Menata Akhir Masa Jabatan KPU

Perpanjangan masa tugas penyelenggara pemilu dinilai paling tepat agar KPU dapat menyesuaikan siklus pemilu serentak. Rekrutmen berjenjang pun bisa jadi solusi untuk menyiasati kekosongan kursi penyelenggara.


Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI mengusulkan masa jabatan penyelenggara pemilu di daerah diperpanjang sampai seluruh tahapan Pemilihan Umum (Pemilu) dan Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2024 tuntas. Menurut anggota KPU RI, Arief Budiman perpanjangan ini penting guna menimalisir kesalahan dalam tahapan krusial pemilu dan pilkada yang direncanakan akan dimulai 28 Februari 2024. Kalau tidak, maka tahapan tersebut akan terganggu dengan proses pergantian komisioner di pelbagai daerah.

Sedikitnya KPU harus mengganti total 2750 penyelenggara di tingkat provinsi dan kabupaten/kota. Pergantian ini diperkirakan akan memecah konsentrasi dan menambah beban penyelenggaraan pemilu. “Sepanjang tahapan itu (pemilu dan pilkada) KPU harus melakukan rekrutmen dengan jadwalnya yang berserakan,” kata Arief ketika diwawancara Jaring.id, Jumat, 20 Agustus 2021.

Baca juga: Demisioner di Tengah Tahapan Pemilu

Sepanjang 2023-2025, KPU RI akan melaksanakan 18 kali proses perekrutan dengan jadwal berbeda-beda. Masing-masing gelombang rekrutmen bisa berlangsung minimal selama tiga bulan. Dari jumlah itu sebanyak 12 kali proses pergantian penyelenggara akan beririsan dengan tahapan krusial pemilu. Di waktu yang bersamaan KPU juga harus bersiap menghadapi potensi  gugatan dari pihak-pihak yang tak puas dengan proses seleksi, baik lewat Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP), Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) hingga pengadilan.

Jika diperpanjang sampai seluruh tahapan tuntas, Arief mengatakan KPU bisa menghindari proses pergantian di tengah tahapan. Setelah diperpanjang sampai pertengahan 2025, Arief mengatakan rekrutmen bisa dilakukan serentak di 34 provinsi dan 510 kabupaten kota. Rekrutmen serentak akan membuat akhir masa jabatan penyelenggara berakhir bersamaan di akhir siklus pemilu. Sedangkan untuk masa jabatan penyelenggara berikutnya akan disesuaikan dengan siklus pemilu 2029 mendatang.

Arief mengatakan usulan ini sudah disampaikan KPU dalam rapat bersama Komisi 2 DPR dan pemerintah pada Juni lalu. Dalam rapat muncul usulan lain, yaitu menarik seluruh proses seleksi ke tahun 2022. Namun hingga saat ini belum ada keputusan. Meski begitu, menurut Arief, usulan memperpendek masa tugas tidak menjawab persoalan. Sebab KPU dan DPR sudah menyepakati tahapan pemilu akan berlangsung 25 bulan yang diperkirakan dimulai Januari 2022. “Kalau diperpendek, mau diperpendek kapan? Tahun 2022 sudah masuk tahapan awal pemilu dan KPU RI baru terbentuk di April 2022,” kata Arief.

Anggota KPUD Banten, Mashudi menilai pemangkasan masa jabatan penyelenggara hanya sampai 2022 sangat merugikannya. Kalau pun itu harus dilakukan, pemerintah harus menyediakan kompensasi untuk komisioner yang masa jabatannya dipersingkat. Sistem perhitungan kompensasi juga perlu diatur secara rinci berdasarkan berapa lama jabatan yang dipotong. “Itu merugikan penyelenggara dan memerlukan anggaran besar karena ada orang yang berakhir di 2024,” kata Mashudi.

Di Banten, masa kerja KPUD Provinsi akan berakhir pada Mei 2023 dan KPUD Kabupaten/Kota Banten tuntas pada Juni 2023. Pergantian ini diperkirakan akan terjadi di tahapan pencalonan anggota legislatif dan penyusunan anggaran pilkada. Pilihan paling ideal, menurutnya, masa jabatan penyelenggara diperpanjang sampai tahapan pemilu usai. Dengan begitu, penyelenggara hanya perlu melanjutkan pekerjaan yang sudah dilakukan sebelumnya.

 

Masa Jabatan KPU Tak Perlu Lima Tahun

Akhir masa jabatan KPU yang tidak serentak ini menjadi salah satu tantangan yang akan dihadapi di Pemilu 2024. Tantangan lain ialah ketersedian logistik; pencalonan; pemungutan suara; penghitungan serta pemutakhiran perolehan suara. Selain itu ada juga faktor kelelahan dari petugas pemungutan suara. Pengalaman di Pemilu 2019 menunjukan bahwa beban kerja penyelenggara dengan pemilu serentak lima surat suara memicu kelelahan dan tidak sedikit mengakibatkan korban. Data KPU hingga 20 Mei 2019 menyebutkan, sebanyak 5.669 orang petugas pemilu menjadi korban atas beban penyelenggaraan pemilu serentak 2019. Dari jumlah itu sebanyak 5.097 orang sakit dan 572 orang meninggal dunia.

KPU mewanti-wanti agar peristiwa di 2019 lalu tidak terulang pada 2024 mendatang. Terlebih Pemilu 2024 nanti dapat dikatakan lebih berat karena penyelenggara menggelar pemilihan legislatif, presiden dan menghelat pemilihan kepala daerah serentak di tahun yang sama. Agar seluruh persiapan matang dan tidak terganggu proses rekrutmen penyelenggara baru, KPU menginginkan agar masa tugas ribuan penyelenggara pemilu di pelbagai daerah diperpanjang.

Baca juga: KPU Siapkan Desain Baru Surat Suara Pemilu 2024

Peneliti Network for Democracy and Electoral Integrity (Netgrit), Hadar Nafis Gumay menilai opsi perpanjangan masa tugas perlu dilakukan agar masa jabatan penyelenggara sesuai dengan siklus pemilu serentak yang akan datang. “Seharusnya dibenahi, jangan dibiarkan sirkulasi atau siklus pergantian tidak sinkron dengan siklus pemilu. Pasca 2024 bisa dilakukan pemilihan sehingga mereka akan terbentuk jauh sebelum pemilu berikutnya,” katanya.

Setelah jabatan diperpanjang, Hadar mengatakan KPU paling tidak bisa membentuk penyelenggara dua tahun sebelum pemilu serentak 2029. Bahkan ia menilai dengan penyatuan semua pemilu dalam satu tahun, masa jabatan penyelenggara ke depan tidak perlu dibuat lima tahun. “Tidak perlu buru-buru,” kata Hadar.

Sementara jika KPU memangkas masa tugas seluruh penyelenggara hanya sampai 2022, Hadar meragukan komitmen pemerintah membayar kompensasi dari pemotongan masa jabatan tersebut. Pasalnya sampai saat ini pemerintah juga belum membayarkan uang purna bakti penyelenggara pemilu periode 2012-2017. Uang tersebut harusnya dibayarkan setelah masa tugas berakhir. “Jangan nambah-nambah lagi, yang dulu saja tidak jelas,” kata Hadar.

Program Manager International IDEA untuk Regional Asia Pasifik, Adhy Aman sependapat dengan Hadar. Menurutnya, jadwal pemilu serentak harusnya membuat Indonesia lebih mudah mengatur mekanisme perekrutan dan kerja penyelenggara. Pembuat undang-undang hanya perlu mengikuti siklus pemilu dengan membentuk penyelenggara minimal dua tahun sebelum pemilu dimulai. Dengan begitu penyelenggara punya waktu cukup untuk mempelajari regulasi hingga urusan teknis pemungutan suara. “Mestinya bisa dicarikan siklus pergantian di mana momen kegiatan pemilu sedang tidak hectic,” kata Adhy ketika diwawancara pada Kamis, 19 Agustus 2021.

Guna menyiasati kekosongan jabatan, Adhy menyarankan agar Indonesia menerapkan model pergantian penyelenggara secara berjenjang. Misalnya dari tujuh anggota KPU, maksimal hanya dua orang yang dapat diganti dalam waktu yang sama, sehingga selalu tersedia anggota yang berpengalaman untuk meneruskan tahapan.

Baca juga: DPT Berkelanjutan Solusi Ketidakakuratan

Beberapa negara di Asia Tenggara yang menerapkan pergantian berjenjang adalah India, Malaysia dan Filipina. India dan Malaysia mengganti penyelenggara berdasarkan usia pensiun. Dengan berpatokan umur, maka akan jarang penyelenggara diganti sekaligus. Sementara Filipina melakukan pergantian penyelenggara secara bertahap. Masa kerja dari tujuh anggota yang bertugas di KPU Pusat Filipina akan berakhir di tahun yang berbeda. “Keuntungan jika berjenjang, maka ada jaminan kesinambungan dan setelah pergantian tidak akan mulai dari nol. Selalu saja ada yang meneruskan dan bisa mentransfer pengetahun,” katanya.

Hanya saja, menurut Direktur Politik Dalam Negeri Kementerian Dalam Negeri, Syarmadani, perpanjangan masa jabatan penyelenggara pemilu memerlukan prasyarat atau kriteria. Penyelenggara yang sudah pernah dikenai sanksi etik harusnya tidak mendapat perpanjangan masa tugas. “Tidak mungkin kita memperpanjang orang bermasalah,” katanya dalam webinar Nasional Seleksi Penyelenggara Pemilu dalam Konteks Pemilu dan Demokrasi pada Kamis, 19 Agustus 2020. (Debora Blandina Sinambela)

Melawan Kusta dari Jongaya

Gapura bercat merah putih dengan ornamen kemerdekaan menjadi penanda awal keberadaan Kompleks Jongaya di Kecamatan Tamalate, Kota Makassar, Sulawesi Selatan. Permukiman ini dikenal sejak puluhan

Berlangganan Kabar Terbaru dari Kami

GRATIS, cukup daftarkan emailmu disini.