Selama 22 hari dirawat di Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Bogor, Wali Kota Bogor, Bima Arya Sugiarto hanya mengonsumsi buah, vitamin, dan makanan berserat di samping obat antivirus. Virus corona baru (SARS-CoV2) yang melekat di saluran napas dalam, membikin dadanya sedikit sesak. Sementara batuk disertai pilek membayangi selama perawatan di ruang isolasi sejak 19 Maret lalu. Hasil radiografi berupa bercak putih pada paru menjadi penanda kalau wali kota dua periode ini mengalami bronkopneumonia atau radang paru.
“Dokter paru yang merawat saya bilang kalau saya sangat beruntung karena tidak merokok,” cerita Bima saat dihubungi Jaring.id melalui sambungan telepon, Jum’at 29 Mei 2020.
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyebut bahwa merokok menjadi salah satu faktor yang dapat meningkatkan risiko infeksi saluran pernapasan. Pada masa pandemi, asupan buah, vitamin, dan makanan berserat, ujar bima—mengulang apa yang disampaikan dokter—tidak cukup mujarab bila tidak dibarengi pola hidup sehat.
“Orang dalam komorbid (penyakit penyerta), terutama paru akan lebih berisiko,” ujarnya.
Berdasarkan data di situs covid19.go.id, hipertensi yang diderita setidaknya terdapat 320 pasien positif covid-19 di Indonesia menjadi penyakit penyerta tertinggi. Diikuti dengan diabetes yang menjadi penyakit penyerta 200 lebih pasien positif covid-19, jantung yang diderita 125 pasien, dan paru obstruktif kronis yang diderita 96 pasien. Salah satu penyebab empat penyakit di atas adalah pajanan asap rokok.
WHO menyebut rokok telah membunuh lebih dari 8 juta orang di seluruh dunia tiap tahun. Lebih dari 7 juta kematian diakibatkan oleh penggunaan langsung. Sementara sekitar 1,2 juta lainnya meninggal sebagai perokok pasif.
Merujuk data tersebut Bima bertekad mengimplementasikan Peraturan Daerah Nomor 10 tahun 2018 tentang Kawasan Tanpa Rokok (KTR) di Bogor pada masa pandemi. Di samping mendisiplinkan pergerakan warga, menurutnya, pihaknya perlu lebih giat membatasi ruang bagi perokok.
“Justru di masa pandemi ini momentum untuk mengkampanyekan kebiasaan hidup sehat dan berhenti merokok. Paru yang dipenuhi nikotin menjadi tempat sempurna untuk covid-19,” tegasnya.
Bima Arya adalah satu dari 7.015 pasien sembuh lain di Indonesia. Sejak kasus pertama virus corona diumumkan Presiden Joko Widodo pada akhir Februari lalu, jumlah kasus positif yang terkonfirmasi hingga Sabtu, 30 Mei 2020 mencapai 25.773 orang atau setara dengan 0,41 persen dari jumlah total kasus dunia sebanyak 5.796.257. Dari jumlah itu, ada 1.573 warga yang dinyatakan meninggal. Sementara 17.185 lainnya masih dalam ruang perawatan khusus di pelbagai rumah sakit.
***
Melihat tingginya angka pandemi, WHO memberi pernyataan tentang bahaya rokok pada 29 April lalu. Dalam situsnya, diterangkan bahwa kandungan berbahaya pada rokok merusak fungsi paru-paru. Padahal, pada masa pandemi, penyakit pernapasan akut menular perlu dilawan dengan sistem tubuh yang prima. Di samping itu, WHO menyebut, aktivitas merokok berpotensi menjadi media transmisi bagi virus untuk merangsek ke dalam saluran pernapasan.
Hal tersebut diamini Ketua Umum Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI), dokter Agus Dwi Susanto. Dalam diskusi daring bertajuk “Ramai-ramai Surati Presiden: Perkuat Penanganan Covid-19 melalui Rumah Tanpa Rokok” yang digelar oleh Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Jakarta, Agus menyatakan setidaknya ada tiga faktor yang meningkatkan risiko covid-19 bagi perokok, baik konvensional maupun elektronik.
Pertama ialah kandungan rokok, seperti nikotin, karsinogen, karbon monoksida maupun radikal bebas. Menurutnya, bahan berbahaya tersebut dapat melemahkan imunitas tubuh, utamanya ruang pernapasan. Sementara nikotin membuat fungsi pembuluh darah terganggu, karsinogen (TAR) dapat menyebabkan kanker. Selain itu, karbon monoksida membikin hemoglobin dalam darah mengikat oksigen 300 lebih kuat. Hal ini yang akan membuat sel darah merah tidak dapat maksimal mengangkut oksigen ke seluruh tubuh. Hal ini yang kemudian dapat berujung pada beragam penyakit.
“Ini jelas memberikan dampak pada kesehatan,” kata dokter Agus merujuk jurnal kesehatan New England Journal of Medicine (NEJM) yang terbit pada 31 Januari lalu.
Menurutnya, dari 1000 pasien covid-19 yang diteliti, sebanyak 12,3 persen di antaranya merupakan perokok. Sementara kajian Smoking Associated with Covid-19 Progression yang dilakukan Roengrudee Patanavanich, peneliti dari Pusat Penelitian dan Pendidikan Pengendalian Tembakau, Departemen Kedokteran, Universitas California, San Francisco menemukan hubungan antara kebiasaan merokok dengan perburukan pasien covid-19.
Di Indonesia, menurut dokter Agus, terdapat 111 dari 199 pasien Rumah Sakit Persahabatan mengalami perburukan kondisi akibat penyakit bawaan. Antara lain hipertensi sebanyak 30,4 persen, kencing manis 21,7 persen, gagal ginjal 8,7 persen, gagal jantung 4,3 persen dan asma 2,2 persen.
“Data-data awal salah satu rumah sakit rujukan di Jakarta menunjukan penderita covid-19 lebih banyak laki-laki. Yang terbiasa merokok 58,3 persen, sedangkan tidak merokok 41,7 persen,” jelas dokter Agus.
Faktor lain ialah terkait dengan genom virus corona baru. Menurutnya, tubuh corona baru memiliki protein spike yang berbentuk seperti paku, sehingga dapat menyantel pada ACE-2 (angiotensin converting enzyme 2)—enzim yang terdapat pada membran sel paru.
“Paru seorang perokok mengandung 40-50 persen reseptor ACE lebih banyak dibanding bukan perokok,” jelas dokter Agus.
***
Ketua Umum Komite Nasional Pengendalian Tembakau (Komnas PT), Hasbullah Thabrany menilai kebiasaan merokok kontraproduktif dengan usaha meminimalisir jumlah pasien positif covid-19 di Indonesia. Oleh sebab itu, Komnas PT bersurat kepada Presiden Joko Widodo pada Senin, 27 April 2020.
Selain menerangkan dukungan kepada pemerintah, surat bernomor 033/KOMNASPT/SK/IV/2020 tersebut berisi pernyataan dan kajian ilmiah mengenai perilaku merokok yang dapat memperbesar risiko infeksi covid-19. Hasbullah pun mengingatkan Presiden Jokowi agar mengurangi potensi penyalahgunaan bantuan sosial (bansos) oleh masyarakat. Dalam kajian Komnas PT, penerima bansos kerap kali menggunakan bantuan tersebut untuk membeli rokok.
“Kami dari 22 organisasi sangat prihatin dan meminta pemerintah lebih keras melarang iklan rokok dan penjualan rokok,” kata Profesor Hasbullah.
Pelarangan iklan rokok di seluruh media elektronik, digital, TV dan cetak pada masa pandemi dianggap penting. Pasalnya, saat ini seluruh kegiatan keluarga, seperti belajar maupun beribadah dilakukan di rumah. Menurut Hasbullah, pemerintah pusat maupun daerah perlu menegakkan kebijakan Kawasan Tanpa Rokok (KTR) sampai ke ruang keluarga.
“Kami mohon sekali pemerintah jangan lengah, karena faktor penyulit (pasien-red) yang ada berkaitan dengan komsumsi rokok,” kata Profesor Hasbullah.
Namun, sebulan setelah surat tersebut dilayangkan, Presiden Jokowi bergeming. Belum ada kebijakan konkret yang dapat mengurangi konsumsi rokok pada masa pandemi corona baru. Padahal menurut dokter paru Rumah Sakit Persahabatan Jakarta, Feni Fitriani Taufik, penyebaran informasi mengenai dampak buruk rokok terhadap pasien covid-19 perlu disampaikan kepada masyarakat. Apalagi belum ada yang dapat memastikan kapan pandemi corona akan berakhir.
“Pemerintah jangan hanya sosialisasi soal sosial distancing saja. Kalau tetap merokok mereka bisa menjadi sasaran empuk virus. Di sini modalnya kesehatan jangka panjang,” ujar Feni.
Sementara Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tidak Menular Kementerian Kesehatan, Cut Putrie Arianie menegaskan pihaknya sudah sering mengingatkan masyarakat tentang bahaya merokok.
“Sampai sekarang kami mengajak masyarakat yang waras untuk jangan merokok,” ujar Cut Putrie melalui sambungan telepon pada Rabu, 6 Mei 2020.
Hanya saja, menurutnya, aturan Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) di beberapa daerah menyulitkan Kemenkes melakukan sosialisasi langsung kepada warga. Ia mengklaim Kemenkes menggunakan media sosial untuk menyebarkan informasi tentang bahaya rokok.
Dalam amatan Jaring.id, terakhir kali Kemenkes memanfaatkan akun media sosial Instagram untuk menyosialisasikan bahaya rokok elektronik dilakukan pada 16 Januari lalu. Sejak itu, konten terkait hidup bersih, seperti cuci tangan, pakai masker dan jaga jarak mendominasi akun Instagram Kemenkes. Sedangkan akun Twitter maupun situs www.kemenkes.go.id yang dapat dijangkau publik tidak digunakan sebagai sarana kampanye dampak buruk rokok pada masa pandemi.
“Merokok berbahaya bagi kesehatan, mau pandemi atau tidak pandemi sama bahayanya. Waktu situasi normal saja disosialisasikan, tapi masih ada warga yang tidak patuh,” kilah Cut Putrie.
Dalam Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018, prevalensi konsumsi tembakau, baik hisap maupun kunyah meningkat menjadi 33,8 persen ketimbang 2016. Sementara angka konsumsi berdasarkan jenis kelamin menjadi 62,9 persen untuk laki-laki, berbanding 4,8 persen.
Lepas dari imbauan pemerintah, salah seorang perokok, Sahrul Haetamy mulai mengubah kebiasaan merokok. Semula dalam sehari ia bisa menghabiskan 2 bungkus rokok. Kali ini, jangankan sebungkus, lima batang pun tak habis ia hisap.
“Saya was-was dan takut. Covid-19 jadi shock terapi,” ujar Sahrul saat dihubungi melalui sambungan telepon pada Rabu, 6 Mei 2020.
Perubahan pola konsumi itu dilakukan setelah Sahrul masuk dalam kategori orang dalam pemantauan (ODP). Status tersebut disandangnya karena memiliki riwayat kontak dengan pasien covid-19 pada April lalu.
“Sejak itu saya mulai baca jurnal maupun berita. Ternyata para perokok ini berpotensi besar terkena covid-19 karena paru-paru enggak fit dibanding orang yang tidak merokok. Dari sana saya berubah,” ungkapnya kepada Jaring.id.
Meski tidak mudah mengurangi rokok, Sahrul menambahkan, pemberlakuan kebijakan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) di Ibukota sedikit meringankan.
“Saya banyak merokok itu saat nongkrong dan membahas pekerjaan,” tambahnya.
Berbeda dengan Sahrul, Maulana Septiadi memilih untuk tidak mengikuti anjuran organisasi kesehatan dunia WHO. Ia mengklaim rokok dapat membuatnya lebih tenang selama melakukan pekerjaan dari rumah. “Saya tetap merokok agar menghilangkan rasa suntuk,” kata Maulana, Sabtu, 9 Mei 2020.