Laporan Hasil Pemeriksaan Badan Pemeriksa Keuangan (LHP- BPK) diserahkan oleh BPK pusat setiap semester kepada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) setiap semester. Isi laporan tersebut adalah Ikhtisar Hasil Pemeriksaan Semesteran (IHPS) dan masing-masing LHP (Laporan Hasil Pemeriksaan).
Jariungu mengumpulkan LHP BPK sejak 2004 hingga saat ini. Setiap semester ada sekitar 600-an LHP dan hingga saat ini JariUngu sudah mengumpulkan 12.713 LHP yang terdiri dari 5.927 LHP LK (Laporan Keuangan), 1.138 LHP Kinerja, dan 5.648 LHP PDTT (Pemeriksaan Dengan Tujuan Tertentu).
Dahulu BPK mempublikasikan LHP di situs BPK sebab hal tersebut merupakan amanat Undang-undang dimana. Setiap laporan yang sudah diserahkan pada parlemen dinyatakan terbuka untuk
umum. Tapi saat ini hal tersebut sudah tidak lagi dilakukan karena pada praktiknya LHP yang dipublikasikan kerap disalahgunakan beberapa pihak untuk menekan pihak yang diperiksa oleh BPK, terutama Pemerintah Daerah.
Hal yang harus juga dicermati adalah cara BPK menulis laporan kerapkali bombastis dan tidak taat standar auditing sehingga membuka peluang penyalahgunaan. Misalnya, hanya karena tidak ada tanda tangan (kesalahan administratif) BPK kemudian menyimpulkannya ada kerugian Negara di dalamnya. Kesalahan lainnya adalah penyebutan nama jelas pejabat publik yang seharusnya hanya ditulis dengan inisial saja dalam laporan, atau tidak perlu disebutkan namanya. Hal tersebut mempermudah orang-orang yang tidak bertanggungjawab untuk melakukan blackmail terhadap pejabat terkait dengan bermodalkan laporan BPK.
Terdapat tiga jenis laporan BPK. Pertama, pemeriksaan laporan pemeriksaan keuangan (LK) pemerintah pusat, pemerintah daerah, Bank Indonesia, Otoritas Jasa Keuangan, Lembaga Penjamin Simpanan (LPS). Pemeriksaan yang dilakukan BPK bertujuan untuk memutuskan apakah laporan keuangan yang dibuat instansi tersebut sudah sesuai dengan Standar Akutansi Pemerintah (SAP).
Kedua, pemeriksaan kinerja yang ditujukan untuk memeriksa apakah kegiatan yang dilakukan instansi pemerintah sudah efektif, efisien, dan hemat. Ketiga, pemeriksaan dengan tujuan tertentu. Sebagai contohnya adalah pemeriksaan terhadap subsidi listrik untuk memastikan apakah sudah benar jumlahnya.
LHP BPK, khususnya Laporan Pemeriksaan Keuangan, terdiri dari 3 bagian . Pertama, laporan opini BPK. Isinya yang menyatakan apakah laporan keuangan sudah sesuai dengan SAP. Opini yang diberikan bisa berupa Wajar Tanpa Pengecualian (WTP), Wajar Dengan Pengecualian (WDP), Disclaimer, atau Tidak Wajarterdapat di dalamnya. Oleh sebab itu, meski lembar ini merupakan pengantar laporan karena diletakkan di bagian pertama, tetapi dia merupakan inti dari hasil pemeriksaan.
Bagian kedua, Laporan Kepatuhan kepada Peraturan perundangan. Adapun bagian ketiga adalah Laporan atas Sistem Pengendalian Intern. Jurnalis harus jeli dalam membaca tiap buku tersebut sebab hal menarik yang bisa dijadikan bahan untuk peliputan investigasi tidak selalu ada di buku tertentu saja, melainkan bisa terdapat di tiap buku tersebut.
Membaca LHP BPK
Laporan hasil pemeriksaan BPK tidak seratus persen benar. Kerapkali ada kesalahan pemeriksaan yang tidak hanya dilakukan oleh auditor di BPK daerah, tetapi juga auditor BPK pusat. Namun, banyak temuan yang disampaikan melalui LHP BPK bisa digunakan oleh jurnalis dalam melakukan liputan investigasi.
Mari mencobanya dengan menelaah LHP Laporan Keuangan Pemerintah Daerah Daerah Khusus Ibukota (LKPD DKI) 2014.
Laporan tersebut, seperti telah disinggung sebelumnya, terdiri dari tiga bagian besar yakni:
1. Opini dan Laporan keuangan. Bagian ini merupakan pembuka LHP LK yang isinya hanya beberapa lembar saja. Dalam LHP LKPD DKI 2014, BPK memberikan opini Wajar Dengan Pengecualian. Intisari dari alasan pemberian opini tersebut—yang bisa disebut juga sebagai temuan—juga tercantum dalam bagian ini. Sebagai contoh adalah berbagai temuan mengenai aset (lihat gambar 2).
Opini yang diberikan BPK baik itu WTP, WDP, Tidak Wajar, hingga Disclaimer seharusnya hanya menyatakan apakah laporan keuangan tersebut sudah disusun berdasarkan SAP atau belum. Misalnya, sebuah LK dinilai sudah memenuhi SAP jika belanja dicatat apabila uang sudah keluar dari kas daerah dan penerimaan dicatat apabila uang sudah masuk di kas daerah. Sebagai contoh, pemerintah daerah membeli sebuah barang seharga Rp. 1 juta. Tapi harga tersebut kemudian di-mark up menjadi Rp1,5 juta dan uang yang keluar dari kas pemerintah daerah sama besarnya dengan harga yang sudah digelembungkan tersebut. Apabila nilai yang dicatat dalam pos belanja untuk barang tersebut Rp. 1,5 juta, maka hal tersebut sudah memenuhi SAP. Dengan kata lain, ketika suatu daerah mendapatkan opini WTP, belum tentu di daerah tersebut tidak terjadi penyelewengan dana.
Namun, jika BPK menemukan adanya penggelembungan dana tersebut, bisa saja mereka melaporkannya ke penegak hukum. Jurnalis juga harus jeli dalam membaca kemungkinan adanya penggelembungan harga tersebut. Kesimpulannya, dalam membaca laporan BPK saat ini Anda tidak perlu terlalu memfokuskan kepada opini yang diberikan.
2. Laporan Hasil Pemeriksaan Sistem Pengendalian Intern (LHP SPI). Bagian ini berisikan mengenai detil-detil temuan (lihat gambar 3). Untuk LHP LK DKI 2014, BPK menyebut 10 pokok kelemahan Pemprov DKI mulai dari pencatatan belanja barang dan jasa yang dilakukan Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD), masih lemahnya pengendalian intern untuk mencegah adanya mark up harga barang, hingga masih lemahnya pengawasan dan pengendalian kerjasama pemanfaatan aset daerah.
3. Laporan Hasil Pemeriksaan Kepatuhan terhadap peraturan perundangan. Bagian ini juga bisa mencantumkan berbagai temuan. Untuk kasus DKI Jakarta BPK menyebut bahwa terdapat
38 temuan adanya ketidakpatuhan terhadap peraturan perundang- undangan senilai lebih dari Rp 2 triliun yang terdiri dari indikasi kerugian daerah senilai Rp 442,37 miliar, potensi kerugian daerah senilai Rp 1,71 triliun, kekurangan penerimaan senilai Rp 3,23 miliar, hingga pemborosan senilai Rp 3,04 miliar (lihat gambar 4).
Dari ketiga buku tersebut terdapat temuan-temuan yang bisa ditelusuri lebih lanjut. Tidak ada cara cepat membaca LHP BPK, kita memang harus mau bersusah-payah menelusuri setiap temuan satu per satu. Tapi setidaknya bagian-bagian awal setiap buku tersebut bisa dimanfaatkan untuk menemukan topik-topik yang mungkin digunakan sebagai bahan liputan investigasi tanpa harus membaca ribuan halaman laporan secara berurutan.
Meskipun LHP adalah laporan yang dibuat auditor dan disampaikan pada salah satu pihak, tetapi belum tentu pihak yang disampaikan tersebut paham mengenai masalah yang disampaikan. Oleh sebab itu, selama beberapa tahun belakangan JariUngu membantu para anggota parlemen untuk membaca LHP BPK. Lebih jauh, laporan-laporan yang disampaikan BPK hanya berguna jika dia bisa dipahami oleh orang yang membaca laporan ini, termasuk para jurnalis.
Jurnalis juga sebaiknya mengerti mengenai posisi BPK. Ketika ada uang Negara yang masuk dan keluar dalam sebuah institusi, di situ BPK punya taring. Banyak masalah di republik ini yang hanya bisa ditembus oleh BPK. Contohnya adalah masalah asap yang sifatnya lintas sektoral, tetapi satu sektor enggan bicara dengan sektor lainnya. Masalah asap juga melibatkan pemerintah di tingkat pusat maupun daerah dan adakalanya tidak ada koordinasi di antara keduanya. Hanya BPK yang bisa memeriksa seluruh pemangku kepentingan yang berkaitan dengan masalah asap. Hasil pemeriksaan tersebut kemudian bisa dijadikan bahan evaluasi bagi setiap pemangku kepentingan agar menjalankan fungsinya masing-masing berdasarkan posisi mereka. Jurnalis harus menyadari hal tersebut agar bisa ikut mengawasi agar tidak terjadi penyelewengan uang negara.
BPK juga bisa melakukan pemeriksaan dengan tujuan tertentu tanpa harus diperintahkan oleh lembaga pemerintahan. Jurnalis dan masyarakat sipil bisa mendorong mereka untuk melakukan hal tersebut jika mencium adanya hal yang tidak beres pada sebuah instansi.