Ruang rawat pasien tuberkulosis dan HIV (human immunodeficiency virus) Rumah Sakit Dr. Wahidin Sudirohusodo Makassar, Sulawesi Selatan terpaksa malih rupa. Penyebabnya, ruang rawat di lantai 1 yang digunakan untuk merawat pasien Covid-19 tak lagi muat.
Hingga Jumat, 21 Agustus 2020, jumlah pasien Covid-19 yang dirawat di rumah sakit tersebut mencapai 2290 orang. Sebanyak 1031 orang berstatus pasien dalam pengawasan (PDP), 672 orang dalam pemantauan (ODP), dan 587 pasien terkonfirmasi positif tanpa gejala (OTG). Jumlah tersebut lebih dari 18 kali lipat kapasitas tempat tidur yang dialokasikan untuk pasien Covid-19 sebanyak 124 unit.
Menurut Abdul Rakhmat (45), salah satu perawat di RS Wahidin Sudirohusodo, peningkatan jumlah pasien terjadi setelah pemerintah daerah tak lagi memberlakukan pembatasan sosial berskala besar (PSBB). Alih-alih memperketat pergerakan orang, Pemerintah Kota Makassar malah melakukan pelonggaran melalui Peraturan Walikota Nomor 31/2020 tentang Pedoman Pelaksaan Protokol Kesehatan pada 22 Mei 2020. Sejak itu, pasien yang mula-mula hanya satu orang, terus membengkak.
“Kami juga membuka ruang pavilion yang biasanya digunakan untuk pasien biasa. Kami desain untuk Covid-19,” kata Rakhmat yang juga menjabat sebagai Ketua Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI) Sulawesi Selatan saat dihubungi Jaring.id, Kamis, 13 Agustus 2020.
Dalam situs covid-19.go.id, Sulawesi Selatan termasuk provinsi yang menjadi penyumbang kasus Covid-19 terbesar setelah DKI Jakarta, Jawa Tengah, dan Jawa Timur. Jumlah orang yang terkonfirmasi positif di Sulawesi Selatan mencapai 11.122 orang. Dari jumlah itu sebanyak 8.004 dinyatakan sembuh dan 346 orang meninggal.
Rakhmat menambahkan, tingginya kasus tidak diimbangi dengan jumlah alat kesehatan yang memadai. Dari tujuh alat pengujian sampel Covid-19 dengan metode polymerase chain reaction (PCR) di Sulawesi Selatan, hanya dua diantaranya yang dapat menganalisa dengan akurat. Masing-masing berada di RS Dr. Wahidin Sudirohusodo dan Balai Besar Laboratorium Kesehatan Sulawesi Selatan yang berlokasi di Kota Makassar. Kapasitas alat di Rumah Sakit Dr. Wahidin, menurut Rakhmat, hanya bisa menguji 300 sampel per hari.
“Saat ini yang memprihatinkan adalah keberlangsungan alat diagnostik PCR. Ini berpengaruh untuk mendiagnosis Covid-19,” katanya.
Kondisi diperparah dengan minimnya jumlah catridge PCR, serta reagen untuk mendeteksi RNA virus SARS-CoV2. Stok reagen di RS Wahidin, menurutnya, hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan 8 hari ke depan.
“Kami ada mesin tetapi tidak ada cartridge. Lalu, persediaan reagen kami kurang,” tambahnya.
Pihak RS Dr. Wahidin Sudirohusodo, diakuinya, sudah berkomunikasi dengan Badan Penanggulangan Bencana Nasional (BNPB). Namun, sampai saat ini surat tersebut tak berbalas.
“Kalau tidak ada bantuan akan bermasalah,” kata Rahmat.
Permintaan serupa disampaikan Ketua Umum Dewan Perwakilan Wilayah Persatuan Ahli Laboratorium Medik Indonesia (Patelki), Idris Mene. Menurutnya, pengujian spesimen di Sulawesi Selatan masih kurang bila dibandingkan dengan jumlah penduduknya yang mencapai 8,82 juta jiwa.
“Saat ini dalam sehari hanya mampu uji 500 spesimen,” ungkap Idris Mane saat dihubungi Jaring.id pada Kamis, 20 Agustus 2020.
Minimnya tes menyebabkan tingkat kepositifan (positivity rate) Covid-19 di Sulawesi Selatan terbilang tinggi, yakni mencapai 14 persen. Angka ini jauh melampui tingkat kepositifan nasional yang hingga Agustus ini mencapai 12,6 persen. Angka tersebut juga jauh melampaui batas maksimal yang ditetapkan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) sebesar 5 persen.
Minimnya pengujian sampel, menurut Idris, terlihat sejak pemerintah daerah memberlakukan Pedoman Pencegahan dan Penangan Covid-19 yang ke lima.
“Setelah revisi pedoman jadi lebih sedikit. Sebelumnya, pada bulan April-Juli uji spesimen bisa mencapai 1000 per hari,” kata Idris.
Berbeda dengan Sulawesi Selatan, Juru Bicara Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 Kalimantan Selatan, Muhammad Muslim menyatakan bahwa lima alat PCR yang digunakan di wilayahnya masih berfungsi maksimal. Tiga alat tersebut diantaranya beroperasi di rumah sakit rujukan, sedangkan sisanya digunakan oleh Litbangkes dan Balai Besar Laboratorium Kesehatan.
“Kapasitasnya sehari mampu 2000-an. Saat ini kami punya kecepatan untuk menentukan hasil konfirmasi Covid-19,” kata Muslim saat dihubungi Jaring.id, Kamis, 13 Agustus 2020.
Salah satu rumah sakit yang dapat melakukan pengujian sampel lendir ialah RS Dr H.M Ashari Saleh. Direktur RS Dr H.M Ashari Saleh, dr. Izaak Zoelkarnaen Akbar menyatakan bahwa kapasitas dari mesin uji Covid-19 masih baik. Hanya saja alat yang diberikan BNPB tersebut hanya mampu bertahan hingga akhir bulan ini.
“Kami selalu minta 5000 PCR, termasuk masker N95, hazmat, dan sepatu boot. Kalau kurang dari seminggu sebelum habis, kami akan melaporkan,” ujarnya.
Dalam situs covid19.go.id, Kalimantan selatan merupakan daerah dengan kasus tertinggi ke-6 di Indonesia. Hingga 19 Agustus 2020, terdapat 11.940 kasus yang terkonfirmasi positif. Dari jumlah tersebut, sebanyak 4.750 orang dinyatakan sembuh dan 327 orang diantaranya meninggal.
***
Indonesia Coruption Watch (ICW) menyisir puluhan paket pengadaan alat kesehatan yang dilakukan tahun ini. Sesuai Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 54/2020 tentang Perubahan Postur dan Rincian Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2020, pengalokasian anggaran fungsi kesehatan penanganan corona virus disease (Covid-19) mencapai Rp 76,55 triliun.
Anggaran jumbo tersebut, 85 persennya bersumber dari APBN dan sisanya ditutupi oleh APBNP, BLU, serta PNBP. Namun, hingga Mei 2020, realisasi dari anggaran tersebut seret di angka 2,16 persen atau setara dengan Rp 1,66 triliun.
Peneliti ICW Siti Juliantari, menilai proses pengadaan barang dan jasa di Kementerian Kesehatan tidak transparan lantaran pemerintah tidak secara rinci mengumumkan jenis dan volume barang yang hendak dibeli. Padahal, ada 67.888.323 buah alat dari sekitar 30 jenis alat material kesehatan (almatkes) yang sudah dibeli pemerintah. Hal ini yang kemudian dinilai berpotensi menyebabkan tindak pidana korupsi.
“Kalau informasi semua dibuka, hal tersebut membantu masyarakat memantau, apakah benar spesifikasi yang dibeli pemerintah,” kata Siti Juliantari saat memberikan keterangan persnya melalui aplikasi Zoom, Rabu, 12 Agustus 2020.
ICW meminta agar pemerintah membangun kanal khusus untuk menyediakan segala informasi pengadaan terkait penanganan Covid-19.
“Transparansi bukan hambatan. Ini bagian terpenting sebagai bentuk akuntabilitas pemerintah,” ujar Siti.
Tertera dalam Kajian ICW mengenai Potensi Korupsi Alat Keseahtan di Kondisi Pandemi, masker bedah merupakan barang yang paling banyak dibeli. Angkanya mencapai 46.224.678 buah atau setara dengan 68,1 persen. Adapun pembelian alat pelindung diri mencapai 9.451.627 unit, atau setara dengan 13,9 persen. Disusul alat tes cepat sebanyak 2.344.800 buah (3,5 persen), reagen PCR 2.242.150 buah (3,3 persen), reagen RNA 1.695.258 buah (2,5 persen). Sedangkan sisanya berupa VTM 3 ML sebanyak 1.399.474 buah (2,1 persen), sarung tangan medis 1.384.730 pasang (2 persen), dan handscoon nonsteril sebanyak 1.286.900 (1,9 persen).
Namun, rata-rata realisasi pendistribusian APD dalam rentang waktu 5 bulan terakhir hanya sebanyak 1,8 juta unit atau sekitar 38 persen. Padahal, Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 menyatakan bahwa kebutuhan APD secara nasional sebanyak 5 juta unit per bulan. Artinya, menurut peneliti ICW lain Wana Alamsyah, kemampuan pemerintah dalam memenuhi APD di tiap daerah terbilang buruk.
“Wilayah kategori zona merah selain Pulau Jawa justru mendapatkan alat sedikit,” ungkap Wana saat dihubungi Jaring.id, Kamis, 13 Agustus 2020.
Distribusi almatkes 51,7 persennya terkonsentrasi di Pulau Jawa. Lalu disusul Sumatera (17,5 persen), Sulawesi (10,4 persen), Kalimantan (6,6 persen), Maluku dan Papua (8,4 persen), terakhir Bali dan Nusa Tenggara (5,5 persen). Di Pulau Jawa, menurut Wana, DKI Jakarta ialah daerah yang paling banyak menerima almatkes, yakni sebanyak 25,2 persen, lalu diikuti Jawa Timur (12,4 persen), Jawa Barat (5,1 persen), dan Jawa Tengah (4,6 persen).
Wana menduga pemerintah tidak memiliki basis data yang baik ketika mendistribusikan almatkes selama masa pandemi. Menurutnya, zona merah di pelbagai daerah harusnya menjadi sasaran tembak dari pengadaan almatkes.
“Kami menilai ada potensi risiko kecurangan dalam distribusi almatkes. Ketika tidak adanya informasi jelas, ini berpotensi terjadi tindak pidana korupsi,” ungkapnya .
Selain menyoroti distribusi almatkes, ICW juga mengkritisi penggunan tes cepat untuk melakukan pemeriksaan Covid-19 di pelbagai daerah. Padahal, beberapa negara seperti Belanda, Spanyol, dan Ceko yang tidak lagi menggunakan alat tersebut. World Health Organization (WHO) pun sudah sejak April lalu merekomendasikan agar pemerintah Indonesia tak lagi menggunakan metode ini untuk mendeteksi Covid-19.
Hingga 19 Juli 2020, pemerintah Indoensia sudah mendistribusikan 2.344.800 unit rapid test ke 34 provinsi. Dari jumlah itu, ICW menaksir anggaran sebanyak Rp 569 miliar atau sekitar 1,2 persen sudah dibuang pemerintah untuk membeli alat uji tersebut.
“Mengapa pemerintah masih membeli rapid test? Anggaran sebesar itu mestinya dapat dialokasikan untuk kebutuhan yang lebih mendesak,” kata Wana.
Untuk mencegah korupsi anggaran penanganan pandemic Covid-19, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah membentuk 15 satuan tugas.
“Di bidang pencegahan, KPK sebagai trigger mechanism melakukan fungsi koordinasi dan monitoring di tingkat pusat dan daerah. KPK membentuk total 15 satgas khusus pada kedeputian pencegahan,” kata Wakil Ketua KPK Lili Pintauli Siregar dalam konferensi pers Kinerja KPK Semester I 2020, Selasa, 8 Agustus 2020.
Satgas ini, menurut Lili, ditugaskan bekerjasama dengan Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 untuk menganalisa dan memberi rekomendasi terkait pengadaan barang dan jasa. Di samping itu, Satgas KPK juga akan mengkaji sejumlah program dan realokasi anggaran baik di kementerian/lembaga, maupun pemerintah daerah.
“Di bidang penindakan, merespon kerawanan dan potensi korupsi pada masa pandemi ini, KPK juga membentuk tim khusus pada kedeputian penindakan,” tambah Wakil Ketua KPK, Nawawi Pomolango.
Sementara itu, Ketua Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19, Letnan Jenderal TNI Doni Munardo saat dikonfirmasi perihal distribusi alat material kesehatan serta alat pelindung diri menyerahkan proses tersebut kepada Kementerian Kesehatan.
“APD (tanya) ke Kemenkes,” kata Doni saat dihubungi melalui WhatsApp, Jum’at 14 Agustus 2020.
Dalam lawatan ke Jawa Barat, Doni sempat menyampaikan bahwa jumlah mesin PCR yang tersebar di laboratorium dan rumah sakit mencapai 270 unit. Jumlah itu dinilainya cukup untuk melakukan pengujian terhadap spesimen Covid-19. Namun, ia menyoroti kinerja petugas laboratorium yang belum maksimal memanfaatkan alat pengujian yang ada.
“Ketika hari-hari libur terjadi penurunan pemeriksaan spesimen. Sudah beberapa hari mencapai 30 ribu per hari. Namun, ketika hari libur drop setengahnya,” kata Doni di Gedung Negara Pakuan, Bandung, Kamis 6 Agustus 2020.
Hingga Kamis, 20 Agustus 2020, Jaring.id sudah meminta konfirmasi kepada sejumlah pejabat di Kementerian Kesehatan baik melalui sambungan telepon maupun meninggalkan pesan WhatsApp, tetapi usaha tersebut tak direspons. Kepala Pusat Krisis Kesehatan, Budi Sylvana dan Dirjen Kefarmasian dan Alat Kesehatan Engko Sosialine juga tidak memberikan jawaban terkait pengadaan serta distribisui alat kesehatan selama pandemi.