara seratus harian anak saya,” kisahnya.

Namun Rahmawati tetap berangkat ke Jakarta dan menyerahkan petisi ke Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan.  Kini dia masih menunggu jawaban atas permohonannya atas Surat Pemberitahuan Perkembangan Hasil Penyidikan (SP2HP). Sedangkan lubang tempat anaknya meninggal kini ditimbun dan jadi santapan makelar tanah untuk dijual sebagai tanah kaplingan.

Yang Hilang Setelah Tanah Berlubang

Tanggal 13 Juli 2011 adalah tanggal yang akan terus lekat dalam ingatan Sahrul. Warga Pelita 2, Kecamatan  Sambutan, Kabupaten Samarinda tersebut harus kehilangan dua anaknya

Musim Semi Izin Tambang

Dalam catatan Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Kalimantan Timur, di wilayah Kaltim telah diterbitkan 1.337  Izin Usaha Pertambangan (IUP) dan  33 Kontrak Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan

Lubang Mengepung Kota

Kota Samarinda mungkin bisa dikatakan sebagai salah satu contoh kota di Indonesia yang mengandung ironi besar. Sebagai ibukota provinsi Kalimantan Timur, ia sering kalah pamor

Berlangganan Kabar Terbaru dari Kami

GRATIS, cukup daftarkan emailmu disini.