Kota Samarinda mungkin bisa dikatakan sebagai salah satu contoh kota di Indonesia yang mengandung ironi besar. Sebagai ibukota provinsi Kalimantan Timur, ia sering kalah pamor dengan kota Balikpapan yang berada lebih ke selatan, karena berbagai penerbangan domestik umumnya akan mendarat di kota Balikpapan ketimbang Samarinda.
Kota Samarinda termasuk kota yang padat. Luas kota ini lebih 700 ribu meter persegi, sementara jumlah penduduk saat ini mencapai 828.303, demikian data BPS memaparkan fakta tersebut.
Ironi yang lain adalah 70 persen lahan kota Samarinda dikuasai pertambangan, yang menyisakan tak kurang dari 175 lubang sebagai bagian dari aktivitas pengerukan yang telah terjadi sejak awal tahun 2000an. Dalam lima tahun terakhir, lubang eks tambang yang berada di wilayah kota Samarinda ini telah menelan korban jiwa tak kurang dari 24 orang.
Emas Hitam sudah sejak lama dikeruk dari perut bumi Kota Samarinda. Menurut Ita Syamtasiyah Ahyat dalam bukunya Kesultanan Kutai 1825 – 1910: Perubahan Politik dan Ekonomi Akibat Penetrasi Kekuasaan Belanda, pihak kolonial telah menggali batubara di Pelarang Samarinda pada 1861 – 1872, sebelum akhirnya diserahkan kepada Sultan Kutai.
Samarinda juga merupakan kota pelabuhan. Kota yang dibelah oleh sungai Mahakam ini adalah pintu masuk utama Kesultanan Kutai. Posisi strategis inilah yang menyebabkan penduduknya diisi oleh beragam etnis.
Sisa-sisa sejarah pertambangan kini hanya sedikit tersisa di Loa Kulu, yang kini berada di wilayah Kabupaten Kutai Kartanegara. Tambang yang diperkirakan mulai beroperasi di tahun 1888 tersebut tak jauh usianya dengan tambang batubara di Ombilin, Sawah Lunto. Hingga kini sisa-sisa terowongan bawah tanah pertambangan Belanda itu masih ada walau tak terawat.
“Industri batubara di sini sebenarnya datangnya lambat, karena sudah lama dimulai di Eropa dan Amerika. Belanda belum melirik batubara karena keahlian mereka lebih ke pekebunan,” kata Fajar Alam, Ketua Ikatan Ahli Geologi Indonesia (IAGI) Kalimantan Timur, Rabu 10 Agustus 2016.
Fajar yang juga aktif di komunitas Samarinda Bahari memaparkan bahwa pada masa Orde Lama dilakukan nasionalisasi perusahaan Belanda. Pertambangan Batubara dijadikan satu dalam Perusahaan Nasional Tambang Batubara. Tahun 1968, pertambangan batubara di Indonesia memasuki tahap baru dengan dibentuknya Perusahaan Nasional Batubara yang beroperasi di tiga wilayah, yaitu Ombilin di Sumatera Barat, Bukit Asam di Sumatera Selatan dan Mahakam di Kalimantan Timur. Namun pada tahun 1970, tambang di wilayah Mahakam ini ditutup karena alasan ekonomi dan mulai lahirnya industri minyak bumi.
Di akhir dekade 70-an, seiring dengan krisis minyak internasional, batubara kembali dilirik sebagai sumber energi industri. Pemerintah mulai menggaet pemodal asing untuk mengeruk batubara. Presiden mengeluarkan Surat Keputusan Presiden Nomor 49 Tahun 1981 untuk menggandeng kontraktor swasta dalam mengelola tambang.
Pada awal 90-an, kontrak kerjasama berubah menjadi kontrak karya, setelah terbitnya Keppres Nomor 21 Tahun 1993. Perubahan ini mengubah bentuk setoran dari natura ke uang tunai. Sistem perjanjian ini kemudian dikenal dengan Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B).
Tahun 2009 pemerintah menelurkan UU No.4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara. Peraturan tersebut mengharuskan pemegang izin pertambangan menyetor jaminan reklamasi (jamrek) kepada pemerintah sebelum melakukan aktivitas pertambangan. Dengan adanya dana tersebut, lingkungan dan ekosistem yang terganggu akibat kegiatan pertambangan diharapkan dapat berfungsi kembali.
Niatan UU boleh baik, namun dalam kenyataannya tak pernah jelas masalah dana reklamasi tersebut, pun tentang jumlah yang harusnya disetor dan dipatuhi oleh para pemilik izin. Ketika gelombang korban yang jatuh akibat lubang eks tambang yang dibiarkan dalam kondisi terbuka, maka pihak pemerintah provinsi Kaltim pun mulai kelabakan menghadapi situasinya.
Menyusul terbitnya UU tersebut, pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono mengeluarkan Peraturan Pemerintah tentang Reklamasi dan Paska Tambang (PP No. 78 Tahun 2010). Sementara itu Kementerian Lingkungan Hidup pun mengeluarkan peraturan menteri tentang Indikator Ramah Lingkungan untuk Usaha dan / atau Kegiatan Penambangan Terbuka Batubara. Dalam Peraturan Menteri ini disebutkan tentang salah satu indikator Ramah Lingkungan itu adalah jarak tambang minimal 500 meter dari pemukiman penduduk.
Pemerintah provinsi Kaltim pada tahun 2013 mengeluarkan Peraturan Daerah tentang Penyelenggaraan Reklamasi dan Paska Tambang yang di dalamnya merekomendasikan berdirinya Komisi Pengawas Reklamasi. Komisi ini akhirnya baru bisa dibentuk tiga tahun setelah Perda diteken. Belakangan pada bulan Juni 2016 DPRD Kaltim pun membuat Panitia Khusus soal Reklamasi yang bertugas untuk mencari penyelesaian masalah lubang tambang yang telah memakan banyak korban tersebut. (Baihaqi)