Polisi diduga melakukan kekerasan terhadap anak saat menangani kerusuhan 21-23 Mei 2019. Mereka mengalami luka dan trauma. Berbagai pihak meminta polisi memperbaiki protokol penanganan anak.
Risma hampir tak mengenali wajah anaknya saat berjumpa di gedung Reserse Mobil (Resmob) Polda Metro Jaya, Jakarta Pusat pada Kamis, 23 Mei 2019. Hanya sehari tidak bertemu, wajah anaknya sudah penuh lebam. Bekas kucuran darah juga masih tampak di hidung dan kepala.
“Di belakang badannya dia tunjukin banyak bekas luka, kayak pecutan gitu,” kata Risma, Jumat, 19 Juli 2019 di Jakarta Pusat.
Menghilang sejak Rabu, 22 Mei 2019, Risma sempat mencari putranya ke beberapa rumah sakit dan kantor polisi. Pengumuman ke grup-grup WhatsApp juga disebar. Titik terang didapat setelah ketua rukun tetangga tempatnya bermukim dikontak Balai Permasyarakatan Polda Metro Jaya.
Awalnya Risma tidak percaya kabar tersebut. Pasalnya, ia sudah mendatangi Polda Metro Jaya dan tak menemukan nama Andika (16), anaknya, dalam daftar yang dibuat Direktorat Kriminal Umum dan Direktorat Narkoba Polda Metro Jaya. Ia baru yakin setelah lelaki di ujung telpon memberikan kesempatan bicara pada anaknya.
“Pas saya bilang coba anaknya yang ngomong langsung, ternyata benar. Saya langsung disuruh ke polda malam itu juga, carinya di resmob, katanya,” ujar Risma.
Dalam pelukan Risma, Andika (16), berulang kali mengucap maaf. Ia juga meminta sang ibu menemaninya melewati malam di tahanan.
***
Pecahnya kerusuhan di sekitar Bawaslu sejak Selasa, 21 Mei 2019 mengundang rasa penasaran Andika. Esoknya, ia menyanggupi ajakan seorang teman untuk menonton aksi. Ibunya sempat melarang.
Suasana sudah ricuh ketika Andika dan beberapa temannya tiba di sekitar Jalan Wahid Hasyim, Jakarta. Beberapa pria dewasa mengumpulkan batu hingga pecahan pot. Mereka berhadapan dengan polisi yang menembakkan gas air mata ke arah kerumunan massa.
Andika diminta mengambil batu untuk dilempar ke arah polisi. Namun, perihnya gas air mata membuatnya mundur dari kerumunan untuk mencari perlindungan. Tak lama berselang, seseorang menarik dan membawanya ke belakang gedung Bawaslu. Dua buah batu yang sempat Andika ambil masih digenggamnya.
Dalam perjalanan menuju Bawaslu tubuh Andika menjadi bulan-bulanan aparat. Pukulan, tendangan, hingga popor senjata melukai kepala dan tubuhnya. Perlakuan serupa didapat saat dirinya dibawa ke Polda. Pukulan terus mendarat, meskipun Andika sudah mengaku sebagai pelajar.
Menurut Dimas (14), Andika adalah salah satu anak yang mengalami luka cukup parah akibat gebukan aparat. Senasib sepenanggungan, Dimas ikut dibawa aparat dari sekitar Bawaslu menuju Polda Metro Jaya karena dituduh melempar botol mineral dan mengenai kepala anggota Brigade Mobil (Brimob).
“Brimob langsung nangkep, Dimas yang disalahin, disangkanya saya yang lempar,” katanya.
Dimas mengaku berpindah-pindah ruangan saat menjalani pemeriksaan. Setelah dipukul di satu ruangan, ia dibawa ke ruangan lain untuk dimintai keterangan. Apabila keterangannya dianggap tidak jujur, polisi kembali memukulinya.
Ancaman akan disetrum juga sempat dialamatkan pada Dimas. Ujung kabel listrik yang diarahkan padanya membuatnya mengaku telah melempar aparat. Selama proses pemeriksaan, Andika dan Dimas tidak mendapat pendampingan kuasa hukum.
***
Berdasarkan data Dinas Kesehatan DKI Jakarta, jumlah anak yang terluka pada kerusuhan 21-22 Mei mencapai 170 anak. Mereka sempat mendapat perawatan medis dengan rincian trauma ringan 136 anak, trauma berat 16 anak, non trauma 15 anak dan meninggal dunia 3 anak.
Polisi juga menangkap 74 anak dari lokasi kerusuhan. Setelah dilakukan pemeriksaan, 62 diantaranya ditempatkan di Rumah Aman PSMP Handayani, Bambu Apus, Jakarta Timur.
Penggunaan kekerasan berlebihan terhadap anak menjadi sorotan Komisi Pelindungan Anak Indonesia (KPAI) saat polisi menangani kerusuhan 21-23 Mei lalu. Menurut Komisioner KPAI Sitti Hikmawati, penggunaan kekerasan berlangsung sejak penangkapan di lokasi kejadian hingga pemeriksaan di kantor polisi.
Salah satu hasil assesment KPAI menyebut bahwa anak-anak yang ditangkap terpaksa mengakui tuduhan karena tertekan selama pemeriksaan.
Siti menilai penanganan anak tidak boleh disamakan dengan dewasa. Sesuai dengan undang-undang sistem peradilan anak, mereka semestinya diproses penyidik di Unit Perlindungan Perempuan dan Anak (PPA).
Pentingnya perlakukan khusus untuk anak, menurut Siti, karena anak-anak belum bisa mengambilkan keputusan dan menimbang risiko perbuatannya. Posisi anak harus dilihat sebagai korban kesalahan pola asuh, pergaulan, hingga lingkungan.
“Karena itu kita mendesak kepolisian membuat protokol khusus, begitu melihat anak, bukan langsung dipukuli tapi dibawa langsung ke zona aman. Diberikan penjelasan kalian tidak boleh seperti ini,” kata Siti saat ditemui di Kantor KPAI, Selasa, 16 Juli 2019.
Dua bulan sudah KPAI bersurat ke Inspektorat Pengawasan Umum Polri meminta hasil pemeriksaan kekerasan yang dialami anak. Surat tersebut, menurutnya, belum berbalas sampai sekarang.
Ketika ditanya terkait dugaan kekerasan dalam penanganan anak korban rusuh 21-22 Mei, Kepala Biro Penerangan Masyarakat Divisi Humas Polri Brigadir Jenderal Polisi Dedi Prasetyo meminta agar mengonfirmasi langsung ke Polda Metro Jaya.
Kapolda Metro Jaya Irjen Gatot Eddy Pramono yang ditemui usai memberikan kuliah umum di Kampus Universitas Indonesia, Salemba, Jakarta mengatakan pemeriksaan anak yang terseret kasus kerusuhan 21-22 Mei 2019 dilakukan di Polres Jakarta Barat dan di Unit Anak Polda Metro Jaya. Jikapun ada yang ditangani di luar unit anak, koordinasi tetap dilakukan dengan Unit PPA.
“Ini kita tangani sesuai ketentuan hukum acaranya anak. Kita lakukan proses diversi. Sudah tuntas semua,” katanya Kamis, 18 Juli 2019.
Kabid Humas Polda Metro Jaya Kombes Pol Argo Yuwono tidak komentar banyak soal temuan KPAI. Ia menekankan proses anak sudah selesai.
“Temuan yang mana? Kita tunggu dulu temuannya ya. Nanti ya,” katanya ditemui di Polda Metro Jaya pada Jumat, 19 Juli 2019.
***
Luka sobek di tangan Rudi (17), masih menganga dan berwarna merah gelap. Lebam di sekeliling mata dan pangkal hidung juga tampak saat ditemui Maya, ibunya, di Rumah Aman PSMP Handayani, Juni 2019 lalu.
Rudi adalah salah satu dari 62 anak yang dititipkan Polda Metro Jaya di Rumah Aman PSMP Handayani. Neneng Haryani, Kepala PSMP Handayani, membenarkan kalau beberapa anak dititipkan dalam kondisi memar.
Kondisi serupa diceritakan Ketua Satgas Perlindungan Anak Ikatan Dokter Indonesia (IDAI) Eva Devita Harmoniati. Ia mengecek kondisi kesehatan anak-anak tersebut tiga minggu pascakerusuhan. Luka bekas pukulan benda tumpul, luka tembak peluru karet, hingga bekas sulutan rokok disaksikannya dengan mata kepala sendiri.
Luka bekas pukulan benda tumpul menyebar di kepala, punggung, perut, dan dada. Beberapa jenis benda tumpul yang digunakan yakni tongkat, sepatu, bambu, dan stapler. Beberapa anak mengaku sempat direndam di kolam ikan yang berada di kantor polisi. Ada juga yang muntah darah setelah berkali-kali mendapat pukulan.
Eva menyebut anak-anak yang sempat diperiksanya tak hanya mengalami luka fisik, tetapi juga trauma psikis terhadap aparat.
“Ketika baru datang, mereka berpikir kami bagian dari aparat, sehingga agak takut-takut cerita. Tapi ketika kami katakan kami dokter, cuma ingin tahu keadaan kamu kayak gimana, mereka bisa bercerita lebih leluasa. Kelihatan masih ada ketakutan itu,” Kata Eva, Rabu, 17 Juli 2019 di Jakarta Barat.
Eva menyayangkan tidak dilakukannya visum terhadap anak yang mendapatkan kekerasan saat ditangkap dan diperiksa terkait kerusuhan 21-22 Mei 2019. Pemeriksaan yang IDAI lakukan, lanjutnya, juga sudah terlambat. Luka lebam dan luka dalam sudah menyembuh, tersisa bekas luka dan nyeri.
“Mestinya ketika mereka terluka, tetap harus dibawa untuk dilakukan visum dari awal. Itu adalah data medis yang bisa dipakai juga di pengadilan ketika mereka diadili,” kata Eva.
***
Tidak semua anak yang ditangkap polisi lantaran terseret kerusuhan 21-22 Mei 2019 berhasil menjalani proses diversi. Sepuluh anak gagal bersepaham dengan anggota Brimob sehingga kasusnya harus berlanjut di pegadilan.
Kuasa Hukum dari Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Paham Riki Martim menangani lima orang anak yang dimejahijaukan. Dalam kasus tersebut, anggota Brimob menjadi pelapornya.
Riki kecewa dengan forum diversi yang tidak mengedepankan kepentingan anak. Dua kali diversi diupayakan, dua kali pula berujung kegagalan.
Lima anak yang ditanganinya diancam tiga pasal yaitu pasal Pasal 170 KUHP tentang kekerasan, Pasal 214 KUHP dan 218 KUHP tentang kekerasan terhadap pejabat. Ancaman pidananya masing-masing lima tahun penjara dan empat tahun penjara.
Gagalnya diversi, menurut Riki, disebabkan anggota Brimob yang berstatus sebagai korban menginginkan proses berlanjut ke pengadilan.
“Forum diversi yang dilakukan tidak sesuai dengan semangat UU perlindungan anak yang mengutamakan restorative justice untuk anak yang berhadapan dengan hukum,” kata Riki saat mendampingi diversi di Polda Metro Jaya pada Jumat, 19 Juli 2019.
Menurut Riki, restorative justice mestinya diutamakan agar anak tidak mendapat stigma saat kembali ke masyarakat.
“Tuduhan Brimob terhadap anak-anak ini perlu diuji. Apakah (benar) anak-anak ini yang mengeroyok mereka, karena situasi chaos. Tetapi anak-anak ini yang pasti korban kekerasan HAM. Kita punya bukti kekerasan dan akan melaporkannya ke Komnas HAM dan Propam,” katanya.
*Kami mengubah nama anak dan orang tua untuk melindungi identitas anak sesuai dengan ketentuan pemberitaan anak oleh Dewan Pers.
Liputan ini adalah hasil kolaborasi CNN TV Indonesia, Jaring.id, dan Tirto.id