Mengecer Rokok, Mengasong Anak  

 

Muhammad Fahruddin tak pernah melarang anak-anak membeli rokok dagangannya. Padahal, lewat peringatan yang ukurannya tak seberapa besar di sisi kemasan, ia tahu ada larangan untuk menjual rokok kepada anak usia di bawah 18 tahun.

Sistem penjualan per batang, menurutnya, ramah untuk kantong pelajar yang tak seberapa dalam. Kebijakan pemerintah menaikkan cukai rokok sebesar 23 persen per Januari 2020, juga diakuinya tak berdampak signifikan terhadap harga jual. Dengan kenaikan berkisar Rp 1000 – Rp 1500 per bungkus di tingkat pedangang eceran, Fahruddin mengatakan, harga jual per batang masih relatif sama di kisaran Rp 1500 – Rp 2000.

“Perbedaannya hanya dulu itu jual batangan lebih untung, sekarang hampir sama untungnya dijual per batang atau per bungkus,” ujar Fahruddin.

Fahruddin mampu menjual hingga 120 batang per harinya. Pemilik warung lain, Ebik, mengaku penjualannya bisa mencapai 360 batang per hari, atau setara 30 bungkus. Selain berada di pinggir jalan, posisi Ebik yang berdekatan dengan dua sekolah menengah atas (SMA) cukup berdampak terhadap penjualan.

“Mereka (pelajar) biasanya beli yang (harganya) tiga lima ribu. Kalau beli bungkusan mereka bisa juga patungan,” kata Ebik ketika ditemui di kiosnya di Kota Depok pada Senin 20 Juli 2020.

Beberapa perokok anak bahkan tak pikir panjang menandaskan sebagian besar uang saku mereka untuk membeli rokok. Muhammad Alif (19) yang dijatah uang saku Rp 25.000 per hari misalnya, saban hari menghabiskan Rp 15.000 – Rp 18.000 untuk membeli rokok. Saat mulai merokok dua tahun lalu, rasa menjadi patokannya gonta-ganti merek, kini harga jadi pertimbangan utama.

“Rokok saya ganti-ganti. Sekarang tergantung budget,” Kata Muhammad Alif saat kepada Jaring.id, Senin, 20 Juli 2020.

Memburuk

Besarnya porsi pengeluaran untuk rokok tercermin dalam data Badan Pusat Statistik yang menyebut kalau alokasi belanja rokok per kapita mencapai Rp 69.413 perbulan pada 2019. Jumlah tersebut setara dengan 5,76% terhadap pengeluaran total per kapita per bulan dan berada di atas pengeluaran per kapita per bulan untuk padi-padian sebesar Rp 64.995, atau 5,39% total pengeluaran.

Di tengah tingginya pengeluaran untuk belanja rokok, data terbaru Global Youth Tobacco Survey 2019 yang dirilis Kementerian Kesehatan RI juga menunjukkan adanya kenaikan prevalensi perokok anak usia 13-15 tahun. Jika tahun 2014 prevalensinya sebesar 18,3 persen, kini angkanya justru naik menjadi 19,2 persen.

 

Peneliti Pusat Ekonomi dan Bisnis Syariah Universitas Indonesia, Abdillah Ahsan menyebut murahnya harga rokok di Indonesia dan mudahnya anak-anak mengakses rokok berpengaruh besar terhadap tingginya angka perokok anak. Ia juga menyebut gencarnya iklan yang menormalisasi citra rokok sebagai produk yang aman dan keren turut andil.

“Yang saya sayangkan, pernah ada iklan harga rokok per batang. Itu berarti mengiklankan murahnya harga rokok. Menurut saya sudah kebangetan,” keluh Abdillah kepada Jaring.id pada Minggu, 19 Juli 2020.

Abdillah menilai perpaduan murahnya harga, mudahnya akses dan gencarnya iklan membentuk kelompok sebaya (peer group) yang toleran pada rokok. Padahal, kelompok sebaya punya andil besar memengaruhi minat merokok anak.

Sementara itu, Koordinator Advokasi Lentera Anak, Nahla Jovial Nisa menilai buruknya prevalensi merokok anak diakibatkan oleh sikap permisif pemerintah dan masyarakat kepada rokok ketimbang produk lain yang sama-sama dikenakan cukai seperti minuman beralkohol. Meski keduanya masuk dalam kategori komoditas yang perlu diawasi peredarannya, tetapi pengaturan terhadap rokok lebih longgar jika dibandingkan dengan minuman keras yang peredarannya dibatasi dan tidak diiklankan.

Aturan longgar terhadap peredaran rokok tercermin dalam survei terbaru Lentera Anak yang dilakukan pada Maret-April 2020 di Yogyakarta, Padang dan Mataram. Dari 100 toko yang disurvei, didapati bahwa anak-anak masih dijadikan target penjualan rokok oleh warung di sekitar sekolah.

“Warung-warung di sekitar sekolah juga sebagian besar memajang iklan rokok dan terlibat kerjasama dengan industri rokok,” ujar Nahla kepada Jaring.id pada Senin, 20 Juli 2020.

Saat ini, Lentera Anak sedang menyusun rekomendasi kepada pemerintah berdasarkan hasil riset yang dilakukan sejak 2010-2020. Satu dekade sejak Indonesia dikenal sebagai “Baby Smoker Country” lantaran terdapat anak usia 2 tahun yang menghisap 40 batang rokok per hari. Menurut Nahla pengendalian tembakau pada anak tak bertaji.

Revisi

Ketua Komisi Nasional Pengendalian Tembakau (Komnas PT) Hasbullah Thabrany menyatakan bahwa lembaganya termasuk Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI), serta Perhimpunan Dokter Anak Indonesia (PDAI) banyak memberikan rekomendasi kepada pemerintah daerah dan pemerintah pusat, namun kerap diabaikan.

“Pemerintah terlalu memihak ekonomi jangka pendek dibanding jangka panjang,” kata Hasbullah kepada Jaring.id pada Rabu, 22 Juli 2020.

Ia menilai terkadang pejabat pemerintah kurang mengkaji alternatif lain dan terlalu mudah terpengaruh informasi sepihak dari industri. Meski industri punya kontribusi untuk ekonomi, akan tetapi kontribusi tersebut menurutnya membawa ancaman penyakit.

Hasbullah mengatakan sudah saatnya pemerintah melarang total iklan rokok di media massa dan menaikkan harga rokok setinggi mungkin agar tidak bisa dijangkau anak-anak. Ia juga menekankan pentingnya pelarangan penjualan rokok secara eceran dan membuat 90 persen bungkus rokok didominasi oleh peringatan bergambar mengenai bahaya rokok.

“Kami mohon pemerintah baik bidang kesehatan, perempuan dan anak, serta pendidikan untuk melakukan kampanye besar membebaskan rumah dari asap rokok, agar anak jauh dari asap rokok,” katanya.

Sementara itu, Menteri Sosial, Juliari P. Batubara mendukung pembatasan akses anak terhadap rokok. Menurutnya, pembatasan bisa dilakukan dengan menjual rokok kepada orang berusia 18 tahun ke atas yang dibuktikan dengan menunjukkan kartu identitas.

“Lembaga di luar pemerintah harus terus mendesak (pembatasan akses rokok), kami pasti mendukung meski bagian dari pemerintah,” kata Juliari dalam Webinar Hari Anak 2020 bertajuk Perlindungan dan Pemenuhan hak Anak dari Bahaya Rokok di masa Pandemi-Covid19.

Deputi Bidang Koordinasi Peningkatan Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia Kebudayaan RI, Agus Suprapto setuju revisi Peraturan Pemerintah (PP) 109 Tahun 2012 tentang Pengamanan Bahan Yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau Bagi Kesehatan mengatur jual beli rokok dengan melarang penjualan eceran. Pengaturan sistem penjualan ini, menurutnya, akan sangat berdampak kepada kemampuan membeli, khususnya anak dan remaja.

“Penjualan eceran mempermudah pembelian rokok,” ujarnya.

Sementara itu, Kasubdit Humas Bea dan Cukai, Deni Surjantoro mengatakan bahwa saat ini belum ada aturan yang secara eksplisit melarang penjualan rokok eceran. Kondisi Indonesia, menurutnya berbeda dengan negara lain yang lebih tegas memberi sanksi jika ada pedagang yang menjual rokok kepada anak.

“Untuk mengawasi peredaran rokok, kita membutuhkan sinergi dan pengawasan bersama antar instansi yang punya kewenangan seperti Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Kesehatan dan Komisi Perlindungan Anak harus bareng-bareng dari hulu sampai ke hilir,” paparnya.

CITES Berburu Data Perdagangan Hiu Indonesia

Surat review of significant trade (RST) dari Sekretariat CITES—lembaga yang mengurusi konvensi perdagangan internasional spesies satwa dan tumbuhan liar terancam punah, dilayangkan ke Kementerian Lingkungan

Berlangganan Kabar Terbaru dari Kami

GRATIS, cukup daftarkan emailmu disini.