Menjamin Demokrasi Kala Pandemi

Menjamin hak pilih sembari mencegah penularan virus corona merupakan dua hal kunci bagi sejumlah negara yang memutuskan menggelar pemilu pada masa pandemi.

Tempat pemungutan suara (TPS) di Pangyo, Kota Seongnam, Korea Selatan pada April 2020 lalu tampak berbeda dari pemilihan umum (pemilu) sebelumnya. Pemilik suara tidak lagi berkerumun di lokasi pemungutan suara. Chaterine Kim, salah satu pemilik suara membagikan pengalamannya mengikuti pesta demokrasi di bawah bayang-bayang corona dalam artikel berjudul I voted in South Korea’s elections. This is what democracy can look like in a pandemic pada 17 april 2020. Dalam tulisan yang terbit di vox.com itu, Kim menyatakan bahwa seluruh warga mesti mengikuti pelbagai prosedur kesehatan, antara lain jarak antar orang tak kurang dari 1 meter, bermasker, dan pemeriksaan suhu tubuh.

Korea Selatan termasuk negara yang berhasil menggelar pemilu legislatif, meski ketika itu penambahan kasus positif Covid-19 mencapai 900 kasus per hari. Agar TPS tidak menjadi lumbung penularan baru, menurut Kim, pemilih yang lolos pengecekan suhu tubuh akan diberi penyanitasi tangan serta sarung tangan plastik yang hanya digunakan saat berada di TPS. Sementara masker hanya bisa dilepas ketika panitia melakukan pencocokan wajah dengan kartu identitas.

Pihak penyelenggara juga menerapkan sistem pemilihan dini (early voting). Metode ini berperan besar mengurai kepadatan pemilih di hari utama pemungutan suara. Setidaknya 11 juta atau 40 persen pengguna hak suara di Korea Selatan, memanfaatkan pemilihan dini yang dibuka selama dua hari berturut-turut yakni 10 dan 11 April 2020. Dari 3508 TPS,  8 TPS diantaranya dikhususkan bagi pasien positif Covid-19 dan tenaga medis di pusat-pusat kesehatan. Di TPS itu, petugas pemungutan suara menggunakan pelindung lengkap, termasuk baju Hazmat. Menurut Kim, seluruh prosedur pada pemungutan suara kali ini tuntas tidak kurang dari 10 menit tiap orang.

 

Deputi Direktur Pelatihan Asosiasi Badan Penyelenggara Pemilu Dunia (AWEB) yang berpusat di Korea Selatan, Jinju Jo mengatakan pemungutan suara pada 15 April 2020 digelar sesuai Pedoman Teknis Pencegahan Penularan Covid-19 dalam Pemilu yang dirancang Komisi Pemilihan Nasional (NEC) Korea Selatan. Pedoman tersebut belakangan diadopsi negara-negara yang akan menggelar pemilu di masa pandemi seperti Singapura, Sri Lanka, dan Indonesia. Menurutnya, penyelenggara pemilu di Korea Selatan tidak ingin masyarakat kehilangan suara pada masa pandemi.

“Dua prinsip fundamental Korea Selatan dalam mempersiapkan pemilu ialah menjamin lingkungan pemilihan yang aman, melindungi hak pemilih yang terkena covid-19 dan mereka yang sedang di karantina,” ujar Jinju Jo dalam diskusi “Implementing Election During  Pandemic” pada 12 Juni 2020.

Bahkan 60 ribu warga yang tengah menjalani masa karantina mandiri masih diberi ruang untuk menyalurkan suara. Mereka diperkenankan memberi suara di TPS masing-masing satu jam sebelum proses pemilihan selesai.

“Pasien dan tenaga medis diberikan waktu memilih yang berbeda,” tambah Jo.

Berbeda dengan Korea Selatan, Singapura terpaksa menghapus hak suara pasien positif Covid-19 maupun warga yang mendapat surat “Quarantine Order.” Departemen Pemilu Singapura (ELD) melarang mereka memberikan suara dalam Pemilihan Umum Singapura 2020 pada 10 Juli 2020.

“Untuk meminimalisir kontak mereka dengan anggota masyarakat dan mengurangi risiko transmisi komunitas,” bunyi rilis pers yang diterbitkan kantor Perdana Menteri Singapura yang membawahi ELD, pada Rabu, 1 Juli 2020.

Tingginya kasus infeksi di Singapura membuat pemerintah hanya memfasilitasi pemilih yang mendapat surat Stay Home Notice. Sebagai informasi, surat tersebut merupakan perintah karantina mandiri selama 14 hari bagi semua pelancong yang mendapat izin untuk masuk ke Negara Singa. Langkah tersebut dilakukan untuk meminimalisir kasus impor Covid-19. ELD menetapkan dua hotel, yakni Marina Bay Sands dan JW Marriott Singapore South Beach sebagai TPS khusus bagi pemilih yang mendapat Stay Home Notice.

Berdasarkan peraturan Pemilihan Khusus untuk Melindungi Kesehatan dan Keselamatan di Pemilu 2020 Singapura, petugas TPS akan aktif menjemput suara. Mereka yang merasa tidak sehat atau suhu tubuhnya melebihi 37,5 derajat celcius tak diperbolehkan datang ke TPS. Dalam hal ini, ELD menyiapkan dua jam terakhir pemilihan untuk melayani pemilih tersebut di rumah maupun di TPS.

Untuk mengurai penumpukan di hari pemungutan suara, pemilih dibagi ke dalam beberapa jadwal. Pemilih berusia 65 tahun ke atas dan pemilih disabilitas misalnya, dapat memberikan suara pada pukul 08.00 – 10.00. Penjadwalan tersebut tercantum dalam surat pemberitahuan yang diterima pemilih satu hari sebelum pemungutan suara.

Pendiri Maruah—organisasi sipil untuk isu kemanusian di Singapura, Braema Mathi menilai bahwa pelbagai regulasi kesehatan pemerintah Singapura tidak bisa dikatakan buruk. Namun, anjuran pemerintah untuk jaga jarak belum dapat mengurangi angka infeksi.

“Kita punya risiko gelombang kedua terjadi, orang-orang berharap pemilu bisa ditunda ke periode yang lebih aman,” katanya dalam webinar bertajuk “Whats going on in Singapore?” yang dihelat Minggu, 5 Juni 2020.

Dalam rentang 14 hari sejak digelarnya pemilu, rata-rata angka infeksi Covid-19 Singapura meningkat menjadi 300 kasus baru per hari. Sementara itu, kekhawatiran Braema Mathi soal rendahnya angka partisipasi tidak terbukti. Pada 15 Juli, ELD mengumumkan angka partisipasi pemilih Singapura mencapai 95,81 persen atau naik dua persen dibandingkan Pemilihan Umum Singapura 2015 silam.

***

Sementara itu, Ketua Komisi Pemilihan Umum (EMB) Sri Lanka, Mahinda Deshapriya hanya menargetkan partisipasi pemilihan umum legislatif sebesar 75 persen pada 5 Agustus nanti. Angka ini lebih rendah dari rata-rata partisipasi pemilu sebelumnya, yakni 80-82 persen.

“Kami memastikan kepada masyarakat, TPS lebih aman dari tempat publik lainnya. Silakan datang ke TPS dan memilihlah,” imbaunya lewat diskusi bertajuk 2020 Sri Lankan Parliementary Election, A Situation Update pada 27 Juni 2020.

Untuk memastikan keamanan TPS, Mahinda mengatakan petugas dan pemilih wajib menggunakan masker, menyanitasi tangan ketika berinteraksi dan menerima dokumen, serta menjaga jarak minimal satu meter ketika pemungutan suara. TPS akan dipasang sekat pelindung yang menghalangi interaksi langsung pemilih dengan petugas.

Satu orang tenaga medis juga disediakan di masing-masing TPS. Dalam hitungan Mahinda, mereka memerlukan tambahan hingga 40 ribu petugas medis dan petugas sanitasi di 14 ribu titik TPS. Nantinya petugas sanitasi akan membersihkan TPS secara berkala. Penambahan jumlah petugas memaksa Mahinda mengajukan tambahan anggaran hingga USS$ 37 juta atau setara Rp 518 miliar.

“Uang bukanlah masalah. Masalahnya adalah bagaimana menyelamatkan demokrasi,” tegasnya.

Mahinda sempat mengusulkan pemilu awal bagi pemilih dalam karantina pada 31 Juli 2020. Sayangnya, usulan tersebut tak bisa dilaksanakan lantaran regulasi pemilu Sri Lanka tak dapat mengakomodasi usulan tersebut. Sebab itu, penyelenggara pemilu memutuskan untuk memperpanjang waktu pemungutan suara.

“Kami tidak menambah TPS, tetapi menambah waktu pemilihan,” paparnya.

***

Lain kondisi dengan Indonesia yang berencana melakukan penambahan hingga 50 ribu lokasi TPS. Hitungan itu muncul lantaran kapasitas yang semula 800  orang per TPS, disusutkan menjadi 500 orang per TPS untuk mengurangi kepadatan pemilih di Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) serentak pada 9 Desember 2020 mendatang.

Menurut Ketua KPU RI, Arief Budiman, anggaran pilkada membengkak hingga Rp 4,7 Triliun lantaran pagebluk. Selain dialokasikan untuk penambahan TPS, anggaran jumbo tersebut digunakan untuk menyediakan alat pelindung kesehatan di 304 ribu TPS seluruh Indonesia.

Setelah tahap pertama cair akhir Juni kemarin, Arief berharap, pencairan duit pilkada tahap kedua dapat terealisasi Agustus mendatang. Sementara tahap tiga dapat cair dua bulan berselang, yakni Oktober 2020.

“Anggaran tahap pertama tidak dicairkan secara penuh, saya harap itu bisa dicairkan di tahap dua. Kalau sampai harinya tidak dicairkan, saya tidak mau mengambil risiko,” ujar Arief pada 10 Juli 2020.

Data Kementerian Kesehatan RI per 17 Agustus 2020 menunjukkan bahwa kasus infeksi Covid-19 positif menjangkit 141,370 orang dengan 6,207 kasus kematian. Menurut Arief, KPU menjamin seluruh warga dapat memberikan hak pilihnya pada akhir tahun nanti. Pemilih yang tengah menjalani rawat inap, karena positif terinfeksi akan didatangi petugas TPS sekitar rumah sakit.

Ia mengatakan penyelenggara pemilu di tiap daerah akan bekerja sama dengan rumah sakit dan Satuan Tugas Penanganan (Satgas) Covid-19 untuk mendata pemilih yang akan menggunakan hak pilih di rumah sakit. Data pemilih dalam isolasi mandiri juga akan diserahkan ke petugas TPS agar didatangi pada hari pemungutan suara. Pasien rumah sakit dan isolasi mandiri didata maksimal satu hari sebelum hari pemungutan suara.

“Panitia pemungutan suara dapat melayani hak pilihnya dengan cara mendatangi pemilih atas persetujuan saksi dan pengawas serta mengutamakan kerahasian pemilih,” katanya.

Program Manager Asian Democratic Network, Soon Yoon Suh menyarankan agar negara-negara yang akan menggelar pemilu pada masa pandemi meniru langkah Korea Selatan. Selain menyiapkan protokol kesehatan, Korea Selatan menyediakan perangkat teknologi dan jaringan internet pada masa kampanye. Bahkan negara di Asia bagian timur ini tak segan menyediakan dana lebih besar untuk mempekerjakan lebih banyak petugas lapangan.

“Korea Selatan juga punya kemampuan mempekerjakan orang di TPS dan menyediakan alat pelindung pemilih,” kata Soon ketika dihubungi pada 26 Juni 2020.

Soon menganggap bahwa Korea Selatan merupakan negara yang berhasil menggelar pemilu pada masa pandemi. Lantaran tidak ada kasus penularan baru yang terkait dengan pesta demokrasi di sana. Untuk mencapai hal tersebut, penyelenggara pemilu, pemerintah dan lembaga kesehatan perlu bersama-sama merumuskan hal konkret pelaksanaan pemilu sesuai dengan kondisi negara masing-masing.

“Berlangsungnya pemilu di Korea Selatan karena lembaga kesehatannya mampu menangani pandemi dengan baik. Seandainya lembaga kesehatan tidak mampu menangani pandemi, mereka juga tidak akan mungkin mengijinkan pemilu,” pungkasnya.

CITES Berburu Data Perdagangan Hiu Indonesia

Surat review of significant trade (RST) dari Sekretariat CITES—lembaga yang mengurusi konvensi perdagangan internasional spesies satwa dan tumbuhan liar terancam punah, dilayangkan ke Kementerian Lingkungan

Berlangganan Kabar Terbaru dari Kami

GRATIS, cukup daftarkan emailmu disini.