Menyemai Toleransi di Kemah Lintasiman

Pada awalnya rasa penasaranlah yang mendorong Asifa Khoirunnisa (22) mengikuti kemah pemuda lintasiman (youth interfaith camp atau YIC) tiga tahun lalu. Menghabiskan tiga hari bersama 30-an anak muda lain, dia mengaku memperoleh perspektif baru dalam memandang keberagaman. 

Lahir di Cigadung, Kota Bandung, Sifa tumbuh dalam keluarga besar dengan latar belakang pesantren yang kuat. Dia menuntaskan pendidikan dasar dan menengah di madrasah. Hingga remaja, Sifa meninggali dunia yang relatif seragam. Kenginannya berkuliah di Jurusan Perbandingan Agama, sekarang Studi Agama-agama, di Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Gunung Djati, Bandung, membuat semua orang kaget.  

“Orangtua bertanya-tanya untuk apa saya kuliah di jurusan seperti itu. Mereka khawatir nantinya tidak akan ada pekerjaan yang cocok bagi saya. Butuh perjuangan untuk meyakinkan mereka dan alhamdulilah saya berhasil,” kata Sifa ketika ditemui di Bandung akhir Oktober 2019 lalu.  

Di kampus di kawasan Cibiru inilah, karena ajakan teman, Sifa berkenalan dengan kegiatan-kegiatan lintasiman yang tidak biasa. Dia bergabung dalam sekelompok anak muda yang mengunjungi gereja. Lain waktu, dia datang ke vihara. Bagi Sifa, semua itu merupakan pengalaman pertama kali seumur hidup. 

Puncaknya, pada pertengahan 2016, Sifa mengikuti kemah pemuda lintas iman yang diselenggarakan Jakatarub (Jaringan Kerja Sama Antar Umat Beragama) di Lembang, Kabupaten Bandung Barat. Itulah pengalaman tiga hari yang membukakan mata 

“Kemah itu memberikan saya perspektif baru dalam memandang keberagaman. Dengan berdialog langsung dengan teman-teman beda agama, bahkan ada yang tidak beragama, saya bisa sedikit demi sedikit memahami mereka. Bukan lagi prasangka yang didahulukan,” ujar Sifa. 

Pulang dari kemah, Sifa dan beberapa temannya mendirikan Salim (Sahabat Lintasiman). Sebagian besar anggotanya merupakan mahasiswa di kampus UIN SGD dan para anak muda lain yang tinggal di kawasan timur Bandung. Beragam kegiatan yang pernah dilakukan Salim di antaranya kunjungan ke gereja dan pondok pesantren. Ada juga acara bedah buku dan pasar murah. 

Salim juga tercatat pernah mengadakan kunjungan dan diskusi dengan para pemeluk Ahmadiyah di kawasan Cikutra, Kota Bandung. Ahmadiyah merupakan salah satu kelompok minoritas yang rentan menjadi korban persekusi. Awal 2019 ini, misalnya, puluhan orang membubarkan acara mereka. Pemerintah Provinsi Jawa Barat pada 2011 bahkan mengeluarkan Peraturan Gubernur yang melarang aktivitas penyebaran ajaran. 

“Dengan mendengarkan langsung kisah mereka, kami memiliki pemahaman yang cukup untuk bersikap adil. Saya meyakini dialog merupakan kunci toleransi,” kata Sifa.

Ruang dialog

Dialog untuk membangun toleransi juga tercermin dalam kemah lintasiman yang diselenggarakan Young Interfaith Peacemaker Community (YIPC). Tahun ini, YIPC menghelatnya di tujuh kota, Surabaya menjadi pembuka.

“Yang penting itu bukan materi (kemah) tapi dialog. Di situ mereka (peserta) menemukan bahwa prasangka soal Kristen dan Islam ternyata tidak selalu (benar) begitu, Tidak semua (prasangka) yang mereka pikirkan sama,” ujar Faiz Miftahul Huda, Ketua YIPC Jawa Timur.

Mengomunikasikan prasangka menjadi titik mula kemah lintasiman YIPC. Peserta diminta untuk menuliskan prasangkanya mengenai agama lain untuk dibincangkan dalam kegiatan yang didesain berjalan pada 18-20 Oktober 2019.

Namun, dialog tidak ditujukan untuk menghadirkan konsensus soal doktrin agama. Dalam sesi scriptural reading misalnya, alih-alih menyediakan ruang debat soal kebenaran agama, para peserta diajak untuk mengenal warta kebaikan yang hadir dalam ayat-ayat Injil dan Al-Quran. Mereka bergantian membaca dan menyimak lantunan kitab suci.

“Ada beberapa hal yang dilarang (dalam sesi). Pertama menafsir, peserta hanya membaca artinya. Lalu dalam konteks kenabian, peace value dalam ayat tersebut ada atau tidak. Terakhir, mereka melakukan langkah kongkrit dengan peduli, menolong orang lain, dan membantu teman,” terangnya.

Promosi nilai baik juga dilakukan dalam Sahabat Sophie yang menghelat kemah lintasiman pada pertengahan September 2019. 

“Kami para suster hati kudus melihat bahwa kami kurang berbagi soal nilai nilai spiritualitas yang dimiliki. Nilai itu sebenernya sederhana sekali. Be humble, be simple, dan bring joy to others,” tukas Lulud dari Sahabat Sophie.

Dalam kemah lintasiman perdananya, Sahabat Sophie menyisipkan materi mengenai sikap kritis. Hal itu dianggap penting di tengah banyaknya kabar bohong mengenai agama lain yang beredar di masyarakat beberapa tahun belakangan.

Trend Peningkatan

Bagi Rifqi Taofiq Sidqi (29), kemah pemuda lintasiman adalah sebuah peneguhan. Ia merupakan pengurus PMII (Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia) di Universitas Siliwangi (Unsil) Tasikmalaya ketika bergabung dengan puluhan anak muda lain di Lembang selama tiga hari pada 2012. Sepulang dari kemah, ia membulatkan tekad menjadi seorang aktivis keberagaman. 

Bersama empat teman alumni kemah, Rifqi menginisiasi pembentukan Kompasiman (Komponen Lintasiman) di Tasikmalaya. Kegiatan mereka bukan saja mengunjungi tempat ibadah dan berdiskusi, tetapi secara konsisten memberikan pendampingan dan advokasi bagi minoritas korban tindak intoleransi. 

Tercatat ada banyak kasus intoleran di Tasikmalaya dalam beberapa tahun terakhir, seperti penyegelan dan penutupan rumah ibadah Jemaah Kristen dan Ahmadiyah serta penerbitan perda diskriminatif terhadap perempuan. Usulan pendirian UKM (Unit Kegiatan Mahasiswa) Kristen di salah satu perguruan tinggi sampai saat ini juga belum kesampaian. Kompasiman sendiri pada 2016 menelan pil pahit ketika sekelompok orang membubarkan diskusi tentang keberagaman.

“Bergabung dengan Jakatarub dan mengikuti kemah pemuda lintas iman bukan saja memperkaya perspektif, tapi juga memperluas jejaring. Untuk kepentingan advokasi di Tasikmalaya, yang jauh dari Bandung dan Jakarta, jejaring yang luas penting sekali,” kata Rifki.   

Kasus intoleransi di Tasikmalaya merupakan cerminan persoalan yang dihadapi Jawa Barat. Dalam berbagai riset dan survei tentang intoleransi, provinsi terpadat di Indonesia ini selalu ada di atas. Setara Institute melaporkan 29 peristiwa pelanggaran kebebasan beragama/berkeyakinan di Jawa Barat, tertinggi di Indonesia, sepanjang 2017. Tahun sebelumnya, jumlah pelanggaran mencapai 41 kasus. 

Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), sepanjang 2016, mencatat 21 pengaduan terkait kebebasan beragama dan berkeyakinan di Jabar. Jumlah ini merupakan yang terbanyak dibandingkan provinsi-provinsi lain di Indonesia. Beberapa kasus yang menjadi sorotan ketika itu adalah permasalahan GKI Yasmin di Bogor, penyegelan beberapa gereja di Cianjur, penghambatan izin gereja di Bandung, serta persoalan eks-Gafatar dan Ahmadiyah. 

Peran Negara

Di tingkat nasional, kondisinya tak jauh berbeda. Riset oleh Wahid Foundation menemukan 278 tindakan kekerasan atas nama agama pada 2018, naik dibandingkan dengan tahun 2017 yang berjumlah 265 tindakan.

Menurut Wahid Foundation negara menjadi aktor terbanyak dalam melakukan pelanggaran.  Sebanyak 138 dilakukan oleh institusi pemerintahan, sementara non-negara hanya terdapat 104 kelompok dan 44 individu. Angka tersebut naik dari tahun 2017 dimana kekerasan oleh negara hanya 95 kasus. 

Dari sudut korban ketika dibandingkan dengan tahun 2017, tindakan pelanggaran yang dialami masyarakat mengalami peningkatan, di tahun 2017 terdapat 27 korban sementara di tahun 2018 menjadi 31 korban. 

Direktur Eksekutif Wahid Foundation, Mujtaba Hamdi menyatakan praktik tersebut  didasari atas persinggungan identitas. Polarisasi itu menurutnya semakin terbuka. 

“Ketika masyarakat merasa identitas dan sentimen agama mereka terganggu, mereka akan berubah menjadi intoleran,” ujarnya.

Mujtaba juga menyoroti pembuatan peraturan diskriminatif sebagai salah satu penyumbang meningkatnya trend intoleransi. Ia menjelaskan ada 22 regulasi yang dibuat legislatif dan eksekutif mengarah ke ranah diskriminasi. Aturan itu mencakup pewajiban busana atau atribut keagamaan, pewajiban baca Al-Qur’an dan keharusan melaksaankan sholat berjamaah. 

Bentuknya seperti adanya surat edaran, kebijakan daerah tidak tertulis, kebijakan kepala sekolah sampai peraturan daerah. 

“Ada hal-hal yang belum terselesaikan yang membuat intoleransi itu terkesan langgeng,” ungkapnya.

Jangka Panjang

Di tengah trend intoleransi, Mujtaba memandang kemah lintasiman bisa menjadi salah satu solusi. Menurutnya, berbagai usaha yang dilakukan komunitas perdamaian di setiap daerah bisa menjadi langkah positif untuk menangkal praktik intoleransi.  Syaratnya, dilakukan dengan sungguh-sungguh.

Ia menekankan semestinya pelaksanaan kegiatan kemah lintas iman tidak berhenti pada bentuk kegiatan sementara. Menurutnya, penyelenggara perlu menindaklanjuti kegiatan kemah lintas iman hingga ke tingkat masyarakat agar masyarakat bisa berpikir lebih kritis mengenal keberagaman.

“Kalau hanya berhenti di seremoni dan panggung depan saja, sementara panggung belakangnya tidak dibenahi itu juga tidak akan berdampak panjang,” ujar Mujtaba. 

Koordinator Presidum Jakatarub Wawan Gunawan menyatakan, kemah pemuda lintasiman yang diselenggarakan komunitasnya memberikan berbagai keterampilan praktis yang ditujukan untuk menjaga keberlanjutan. Peserta diajarkan untuk melek media, memproduksi film pendek yang mempromosikan toleransi, hingga melakukan advokasi.

“Kami ingin agar kemah pemuda lintasiman tidak diberhenti menjadi kegiatan tiga hari. Justru ujian dimulai setelah kemah selesai dan mereka kembali ke lingkungan masing-masing. Keterampilan praktis penting untuk menopang misi mereka menyebarkan nilai-nilai penghargaan pada keberagaman,” tuturnya. 

Salim di Bandung dan Kompasiman di Tasikmalaya merupakan dua komunitas hasil kemah pemuda lintasiman yang aktif berkegiatan hingga hari ini. Ada sedikitnya tujuh komunitas lain di tujuh kabupaten/kota di Jawa Barat, yakni Gradasi (Gerakan Pemuda Inklusi) di Cimahi, Koin (Komunitas Interfaith) di Jatinangor, Pelita (Pemuda Lintas Agama) di Cirebon, KPL (Komunitas Pemuda Lintas Agama) di Indramayu, Fopulis (Forum Pemuda Lintas Iman) di Sukabumi, Koran Rolek di Bekasi, dan Tabib di Bogor. 

“Tidak semua komunitas seaktif Salim dan Kompasiman. Itulah salah satu tantangan yang kami hadapi akibat keterbatasan sumber daya. (Komunitas) Yang di daerah-daerah menjadi sulit dirawat,” ucap Wawan.


*Liputan ini hasil reportase kolaboratif yang melibatkan wartawan Pikiran Rakyat Tri Joko Her Riadi, Abdus Somad dan Kholikul Alim dari JARING (Jaringan Indonesia untuk Jurnalisme Investigasi), serta Ivany Atina Arbi dari Jakarta Post.

Berlangganan Kabar Terbaru dari Kami

GRATIS, cukup daftarkan emailmu disini.