Keterbukaan data dapat mendorong publik untuk lebih aktif berpartisipasi dalam politik. Pendiri Sinar Project Malaysia, Khairil Yusof menyebut hal itu tak hanya berlaku dalam proses pemilihan umum, tetapi juga dalam mengawasi kinerja para politisi terpilih.
“Salah satu yang bisa kamu lakukan, misalnya ketika politisi mengusulkan anggaran pembangunan sekolah, kamu bisa mengecek area pemilihan mana yang sedang dia kembangkan. Atau bisa melihat apa yang sebetulnya perlu diperbaiki di area, itu wilayah konstituen siapa sehingga bisa diminta pertanggungjawabannya,” kata Khairil dalam webinar Diskusi Regional Election Open Data Landscape in Southeast Asia yang digelar Asia-Pasific Regional Support for Election and Political Transition (RESPECT) Program, Rabu, 16 Juli 2020.
Di Malaysia, ia menyebut, inisiatif mengolah data pemilu dilakukan Sinar Project bersama sejumlah masyarakat sipil yang tegabung dalam Bersih 2.0. Data-data kandidat dihubungkan dengan data direksi perusahaan milik negara. Hasilnya, mereka menemukan kandidat yang menang maupun kalah kerap ditempatkan di perusahaan-perusahaan milik pemerintah. Sementara itu, organisasi lain seperti Tindak Malaysia, mengumpulkan peta batas-batas pemilihan sehingga bisa mengawasi jika terjadi rekayasa daerah pemilihan.
Namun, ia mengakui bahwa ketersediaan data masih menjadi masalah di Malaysia. Absennya undang-undang kebebasan memperoleh informasi (Freedom of Information Act) beriring dengan berbagai aturan yang melarang publikasi data. Walhasil, tak jarang masyakat sipil mesti merogoh kocek untuk mendapatkan data.
Standar
Khairil menambahkan, keterbukaan data perlu didukung dengan ketersediaan standar data terbuka. Pasalnya, hal tersebut memungkinkan masyarakat sipil untuk membangun lingkungan berbagi data dan membangun inisiatif baru.
“Jadi masalah jika kamu punya data banyak tapi tidak terstandar. Data-data tersebut tidak bisa digunakan kembali. Jika kita punya standar, kita bisa melihat bagian mana yang perlu diperbaiki atau hilang,” ujarnya.
Pembuatan standar data terbuka, lanjutnya, sudah mulai dilakukan oleh organisasi masyarakat sipil di Myanmar. Dari standar tersebut, mereka mampu menghasilkan produk pendidikan pemilih dan mendorong tranparansi.
Peneliti Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Mahardika mengatakan kategori dan prinsip data pemilu terbuka juga belum sepenuhnya diterapkan penyelenggara pemilu Indonesia. Merujuk lembaga National Democratic Institute (NDI), setidaknya terdapat 16 kategori data pemilu yang penting dibuka kepada publik.
Data seperti aturan pemilu, daerah pemilihan, data pemilih, jumlah penyelenggara pemilu, pengadaan barang dan jasa, anggaran, partai politik, hasil pemilu, keamanan pemilu dan segala yang bekaitan dengan proses pengambilan keputusan wajib dibuka. Selain mengeluarkan kategori, NDI juga menyusun prinsip data terbuka seperti tersedia berkala, dalam format yang bisa dibaca mesin, terstruktur, lengkap, gratis, tidak diskriminatif, tersedia permanen dan bebas digunakan ulang. Semestinya kategori dan prinsip tersebut menjadi rujukan penyelenggara pemilu.
“Dalam konteks Indonesia, data pemilu dikumpulkan lewat sistem informasi yang dibangun oleh penyelenggara pemilu. Hampir seluruh sistem informasi tidak terbuka untuk publik, hanya bisa diakses pihak tertentu. Misalnya sistem informasi pendaftaran pemilih hanya bisa dilihat penyelenggara pemilu. Pemilih hanya bisa mengecek apakah namanya terdaftar. Sistem informasi calon hanya bisa diakses oleh calon, tidak oleh publik,” kata Mahardhika.
Masalah lainnya, data pemilu di Indonesia masih sangat terserak dan belum tersedia unique identifier untuk menghubungkan seluruh data. Data pemilu Indonesia juga belum menjelaskan variabel, kolom, dan label yang digunakan dalam file, serta belum tersedia informasi seperti apa proses di balik pengolahan data.
“Hampir semua data esensial sudah tersedia online, tetapi data belum sepenuhnya sesuai dengan prinsip open data,” ujarnya.
Mahardhika menilai Indonesia perlu meningkatkan standar data terbuka yang dihasilkan secara partisipatif. Khususnya dalam pemilu, Komisi Pemilihan Umum perlu berpartisipasi mengembangkan standar open data, mengadopsi, dan mengimplementasikannya. Masyarakat sipil juga perlu terhubung secara sistematis menggunakan dan menyebarkan data terbuka.
“Tujuan utama data terbuka adalah untuk meningkatkan integritas dan akuntabilitas pemilu lewat pemilu yang transparan,” pungkasnya.
Titi Anggraini Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) mengatakan transparansi dan keterbukaan data penting tidak hanya untuk mempromosikan pemilu tapi juga mengajak pemilih dan pegiat teknologi berpartisipasi. Hal ini juga mendukung pemantau pemilu dan tersedianya informasi pemilu yang inklusif.
“Secara umum di Asia tenggara agak sulit karena tidak ada regulasi yang mengatur keterbukaan data pemilu. Khususnya Indonesia tidak punya,” kata Titi.
Ia mengusulkan perlunya inisiatif regional menyusun aturan keterbukaan data pemilu. Tak hanya keterbukaan data, keamanan data dan perlindungan data pribadi pemilih harus dipertimbangkan. Melindungi data pemilih bukan berarti menutup seluruh akses terhadap data, yang perlu dilakukan menyepakati apa yang boleh dan tidak boleh dipublikasi.