Pilih yang jujur, merupakan tagline dari Direktorat Pendaftaran dan Pemeriksaan Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (PP LHKPN). Dalam memilih pemimpin, KPK menghimbau masyarakat untuk memilih calon yang jujur, baik jujur dalam berperilaku, jujur kepada keluarga dan masyarakat, serta jujur dalam pelaporan harta. Seorang calon penyelenggara negara yang akan mengikuti pemilihan umum harus melaporkan harta kekayaan. KPK akan memverifikasi ada tidaknya dokumen pendukung, benar atau tidaknya formulir yang digunakan, dan benar atau tidaknya isiannya. Ketika semua itu sudah benar maka laporan harta kekayaan itu diumumkan. Jadi untuk calon-calon yang sekarang akan ikut pemilukada laporannya belum bisa diakses lewat website (http://acch.kpk.go.id). Tapi kalau masyarakat ingin langsung mengaksesnya bisa ke KPU atau KPUD setempat.
Pihak yang mengumumkan laporan ini adalah penyelenggara negara. Di dalam UU 28/1999 Penyelenggara Negara berkewajiban untuk melaporkan harta kekayaan dan mengumumkannya. Sedangkan dalam undang-undang pemilukada pelaporan harta kekayaan adalah salah satu syarat sebelum mereka maju sebagai calon. Di sini sebetulnya fungsi masyarakat sangat diperlukan, kita mengharapkan pengumuman harta kekayaan ini dijadikan sebagai salah satu alat untuk menilai kelayakan seorang calon untuk memimpin daerah, di sinilah letak fungsi pencegahan korupsi. Ada peran masyarakat untuk tidak memilih calon yang tidak jujur melaporkan harta kekayaannya. Peran wartawan juga sangat penting untuk memantau kejujuran calon.
Tidak semua kenaikan harta itu disebabkan adanya penambahan harta, dan kalau ada penambahan harta maka juga harus usulnya.
Data Harta berisi data awal tentang kekayaan, sehingga perlu untuk mengetahui latar belakang calon pejabat negara, terutama tentang apa usahanya sebelum mencalonkan, mungkin bila dia pengusaha kaya maka hartanya memang sudah sedemikian besar, atau harta yang didapat dari warisan. Di sinilah pentingnya pengecekan asal-usul kekayaan.
Ada perbedaan antara warisan, hibah, dan hadiah. Warisan adalah harta yang didapat setelah pemberinya meninggal, sedangkan hibah pemberinya belum meninggal dan tidak memiliki syarat tertentu. Adapun hadiah adalah pemberian yang memiliki syarat tertentu, misalnya hadiah karena menang undian atau lomba.
Perubahan-perubahan dalam LHKPN juga perlu dicermati, misalnya penambahan baru berarti tidak ada di pelaporan sebelumnya, keterangan lainnya seperti perubahan, berarti ada koreksi atau pertambahan nilai aset.
Konsep Kepemilikan
Seseorang bisa dikatakan memiliki bila dia dapat mengontrol dan menikmati aset tersebut (control & benefit), karena biasanya ada upaya penyamaran harta dengan menggunakan gatekeeper, seperti notaris, pengacara, atau mendaftarkan harta dengan nama orang lain. Jadi kadang bukti formal tidak sesuai dengan siapa yang menguasai aset tersebut.
Cara memperoleh informasi ini, KPK bisa mendapat informasi langsung dari instansi terkait, sedangkan untuk orang lain (misalnya wartawan) bisa memperoleh informasi kepemilikan ini dari lingkungan tempat tinggal, lingkungan kerja, dan informasi dari orang-orang terdekat, atau orang-orang yang secara politik berseberangan, namun tetap harus disertai ketelitian.
Sejarah dan Manfaat LHKPN
Tujuan dari LHKPN di dunia ini menurut Bank Dunia ada dua mazhab besar, yang pertama adalah untuk mendeteksi conflict of interest yang bisaanya digunakan di negara-negara yang sudah maju, yang kedua untuk mendeteksi ilicit enrichment bisa menjadi tujuan di negara berkembang seperti di Indonesia. Hingga 2006, ada 147 negara yang telah menerapkan laporan harta kekayaan dengan bentuk dan tujuan yang berbeda.
Di Indonesia sendiri pelaporan harta kekayaan sudah ada sejak Orde Lama, saat itu yang menjadi wajib lapornya adalah TNI Angkatan Darat, sedangkan yang melakukan pemeriksaan adalah Badan Koordinasi Penilik Harta Benda. Saat itu sanksinya cukup berat yaitu dirampas dan disita. Jika harta kekayaan tersebut melonjak secara tajam dan tidak dapat dibuktikan asal-usulnya maka akan dilakukan penyitaan tetapi kalau berasal dari tindak pidana maka akan dirampas. Pada 2009 PPATK pernah menginisiasi perampasan aset namun mentok di DPR.
Pada Orde Baru, yang diwajibkan melaporkan harta diperluas menjadi menteri, direksi BUMN, pejabat PNS dan TNI dengan golongan IVC ke atas atau setara, dikelola oleh Tim khusus presiden, waktu itu harta kekayaan tidak diperiksa tapi prosesnya hanya terbatas pada pengumpulan data. Kemudian tahun 1971 diperluas lagi cakupan pejabat yang diwajibkan lapor menjadi hingga golongan IIIA yang khusus dikelola oleh inspektorat masing-masing.
Pada masa reformasi yang mengelola adalah KPKPN (Komisi Pemeriksa Kekayaan Penyelenggara Negara), begitu KPK muncul KPKPN dilebur ke direktorat PPLHKPN di bawah deputi bidang pencegahan. Pihak yang wajib melaporkan harta kekayaan menurut UU 28 Tahun 1999 adalah Gubernur, Menteri, Pejabat Negara pada Lembaga Tinggi Negara, Hakim, Pejabat Negara lainnya sesuai dengan peraturan dan Undang-undang, Pejabat Strategis lainnya.
Manfaat dari pelaporan ini sendiri adalah membantu penyelenggara negara dalam hal transparansi harta kekayaannya, dengan asumsi ketika seorang pejabat negara melaporkan kekayaannya maka akan tercegah untuk melakukan tindak pidana, serta untuk memudahkan bagi yang menggunakan LHK seperti masyarakat, atasan pelapor, penegak hukum, dan sebagainya.
LHKPN juga bisa dimanfaatkan sebagai instrument manajemen sumber daya manusia biasanya digunakan ketika pelapor baru pertama melaporkan karena masih berstatus calon pejabat Negara, sehingga laporan ini bisa digunakan instansi-instansi untuk menyeleksi calon pejabatnya, Penilaian LHKPN ini berdasarkan tiga hal yaitu Kepatuhan melaporkan harta – dua tahun sekali atau setiap berubah jabatan, Kelengkapan laporan, dan Kewajaran jumlah harta.