DPT Berkelanjutan Solusi Ketidakakuratan

Daftar pemilih tetap (DPT) punya posisi penting dalam pemilihan umum (pemilu). Ia tidak hanya menjamin hak dari pemilih, tetapi juga turut membangun kepercayaan masyarakat terhadap penyelenggara pemilu. Namun menurut Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU), Viryan Aziz tidak mudah bagi KPU untuk mendapatkan maupun mempertahankan kepercayaan masyarakat. Sebab penilaian masyarakat terhadap DPT acapkali dipengaruhi peristiwa masa lalu, seperti kasus penggelembungan suara, manipulasi dan masalah administratif yang belum tentu terjadi saat ini. Oleh sebab itu, kata Viryan, KPU perlu memperbaiki sistem penyusunan DPT berkelanjutan (continuous list) dengan tidak hanya bertumpu pada data kependudukan.

Sebelumnya, Komisi II Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) lewat Panitia Kerja (Panja) Evaluasi Pelaksanaan Pilkada 2020 merekomendasikan sejumlah hal yang perlu diperbaiki pada pemilihan langsung. Salah satunya terkait dengan daftar pemilih tetap (DPT). Wakil Ketua Komisi II Junimart Girsang merekomendasikan agar penyelenggara pemilu menggunakan data Ditjen Dukcapil tersebut sebagai DPT. “Karena kita tidak ingin kejadian seperti sebelumnya yaitu orang yang sudah meninggal namun masih terdaftar. Itu yang kami rekomendasikan untuk diperbaiki,” katanya seperti dikutip dari laman dpr.go.id, Senin, 15 Maret 2021.

“Mengapa KPU dan Bawaslu tidak bersinergi dengan Kemendagri menyangkut NIK dan e-KTP. Kami sudah melihat bagaimana Ditjen Dukcapil memiliki data yang sangat lengkap. Hal ini harus menjadi perhatian yang penuh kepada KPU dan Bawaslu,” tambahnya.

Pada 2020 lalu, KPU telah mencoba menerapkan pemutakhiran daftar pemilih secara berkelanjutan dengan jumlah 190 juta pemilih. Kualitas dari hasil pemutakhiran diklaim mencapai 99,96 persen. Menurut Viryan, pemutakhiran daftar pemilih saat ini perlu memanfaatkan data yang dimiliki sejumlah lembaga lain, seperti Tentara Nasional Indonesia (TNI), Kepolisian Indonesia (Polri) dan Kantor Urusan Agama (KUA). “Menjadi mungkin karena ada kemajuan teknologi data informasi,” ujar Viryan dalam diskusi daring bertajuk Peluang dan Tantangan Pengelolaan Daftar Pemilih dalam Pemilu, Rabu, 5 Mei 2021.

Untuk mendukung sistem penyusunan DPT berkelanjutan, KPU berencana akan mengembangkan tempat pemungutan suara (TPS) permanen yang akan memuat tidak lebih dari 500 orang. Dengan begitu, KPU dapat memastikan hak pilih warga secara berkala. “Sebelumnya by name by address sekarang by name by station,” katanya.

Hadir juga dalam diskusi, peneliti pemilu dari Network for Democracy and Electoral Integrity (Netgrit), Hadar Nafis Gumay dan Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Khoirunnisa Nur Agustyati.

Menurut Hadar, persoalan utama dari penyusunan DPT berpangkal pada data kependudukan yang sampai saat ini belum akurat. Hal ini yang akan memengaruhi tingkat kepercayaan warga terhadap lembaga pemilu. “Kalau orang tidak percaya, maka keseluruhan pemilu akan berantakan. Jadi posisinya sangat penting,” kata Hadar.

Persoalan ketidakakuratan daftar pemilih tersebut diharapkan Hadar tak terulang di pemilu dan pilkada pada 2024. Penyusunan DPT secara berkelanjutan, menurut dia, dapat menjadi solusi. Namun, konsep pemutakhiran berkelanjutan ini perlu dibuat rumusan peraturan secara lebih rinci. Hal ini yang sebelumnya jadi salah satu agenda tim kerja bersama pemilu dan pilkada 2024 yang terdiri dari pemerintah, Komisi II Dewan Perwakilan Rakyat dan penyelenggara pemilu. “Saya pernah lihat draftnya, tapi sampai hari saya belum pernah liat aturannya. Padahal itu perlu agar yang dikerjakan punya pegangan yang kokoh bisa dipertanggungjawabkan dan tidak dipertanyakan,” ungkapnya.

Sementara tantangan lain yang perlu digarisbawahi KPU ialah kesiapan infrastruktur maupun sistem organisasi penyelenggara pemilu. Hal ini menyangkut kesiapan KPU dalam menghimpun data dari pelbagai sumber, antara lain kepada Kementerian Hukum dan HAM yang memiliki catatan kewarganegaraan maupun lembaga yang mencatat kematian warga. “Sumber data tidak bisa mengandalkan satu tempat. Data tersebut perlu dicari, diindentifikasi, sehingga kita punya sumber yang banyak bisa betul-betul akurat,” kata dia.

Dan terakhir menyangkut pengembangan teknologi informasi. Selama ini KPU mengunakan sistem berbasis aplikasi bernama Sistem Informasi Data Pemilih (Sidalih), namun sistem ini dianggap belum maksimal. Sedangkan dalam proses pemutakhiran DPT berkelanjutan, menurut Hadar, Sidalih perlu dikembangkan sebagai sistem yang dapat secara aktif dan mampu menyingkronkan data berkala sekaligus mengkroscek komponen data dengan cepat. “Sistem sekarang pasif karena orang yang berusia 17 atau sudah dapat KTP sudah langsung dapat memilih. Tapi ada tantangan pidah domisili dan lain-lain. Oleh karena itu, sistem aktif harus siap,” kata Hadar.

Menurut Hadar, aplikasi Sidalih harus mampu meminimalisir masalah adminsitrasi kependudukan. Pasalnya, peristiwa kependudukan seperti kelahiran, perpindahan tempat tinggal dan kematian belum tercatat dengan baik. “Sistem di mana, setiap saat, warga yang berubah status dari TNI, meninggal, pindah rumah bisa melaporkan ke KPU. Soal pensiunan, TNI/Polri punya data siapa yang saat ini pensiun dan di mana orang itu. Siapa nama dan seterusnya. Itu KPU yang mesti aktif,” jelas Hadar.

“Sistem ini harus terbuka dan partisipatif. Tentu tetap memperhatikan kerahasian privasi data individual. Saya pikir ini akan membantu kerja-kerja kpu. Menumbuhkan kepercayaan terhadap apa yang sedang dibangun,” tambahnya.

Dengan sistem berkelanjutan seperti itu, kata Hadar, KPU tidak perlu lagi menyusun DPT dan melakukan proses pencocokan penelitian (coklit) jelang pemilu. Hingga pemilihan 2024 mendatang, Hadar meyakinkan bahwa KPU punya banyak waktu untuk memperbaiki sistem kerja pemilihan. “Bisa saja penyusunan DPT di tahapan pemilu dihapus. Kita tidak perlu menggunakan dana terlalu banyak. Kegiatan ini perlu ada perubahan UU,” ungkap dia.

Terlebih Direktur Eksekutif Perludem, Khoirunnisa menyatakan bahwa proses coklit pada tahapan pemilu kurang maksimal. Kata dia, proses tersebut kerap dilakukan di atas meja. “Tidak melihat langsung ke rumah-rumah. Ini menjadi tantangan. Jadi data yang dirasa bersih, harapanya bisa dibersihkan melalui proses coklit ternyata hasilnya juga belum baik,” ujar Ninis.

Dalam pemutakhiran DPT berkelanjutan, menurut Khoirunnisa, KPU tidak hanya penting untuk mengumpulkan data dari pelbagai lembaga, namun juga harus memastikan kerahasian data yang bersifat privasi. Kata dia, bagi-bagi data DPT yang sudah dilakukan KPU perlu diregulasi. “Perlu ada regulasi data sharing. Mekanisme pengaduannya bagaimana? Sistem kontrol dan keamanannya? Publik perlu sudah mengetahui secara komprehensif,” katanya merujuk kerjasama pengunaan data DPT yang dilakukan KPU dengan Kementerian Kesehatan dan Kementerian Koperasi UMKM.

Penandatanganan perjanjian kerja sama atau Memorandum of Understanding (MoU) tentang pemanfaatan data pemilih pada pemilu untuk pendataan sasaran pelaksanaan vaksinasi Covid-19 antara KPU dan Kemenkes dilakukan pada 3 Maret lalu. Sementara Kemenkop UKM sejak akhir April lalu memanfaatkan data hasil sinkronisasi data pemilih untuk mencocokan sasaran pelaksanaan bantuan pemerintah bagi usaha mikro. Hal ini dilakukan pemerintah guna menjalankan program Bantuan Produktif Usaha Mikro (BPUM) kepada 12,8 juta usaha.

Dengan adanya kerjasama pemanfaatan data pemilih itu, Khoirunnisa mewanti-wanti agar KPU menjaga kepercayaan publik dengan cara mengelola data pemilihan dengan baik. “Ada kekhawatiran datanya tersebar ke mana-mana. Publik punya hak sebagai subjek yang punya data diberitahukan bahwa ini akan digunakan untuk kepentingan lain,” pungkasnya.

Melawan Kusta dari Jongaya

Gapura bercat merah putih dengan ornamen kemerdekaan menjadi penanda awal keberadaan Kompleks Jongaya di Kecamatan Tamalate, Kota Makassar, Sulawesi Selatan. Permukiman ini dikenal sejak puluhan

Berlangganan Kabar Terbaru dari Kami

GRATIS, cukup daftarkan emailmu disini.