RUMAH I Gusti Ngurah Murgayasa yang berada di Jalan Bugugan Sari, Gang solar Banjar Bubungan, Senganan, Kabupaten Tabanan, Bali mendadak dikerumuni warga saat terjadi pemadaman listrik di Pulau Dewata pada Jumat, 2 Juni 2025. Pemadaman itu disebabkan oleh gangguan jaringan kabel bawah laut yang menghubungkan sistem kelistrikan Pulau Jawa dan Bali. “Warga sudah panik. Rumah saya terang sendiri,” ungkapnya saat dihubungi Jaring.id melalui sambungan telepon Senin, 19 Mei 2025.
Sejak itu, rumah pria yang akrab dipanggil Bli Gusti tak pernah sepi. Hampir tiap jam ada saja warga yang berbondong-bondong menenteng kabel charger guna mengisi daya di rumahnya. “Rumah saya penuh warga yang charger HP,” ujarnya.
Rumah milik Bli Gusti adalah satu dari sedikit rumah yang masih terang ketika Bali mengalami blackout selama 12 jam. Ini karena rumah di Desa Penebel itu tak mengandalkan listrik dari Perusahaan Listrik Negara (PLN) alias memiliki sumber listrik lain, yakni energi surya berkapasitas 5-6 Khw.
Sistem listrik yang digunakan Bli Gusti adalah tenaga surya dengan off-grid. Sistem ini berbeda dengan on-grid yang terhubung secara langsung dengan jaringan listrik Perusahaan Listrik Negara (PLN). Melainkan sistem kelistrikan yang menggunakan sistem penyimpanan energi secara mandiri melalui baterai lalu dihubungkan ke jaringan listrik. “Sekarang pakai baterai,” ujarnya.
Sebelum menggunakan sistem off-grid, Bli Gusti mengaku sudah pernah mengajukan izin pemasangan solar panel on-grid—sistem yang terhubung ke jaringan listrik PLN sehingga memungkinkan kelebihan energi disalurkan kembali ke jaringan untuk kredit atau pengurangan tagihan. Bahkan ia berniat untuk membagian listriknya ke tetangga, baik untuk rumah maupun perkebunan, dengan menarik kabel sejauh 1 kilometer. “Dulu sebetulnya saya sudah bisa berbagi listrik ke tetangga, tapi saya dengar mesti izin dari PLN,” katanya.
Namun karena proses izin yang terbilang panjang, mulai dari mengisi sejumlah formulir dari Kementerian Energi Sumber Daya Mineral dan PLN. Antara lain berisi tentang berapa daya pemasangan, kualitas rangka bangunan rumah, lokasi pemasangan, hingga memastikan pengecekan perolehan kuota, Bli Gusti mengurungkan niatnya.
“Proses perizinan agak ribet. Ada syarat perizinan ada ESDM yang juga butuh approval. Setelah itu akan di tinjau lokasi. Setelah ESDM selanjutnya pihak PLN melakukan hal serupa. Setelahnya masuk tes masalah teknis. Jadi berbelit-belit urusannya jadi panjang,” dia menceritakan pengalamannya saat mengurus izin.
“Padahal saya mau kasih gratis, tapi ya ada rasa takut,” Bli Gusti menambahkan.

Proses izin yang dimaksud Murgayasa merujuk pada Peraturan Menteri ESDM Nomor 2 Tahun 2024 tentang PLTS Atap yang Terhubung pada Jaringan Tenaga Listrik Pemegang Izin Usaha Penyediaan Tenaga Listrik untuk Kepentingan Umum (IUPTLU). Belied bagian kedua terkait dengan kuota pengembangan sistem PLTS Atap, pasal 7 disebutkan pemegang IUPTLU wajib menyusun kuota pengembangan sistem PLTS Atap. Penyusunan itu menyesuaikan arah kebijakan energi nasional. Belied itu juga mengamanatkan agar PLN menyusun kuota pengembangan PLTS Atap.
Lalu Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menerbitkan Keputusan Dirjen Ketenagalistrikan Nomor 279.k/TL.03/DJL.2/2024 tentang Kuota Pengembangan Sistem PLTS Atap PLN Tahun 2024-2028. Pada surat itu juga tercantum penetapan kuota pengembangan sistem PLTS Atap PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) Tahun 2024 sampai dengan Tahun 2028 yang selanjutnya disebut Kuota PLTS Atap PLN 2024 s/d 2028 sebagaimana tercantum dalam Lampiran yang merupakan bagian tidak terpisahkan dari Keputusan Direktur Jenderal ini.
“PLN agar menyusun kuota pengembangan Sistem PLTS Atap berdasarkan clustering dengan mengacu pada Kuota PLTS Atap PLN 2024 s/d 2028 sebagaimana dimaksud dalam diktum kesatu,” terang Diktum Kedua beleid baru yang diteken Dirjen Ketenagalistrikan pada 27 Mei 2024.
Pemerintah juga meminta agar PLN melaporkan dan menyampaikan kuota dan penggunaan kuota yang digunakan oleh IUPTUL kepada ESDM 10 hari sejak keputusan pemberian kuota diberikan. “PLN wajib menyampaikan laporan penggunaan sistem PLTS Atap untuk setiap golongan tarif pada masing-masing wilayah sistem tenaga listrik kepada Direktur Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi dengan tembusan kepada Direktur Jenderal Ketenagalistrikan secara berkala setiap bulan,” seperti dikutip.
Berdasarkan kuota pengembangan sistem PLTS Atap PLN periode 2024-2028, wilayah Jawa, Madura, dan Bali (Jamali) memperoleh 825,0 Megawatt pada 2024, 900 megawatt (2025), 910 Megawatt (2026), 1010 Megawatt (2027), dan 1400 Megawatt (2028). PLN tidak merinci berapa kuota yang telah terpakai di wilayah Jamali.
Terkait dengan sistem kuota ini, menurut Bli Gusti, seharusnya tidak diterapkan kepada semua masyarakat. Level komunitas hingga tingkat usaha mikro kecil dan menengah (UMKM) semestinya tidak dibebani aturan pembatasan dan perizinan kuota PLTS atap tersebut. “Kalau skala kecil tidak perlu kuota. Mestinya dengan skala yang mencapai 2-6 atau puluhan megawatt yang disasar kuota ini,” ia menilai.
Kondisi berbeda dialami Indonesia Corruption Watch (ICW). Organisasi nonprofit ini mengaku telah mengurus semua izin pemasangan on-grid dengan kapasitas 28 Kwh sejak 2022 lalu. “Saat itu vendor yang kami punya sudah menawarkan untuk mengurus perizinan dengan PLN. Pemasangan lalu uji coba,” ujar Sigit Wijaya menceritakan proses pemasangan panel surya di kantor yang terletak di bilangan Kalibata, Jakarta Selatan kepada Jaring.id pada Senin, 16 Juni 2025.
ICW sedikitnya membutuhkan waktu sekitar 2-3 bulan untuk mengurus izin on-grid tersebut. Ini karena, menurut Sigit, proses perizinan PLTS terbilang mudah karena dilakukan sebelum penerapan kuota pada 2024 lalu. “Baru aktivasi tahun 2023 awal,” ucap dia.
Dengan memasang panel surya tersebut saat ini ICW berhasil menekan biaya operasional kantor. Sebelum memasang solar panel, ICW dikenai biaya tagihan listrik mencapai sekitar Rp 3 juta per bulan. Namun setelah menggunakan panel surya menjadi hanya Rp 1,7 juta perbulannya. “Biaya cukup menguntungkan karena tidak membebani penggunaan fleksibel kalau maksimal matahari bisa pakai itu, kalau malam hari bisa pakai PLN. Jadi pembiayaan lebih murah nggak membebani operasional kantor,” kata Jaya.
Hal yang sama dirasakan warga Kasepuhan Ada Gelaralam—dulu disebut Ciptagelar, di Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat. Listrik murah sudah dirasakan komunitas adat ini sejak lama lantaran mereka memanfaatkan arus sungai untuk menghidupkan Pembangkit Listrik Tenaga Mikro Hidro (PLTMh) dan panel surya. “PLTMh jauh lebih murah. Kalau pakai PLN nggak bisa nunggak. Pakai turbin mah bisa nunggak. Ada yang sudah setahun nggak diputus,” kelakar Ana, warga Desa Sirnaresmi yang masuk wilayah Kasepuhan Gelaralam.
Sampai saat ini, ada sejumlah turbin yang tersebar di wilayah kasepuhan, di antaranya PLTMh berkapasitas 50 kVa yang dibangun oleh Pemerintah Jawa Barat pada 2006-2012 dan PLTMh Cibadak, juga Ciptagelar pada 2013-2014. Semua turbin ini memanfaatkan aliran Sungai Cisono. “PLTMh di Ciptagelar ini bisa menerangi sedikitnya 105 rumah,” kata dia menunjuk salah satu turbin di Ciptagelar.
Sementara itu, perusahaan yang bergelut pada bidang pemasangan PLTS Atap, Xurya menyoroti perubahan regulasi dalam program transisi energi di Indonesia. Salah satu yang disoroti adalah target bauran energi terbarukan yang lebih rendah ketimbang tahun lalu. Hal itu, menurut Senior Public Relation Spesialis Xurya, Bella Sakinah, sangat berpotensi mengganggu iklim investasi. Terlebih bisnis PLTS ini merupakan jangka panjang. “Kami harapkan regulasi yang stabil dan eksekusinya konsisten. Ketidakpastian regulasi jadi tantangan,” kata Bella melalui wawancara daring Zoom pada Rabu, 25 Juni 2025.
Hingga Maret 2025 ini Xurya sedikitnya telah menjalin kerjasama dengan 100 perusahaan di 209 lokasi operasi pemasangan PLTS Atap. Produksi energi yang telah dihasilkan dapat mencapai 168 juta Kwh per tahun. “Saat ini banyak ketertarikan dan demand masyarakat. Jadi ini potensinya banyak dan bisa dieksplorasi,” ungkapnya.
Target Bauran EBT Turun Terus
Apa yang dilakukan I Gusti Ngurah Murgayasa di Bali, ICW di Jakarta, dan masyarakat adat Gelaralam di Kabupaten Sukabumi, termasuk masyarakat di daerah lain yang sudah mempelopori kemandirian energi adalah sedikit dari inisiatif baik yang seharusnya sudah bisa berkembang pesat di Indonesia. Namun, proses percepatan terhadap bauran energi yang juga dicanangkan pemerintah ini masih menemui sejumlah kendala.
Bahkan Indonesia tak mampu mencapai target bauran energi terbarukan sebesar 23 persen yang ditetapkan melalui Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2014 tentang Kebijakan Energi Nasional dan Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2021-2030 pada 2025. Alih-alih mengejar target tersebut, pemerintah malah merevisi target bauran energi menjadi 17 persen dalam RUPTL 2025-2034.
Penurunan target tersebut sebetulnya tak sesuai dengan Enhanced National Determined Contribution (ENDC)—komitmen yang dibuat negara-negara dalam Paris Agreement, untuk mengurangi emisi gas rumah kaca (GRK) dan beradaptasi dengan dampak perubahan iklim. Sebelumnya, Indonesia memiliki target pengurangan emisi karbon, yaitu mencapai Net Zero Emission pada 2060 atau lebih cepat. Target ini juga termasuk penurunan emisi gas rumah kaca (GRK) sebesar 29% secara mandiri dan 41% dengan dukungan internasional pada 2030.
Dalam hal ini Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) telah mewanti-wanti agar Kementerian Energi Sumber Daya Mineral (ESDM) dan PLN memperbaiki tata kelola kelistrikan dan penerapan energi baru terbarukan. Laporan Ikhtisar Hasil Pemeriksaan Semester (IHPS) II 2024 mencatat sejumlah persoalan dalam transisi energi, seperti pendanaan transisi energi antara PT PLN dan Kementerian ESDM yang belum selaras, sehingga mengakibatkan beban negara bertambah sebesar Rp 498 triliun pada 2025-2040.
BPK juga menyimpulkan bahwa pengelolaan transisi energi yang tertuang dalam RUPTL belum didukung strategi pendanaan yang memadai, mulai dari perbedaan target penambahan kapasitas pembangkit dan skema sistem kelistrikan. Itu sebab, BPK merekomendasikan agar ESDM dan PLN menyusun strategi RUPTL dengan pendanaan yang komprehensif. “Jika tidak didukung strategi pendanaan yang baik, maka beban subsidi dan kompensasi listrik bisa mencapai Rp 489 triliun pada 2025-2040,” tulis BPK dalam IHPS dikutip pada, Jumat, 20 Juni 2025.
Alih-alih memperbaiki tata kelola penerapan energi terbarukan, pemerintah Indonesia memilih menurunkan target bauran energi terbarukan menjadi 17 Gigawatt atau turun sekitar 2,3 Gigawatt dari RUPTL 2021-2030 yang ditarget sebesar 20,9. Peneliti utama Centre for Research on Energy and Clean Air (CREA), Lauri Myllyvirta melihat penurunan tersebut sebagai sebuah kemunduran.
“Alih-alih mempercepat pergeseran menuju penggunaan optimal potensi energi terbarukan Indonesia yang sangat besar, rencana terbaru justru berisiko mengarahkan jaringan listrik nasional lebih bergantung pada bahan bakar fosil,” ucap Lauri dalam keterangannya, Senin 16 Juni 2025.
Berdasarkan RUPTL terbaru, menurut CREA, tenaga listrik berbahan bakar fosil dan gas nasional akan meningkat hingga 40 persen dari 286 terawatt hour (TWh) pada 2024 menjadi 406 TWh di 2034. “Terkait kapasitas pembangkitan, rencana baru mengusulkan penambahan 16,6 GW tenaga fosil baru hingga tahun 2034, memperdalam ketergantungan pada bahan bakar fosil,” ujarnya.
Menanggapi hal itu, Direktur Jenderal Energi Baru Terbarukan, dan Konservasi Energi (EBTKE), Eniya Listiani Dewi menyebut bahwa pemerintah masih tetap berkomitmen untuk mengurangi ketergantungan pada energi fosil dan beralih ke energi baru terbarukan. Dalam hal ini, Kementerian ESDM juga masih memegang Perjanjian Paris dan Astacita Prabowo yang mengamanatkan ketahanan, kemandirian, dan swasembada energi. Indikator penerapannya akan merujuk pada ketersediaan energi, akses energi, keterjangkauan, dan ramah lingkungan.
“Beberapa tantangan pengembangan EBT antara lain keekonomian dan pendanaan, teknologi, keseimbangan supply & demand, kesimbangan infrastruktur transimisi, sinergi penggunaan lahan, serta aspek sosial masyarakat,” kata Eniya pada paparan yang disampaikan di kegiatan Institut Harkat Negeri yang bekerjasama dengan Paramadina Public Policy Institute dan Universitas Paramadina pada topik “Mengelola Transisi Energi: Mengapa Indonesia Selalu Tertinggal?” yang berlangsung di Auditorium Benny Subianto, Universitas Paramadina, Pada Rabu, 18 Juni 2025.
Di samping itu, rencana pemerintah menyuntik mati Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU), terutama yang berbahan bakar batu bara, secara bertahap pun masih tetap berlanjut. Setelah berencana menutup PLTU Suralaya, pemerintah mengklaim akan menutup PLTU Cirebon I pada 2032 mendatang. Sebagai gantinya adalah pembangkit listrik tenaga panas bumi di 31 titik.
Pemerintah juga berencana untuk memproduksi hidrogen dengan memanfaatkan gas metana. Hidrogen dan amonia ini, menurutnya, termasuk energi baru terbarukan dalam RUPTL dan Rencana Umum Ketenagalistrikan Negara (RKUN).
Kendati demikian, Eniya mengungkapkan bahwa masih ada sejumlah masalah dalam peralihan ke EBT. “EBT ini punya banyak resources, tapi ditentang. EBT dinilai menyelesaikan permasalahan dan menumbuhkan perekonomian tetapi mendapat penentangan yang sangat massif. Satu tantangannya ialah isu sosial pengembangan panas bumi geothermal,” terangnya.
“RUPTL khusus PLN yang sudah sangat komit menghadirkan energi baru terbarukan. Total Penambahan Pembangkit 69,5 GW. Selama 10 tahun kedepan Indonesia butuh 760 ribu Green Jobs dalam RUPTL terbaru ada laut dan nuklir,” ia menambahkan.
Jaring.id telah mencoba menghubungi Executive Vice President Komunikasi Korporat PLN, Gregorius Adi Trianto melalui telepon dan pesan Whatsapp pada Senin, 23 Juni 2025 guna mengkonfirmasi sejumlah hal, namun hingga laporan ini tayang tak ada tanggapan yang diberikan.
Ekonom dari Center of Economic and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira menilai RUPTL dan Astacita Prabowo tak dapat menjawab persoalan ketahanan, kemandirian, dan swasembada energi di Indonesia. Penggunaan bahan bakar fosil maupun gas untuk pembangkit listrik justru akan menimbulkan masalah baru pada ketahanan energi ketika gas yang digunakan habis. “Kondisi itu akan membikin negara akan melakukan impor energi,” ungkap dia.
Sementara dengan tidak menutup seluruh PLTU, dampak akibat polutan yang ditanggung masyarakat akan tetap tinggi. “Justru seharusnya pada 2025 tak perlu lagi menggunakan batubara. Masalah energi hanya menjadi isu elit karena bahasa yang sangat teknis dan hitung-hitungan sangat teknis dan pembangunan energi tidak sesuai lokasi serta keadaan wilayah tersebut. Selain itu Energi adalah hak sesuai kebutuhan bagi masyarakat dan negara memfasilitasi tetapi seharusnya negara tidak memonopoli hak, pengetahuan, modal, teknis, dan transmisi itu yang menjadi persoalan,” ungkap Bhima menanggapi pernyataan pemerintah di forum yang sama, Rabu 18 Juni 2025.
Untuk mewujudkan percepatan transisi energi, menurut pengamat ekonomi Universitas Paramadina, Wijayanto Samirin, pemerintah harus memberikan pajak 0 persen untuk semua penerapan energi terbarukan, memproduksi solar panel, maupun komunitas yang mendukung penerapan energi baru terbarukan. Ketika itu dijalankan, dia optimistis percepatan transisi energi akan berjalan sesuai RUPTL.
”Masyarakat jadinya akan memasang solar panel sendiri. Demokratisasi EBT harus dibikin secara inklusif. Semua faktor produksi EBT pajaknya kalau bisa 0 persen. Akibatnya solar akan terjangkau. Apalagi ada proses net metering apa yang diserap mengurangi listrik yang dipasang PLN. Kalau ini demokratis pengembangannya akan cepat. Selama ini PLN monopoli semua. Senjatanya ada di policy akibatnya tak berkembang cepat,” pungkasnya.