Puluhan kapal berkapasitas 30-100 gross tonnage yang tertambat di dermaga Pelabuhan Perikanan Tasik Agung, Kabupaten Rembang, Jawa Tengah pada Selasa, 9 November 2020, sekitar Pukul 08.30 WIB, tampak riuh. Seratusan orang terdiri dari awak kapal dan buruh bongkar muat hilir mudik menurunkan hasil tangkapan di dalam tong maupun baki besar.
Ada pelbagai jenis ikan yang ditangkap nelayan dari Laut Jawa, Natuna, Kalimantan, Maluku sampai Papua. Antara lain ikan kurisi dan cumi-cumi. Sebagian lagi membawa hiu lanjaman, pari kupu-kupu, pari liong bun dan pari lontar. Dua spesies terakhir merupakan pari yang paling banyak ditangkap pagi itu. Ukurannya bermacam-macam, paling panjang sekitar 2,5 meter dengan berat 70 kilogram. Sedangkan yang paling kecil tak lebih dari 10 kilogram.
Para pembeli, salah satunya Haji Muslimin sudah sedari Subuh berada di pelelangan ikan tersebut. Haji Mus—begitu ia disapa, ialah satu dari empat pengepul sirip hiu dan pari di Rembang. Begitu satu per satu kapal bersandar, ia dengan cekatan menghampiri sembari memelototi hiu dan pari hasil tangkapan nelayan. Saat menemukan buruannya, Haji Mus bergegas menempeli badan pari dan hiu dengan nama dan nomor teleponnya sebagai tanda pembelian. Tiap kilogram hiu dan pari, kata Haji Mus, dihargai Rp 10.000-15.000. Lewat penanda itu pula para anak buahnya mudah membawa gunungan tangkapan itu ke tempat penampungan sementara di sekitar pelabuhan.
Di sana, hiu dan pari tampak menumpuk setinggi kurang lebih satu meter. Para jagal yang membawa badik langsung mempreteli hiu dan pari dalam beberapa bagian. Mereka memisahkan kepala, daging, sirip dan kulit hiu. Dari satu hiu atau pari, Haji Mus setidaknya mendapatkan lebih lima sirip dari tubuh bagian atas, dada dan ekor. Bagian sirip ini yang kemudian disisihkan, dicuci, lalu dimasukkan ke dalam karung. Haji Mus kemudian membawa sirip dan kulit ke gudangnya yang berjarak sekitar lima kilometer dari pelabuhan. “Ini harus dijemur tiga sampai lima hari,” ujar Haji Mus, pada Selasa, 9 November 2021.
Di dalam gudang, teronggok dua karung setinggi 2 meter berisi sirip kering, beserta 3 lapis kulit pari. “Kadang menunggu penuh baru kirim. Kalau kulit biasanya kirim basah digarami dulu,” katanya. Haji Mus mengatakan sirip dan kulit itu akan dijual kepada eksportir di Tangerang, Banten. Sirip dengan panjang 45 cm biasanya laku Rp 2,6 juta. Bandrol itu bisa tembus Rp 3 juta apabila sirip hiu lebih panjang 5 cm. “Makin panjang makin mahal. Kecil-kecil murah. Harganya bervariasi,” ujarnya. Adapun daging dan kepala akan akan dijual kepada pedagang lokal untuk ikan asap.
Hiu lanjaman, pari kikir dan kekeh yang dikumpulkan oleh Haji Mus merupakan ikan yang masuk daftar merah International Union for Conservation of Nature and Natural Resources (IUCN) sebagai spesies ikan yang terancam punah. Ikan ini juga masuk dalam apendiks II Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora (CITES). Walaupun pemerintah membatasi ekspor dengan menetapkan kuota, perdagangan hiu di dalam negeri tak dilarang. “Itu dilindungi, tapi untuk masyarakat (menangkap dan menjual) tidak apa-apa,” ucapnya. Tapi dia juga masih ketar-ketir jika kena operasi oleh jajaran Kementerian Kelautan maupun Kepolisian. “Ada keinginan untuk mengurus izin. Saya baru tanya-tanya sama teman,” tambah Haji Mus.
Meski belum mengantongi izin, hampir tiap bulan Haji Mus memasok sirip ke PT Indo Seafood yang berlokasi di pergudangan Dadap, Tangerang. Terakhir ia mengaku mengirim sirip pada 20 Desember 2021 lalu. Jumlah pengiriman bisa mencapai 3-5 sirip kering dalam kardus berbahan karton berukuran 54 x 34 cm. Sementara jumlah kulit pari basah bisa mencapai 7-10 box. Agar tidak terjaring operasi petugas, Haji Mus biasanya menitipkan sirip dan kulit tersebut ke truk pengangkut ikan dari Rembang ke Muara Angke, Jakarta Utara. “Kalau pakai jalur pengiriman (resmi) biaya mahal dan rawan kalau kena,” katanya.
Menurut Haji Mus, sirip-sirip tersebut akan dikirim ke China. Namun, ia mengaku tidak pernah bertatap muka dengan pihak perusahaan. Seluruh proses jual-beli dilakukan melalui Whatsapp, termasuk penyerahan bukti transfer. Kepada Jaring.id dan Tempo, Haji Mus sempat menunjukkan nota pembelian dan nomor telepon yang kerap diajak komunikasi. Dari penelusuran nomor telepon menggunakan aplikasi Get Contact, tercatat beberapa nama pemilik nomor dan nama perusahaan, yakni “Gudang Dadap” dan “PT Indo Seafood.” Meski begitu, dalam nota itu, tidak ada label nama perusahaan. Hanya tertulis berat total serta akumulasi harga yang harus dibayar perusahaan. “Saya tidak pernah timbang (kilogram), yang penting saya kirim, di proses di sana. Lalu nanti akan ditransfer,” ungkapnya.
Padahal di surat keputusan Direktur Jenderal Pengelolaan Ruang Laut Nomor 49 Tahun 2021, tidak tercatat nama PT Indo Seafood sebagai perusahaan eksportir sirip, tulang, kulit, daging, maupun ikan hidup. Artinya, perusahaan ini tidak mengantongi izin sebagaimana dalam penetapan dan pembagian kuota ekspor jenis ikan yang dilindungi terbatas dan/atau jenis ikan yang tercantum dalam apendiks II CITES hasil pengambilan dari alam tersebut.
Koordinator Kelompok Pemanfaatan dan Jenis Ikan, Direktorat KKHL, Kementerian Kelautan dan Perikanan, Sarmintohadi menegaskan perusahaan yang beroperasi tanpa kuota ekspor menerapkan praktik ilegal. “Mereka tak bisa ekspor kalau tidak ada izin. Dia tidak bisa ekspor kalau tidak punya kuota. Itu ilegal,” jelas Sarminto saat ditemui di ruangannya, Senin, 20 Desember 2021.
Menurut Sarmintohadi, perusahaan yang melakukan ekspor ikan apendiks II diawasi dengan ketat. Sebelum sirip dikirim, perlu ada pemeriksaan oleh Balai Karantina Ikan, Pengendalian Mutu, dan Keamanan Hasil Perikanan (BKIPM) serta surat izin angkut dan ekspor. Menurutnya, selama pemeriksaan BKIPM akan mengeluarkan sertifikat kelayakan kesehatan atau Health Certificate (HC) sebagai syarat pengiriman ke luar dari Indonesia. “Tanpa HC tidak akan terbit izin,” katanya. Begitu pula dengan penjualan dalam negeri. Perorangan maupun badan usaha mesti mengantongi Surat Izin Pemanfaatan Jenis Ikan Dalam Negeri (SIPJI-DN) dan Surat Angkut Jenis Ikan (SAJI).
Sementara itu, Balai Karantina Ikan, Pengendalian Mutu, dan Keamanan Hasil Perikanan (BKIPM), Kementerian Kelautan dan Perikanan, Jawa Tengah menyatakan tidak pernah mendapatkan dokumen pengiriman jenis ikan apendiks II yang dikirimkan oleh PT Indo Seafood. Kepala BKIPM Jawa Tengah, Raden Gatot Perdana menyatakan bahwa perusahaan tersebut hanya memperoleh izin dan HC untuk keperluan ekspor surimi—hasil olahan daging ikan—ke China. “Dia (PT Indo Seafood) tidak kirim apendiks II. Dia seringnya kirim surimi,” kata Gatot saat ditemui di kantornya, 15 November 2021.
PT Indo Seafood merupakan anggota dari Asosiasi Produsen Pengolahan dan Pemasaran Produk Perikanan Indonesia (AP5I). Perusahaan ini terletak di dua alamat berbeda, yakni di Jalan Gajah Mada KM 4, Banyudono, Kaliori, Rembang, Jawa Tengah dan Jalan Raya Perancis Nomor 2 Blok N-1, Tangerang, Banten. Alamat pertama dipakai untuk tempat produksi dan pengemasan ikan. Sedangkan gudang di Tangerang merupakan alamat tujuan pengiriman sirip dan kulit hiu-pari oleh Haji Mus. Di sana, tak ada satu pun papan nama perusahaan itu. Gudang itu juga memiliki dua lapis pagar berkelir hijau dan biru dengan ketinggian sekitar lima meter.
Dua warga dan satu pekerja yang tinggal di wilayah tersebut menyatakan PT Indo Seafood menyimpan sirip, kulit dan daging hiu pari di dalam gudang. “Ada sirip dan pari. Dulu pernah digrebek polisi,” kata salah satu warga yang tak mau disebutkan namanya, Jumat 17 Desember 2021.
Sekretaris PT Indo Seafood, Lidia membantah perusahaannya menerima sirip dan kulit pari maupun hiu yang masuk apendiks II dari supplier, apalagi mengirim barang tersebut ke luar negeri. “Kami tidak kirim. Salah alamat. Kami pabrik surimi,” kata Lidia kepada Jaring.id dan Tempo, Senin 27 Desember 2021.
Tak tercatatnya PT Indo Seafood dalam daftar perusahaan yang menerima kuota ekspor akan menjadi bahan rapat Direktorat Jenderal Pengelolaan Ruang Laut. Direktur Konservasi dan Keanekaragaman Hayati Laut, Kementerian Kelautan dan Perikanan, Andi Rusandi mengaku akan mengecek temuan ini. “Kami akan lakukan investigasi,” ujar Andi, Senin 20 Desember 2021.
***
Praktik penangkapan dan perdagangan ikan apendiks II marak terjadi di Indonesia. Pada liputan kali ini, tim peliputan juga menyusuri Pantai Utara (Pantura) Jawa Tengah, seperti di Pelabuhan Tegalsari, Tegal, dan Pelabuhan Bajomulyo, Juwana, Pati. Setiap hari, nelayan dan pengepul ikan mendapatkan hiu lanjaman, pari kikir dan pari kekeh.
Ikan-ikan hasil tangkapan itu biasanya diletakkan di gudang pendingin sebelum dikirim kepada perusahaan eksportir. Salah satu lokasi penyimpanan yang berada di Juwana, Pati dimiliki oleh kader Partai Demokrat, Supeno. Pria yang pernah berkompetisi dalam pemilihan kepala daerah Kabupaten Pati pada 2011 ini juga dikenal sebagai pemilik kapal.
Di dalam gudang pendingin milik Supeno terdapat tumpukan hiu lanjaman, pari kupu-kupu, pari lion bun, pari lontar, serta pari kikir. Supeno mengaku semua jenis ikan itu hanya titipan para pengepul di Pati. “Saya memang menyimpan. Itu kan dari TPI dibawa ke cold storage,” kata Supeno saat ditemui di rumahnya, Selasa, 9 November 2021. Menurut dia, pemerintah tak sepenuhnya melarang penangkapan maupun perdagangan hiu dan pari. “Sekarang dilarang, dilarang, tapi tidak ada solusinya,” ujarnya. Beberapa supplier mengaku sirip-sirip itu ada yang dikirim ke perusahaan di Surabaya yang dititipkan ke bus atau kereta. Biasanya mereka mengaku sirip yang dibungkus kardus itu sebagai ikan asin.
Dalam data Pengelolaan Sumber Daya Pesisir dan Laut (PSPL) Serang wilayah kerja Semarang mencatat hanya ada empat perusahaan eksportir sirip hiu dan pari di Jawa Tengah. Salah satu petugas Loka Semarang menjelaskan perusahaan tak akan langsung mengirim begitu dapat ikan, “Mereka akan kumpulkan dulu. Muat satu kontainer lalu kirim. Biasanya via laut,” kata sumber Jaring.id dan Tempo yang tidak ingin namanya diungkap, Selasa, 16 November 2021.
Direktur Konservasi dan Keanekaragaman Hayati, Andi Rusandi mengklaim pemerintah telah berupaya maksimal untuk melindungi ikan berkategori apendiks II. Antara lain dengan menerbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2018 tentang Pelayanan Perizinan Berusaha Terinteritas Rekomendasi, Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 61/Permen-KP/2018 tentang Pemanfaatan Jenis Ikan yang Dilindungi dan/atau Ikan yang Tercantum dalam Apendiks CITES, serta Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 10 Tahun 2021 tentang Standar Kegiatan Usaha dan Produk pada Penyelenggaraan Perizinan Berusaha Berbasis Risiko Sektor Kelautan dan Perikanan.
Menurut Andi, belied tersebut berguna untuk mengontrol izin dan menghindari praktik penyuapan. Pasalnya tiap eksportir harus memiliki dokumen lengkap untuk menjual ikan ke luar negeri. Dokumen itu berupa Surat Angkut Jenis Ikan Dalam Negeri (SAJI DN), Surat Angkut Jenis Ikan Luar Negeri (SAJI-LN) untuk ekspor jenis ikan dilindungi/apendiks CITES lewat Pelayanan Perizinan Berusaha Terintegrasi Elektronik (OSS). Bahkan, kata Andi, tim verifikasi acap kali mengunjungi pergudangan sebelum ikan-ikan tersebut dikirim ke luar negeri. “Semua ada SOP-nya. Sudah kita siapkan. Tidak ada yang ditutup-tutupi,” tegasnya.
Kendati demikian, regulasi yang harusnya menutup celah pengiriman sirip hiu dan pari tanpa izin masih sebatas di atas kertas. Selain karena jejaring perdagangan yang luas, menurut Andi, sistem yang beroperasi saat ini belum bisa mengendalikan tangkapan maupun ekspor. “Kami sulit kontrol. Kami sulit telusuri karena rantingnya banyak. Kelimpungan kami soal ikan,” ungkap Andi.
Sumber di Loka Semarang menyebutkan bahwa pengawasan tidak berjalan maksimal lantaran jumlah verifikator tak sebanding dengan jumlah perusahaan. “Menelusuri itu agak rumit. Saya yakin ada yang lewat darat yang tak dapat izin. Saya yakin ada. Apendiks tanpa kuota ada.” ujarnya.
Sumber lain di Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan (PSDKP) Stasiun Cilacap juga menyebutkan hal yang sama. Penyidik mengaku kesulitan mengidentifikasi jenis ikan yang diekspor perusahaan. Perusahaan kerap mencampur sirip, kulit, tulang maupun daging dalam satu wadah, sehingga petugas tidak bisa mengidentifikasi mana yang ikan apendiks II dan non apendiks. “Satu ruangan ditumpuk satu ditutup terpal. Susah juga identifikasi,” ujarnya. Oleh sebab itu, tiap kali menginspeksi perusahaan eksportir di Jawa Tengah, penyidik mengaku harus mengirimkan gambar ikan menggunakan pesan Whatsapp kepada Direktorat PRL. “Yang bisa ahlinya dari PRL. Kami tidak bisa mengidentifikasi ini jenis apa,” ujarnya.
Kepala Pusat Karantina Ikan, BKIPM, Riza Priyatna tak membantah adanya celah penyelundupan ikan apendiks II. Ia mengaku kesulitan melakukan pengawasan di jalur darat. Sebab, lembaganya hanya mendapatkan kewenangan pemeriksaan ketika ada surat rekomendasi ekspor dari Ditjen PRL. BKIPM juga hanya bertugas di bagian hilir sebelum dikirim, yakni wilayah pelabuhan dan bandara. “Kalau kirim pakai travel bagaimana bisa kita mengawasi. Door to Door lagi. Itu yang sulit. Kami juga capek dan tidak mau melakukan tugas orang lain. Tugas kami hanya entri dan exit point,” kata Riza saat ditemui di ruang kerjanya, Senin, 20 Desember 2021.
Akibat lemahnya pengawasan ini, PT Neptuna Dwindo Maitrina mudah mengakali pengiriman hiu dan pari untuk PT Surya Hasil Laut di Jakarta pada 21 Maret 2021. Ikan tersebut dikirim dari Pelabuhan Selat Lampa Kabupaten Natuna, Kepulauan Riau. Pada saat pendaratan di Pelabuhan Tanjung Priok, diketahui bahwa isi kontainer perusahaan membawa empat jenis komoditas hiu yang masuk dalam apendiks II CITES dengan berat 374,15 kilogram. Terdiri dari hiu martil (Sphyrna lewini) 29 ekor setara dengan 177,1 kilogram, pari kekeh 6 ekor (99,56 kilogram), hiu lanjaman 5 ekor (23, 5 kilogram) dan pari kikir 3 ekor (78,90 kilogram).
Perusahaan tersebut menggunakan surat jalan berupa sertifikat kesehatan ikan dan mutu hasil perikanan domestik oleh BKIPM Tanjung Pinang Satker KIPM Natuna pada 15 Maret 2021 dengan jenis komoditas ikan hiu cucut seberat 1.000 kilogram dan ikan jahan sebanyak 9.000 kilogram. Menurut Riza, modus yang dilakukan PT Neptuna ini juga banyak dilakukan oleh perusahaan lain. “Ini berdampak terhadap ancaman kepunahan dan menimbulkan kerugian negara,” ujar Riza.
Sementara itu, menurut peneliti hiu dan pari dari Uni Internasional untuk Konservasi atau International Union for Conservation of Nature and Natural Resources (IUCN) Benaya Meitasari Simoen celah penyelundupan selama ini merupakan akibat keputusan pemerintah yang tak melarang ekspor semua jenis apendiks II. Kementerian Kelautan dan Perikanan melalui Direktorat Jenderal Pengelolaan Ruang Laut sampai saat ini hanya menerapkan penetapan kuota tangkap dan kuota ekspor untuk membatasi tangkapan ikan hiu dan pari. Penangkapan dan perdagangan pun tak dilarang di dalam negeri. Dalam catatan Yayasan Rekam Nusantara, sepanjang 2019-2021, sebanyak 7.000 ekor ikan pari yang masuk apendiks II ditangkap di Jawa Tengah.
Wilayah Pantai Utara, Jawa Tengah yang merupakan daerah dangkal dan berlumpur merupakan habitat pari kikir dan pari kekeh. “Paling banyak itu di laut Jawa,” kata Benaya, Selasa, 11 Januari 2022. Karenanya Indonesia menjadi negara yang menjadi sasaran penangkapan dan perdagangan hiu serta pari di seluruh dunia. Sirip hiu dan pari itu, kata dia, biasanya dikirim ke negara-negara Asia Timur untuk dikonsumsi, maupun negara lain untuk bahan baku produk makanan tertentu. “Negara lain sudah hilang, tapi di Indonesia masih ada,” kata Benaya.
Guna mengantisipasi praktik ilegal, Benaya menyarankan agar pemerintah segera mengasah kemampuan petugas agar dapat mengidentifikasi ikan apendiks II dengan lebih baik. Proses identifikasi ini merupakan kunci untuk menghalau praktik ilegal. “Perlu sistem baik untuk lakukan identifikasi. Ini penting,” ujarnya. Pemerintah juga didorong untuk membuka ruang kolaborasi bersama universitas, peneliti dan komunitas untuk menangani perdagangan ilegal. “Kolaborasi juga harus dilakukan. Pasti tidak ada yang sia-sia,” tutupnya.
CREDIT
Penulis: Abdus Somad
Editor: Damar Fery Ardiyan
Infografis: Ali & Kholikul Alim
Artikel “Lecit Sirip Sampai ke China” ini merupakan kerja sama Jaring.id dengan Tempo dan Environmental Justice Foundation.