Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang memangkas prosedur verifikasi partai politik peserta pemilu berisiko mereduksi kualitas partai politik. Sebab saat ini Komisi Pemilihan Umum (KPU) tidak lagi dapat memverifikasi kelengkapan pengurus dan keanggotaan secara faktual hingga ke daerah. Padahal menurut peneliti pemilu dari Network for Democracy and Electoral Integrity (Netgrit), Hadar Nafis Gumay, prosedur verifikasi parpol sebelumnya berguna untuk memastikan kualitas parpol. Parpol yang berkualitas, kata dia, bisa dinilai dari dukungan kepengurusan dan keanggotaan yang lengkap.
“Kalau tidak diverifikasi faktual kita hanya mengandalkan dokumen yang hanya diasumsikan benar adanya. Padahal belum tentu. Dokumen bisa benar ada, tapi faktanya belum tentu. Itu yang tidak bisa dibuktikan,” kata Hadar saat dihubungi Jaring.id, Jumat, 7 Mei 2021.
Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 55/PUU-XVIII/2020 terkait Pengujian Materil Pasal 173 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum terhadap Undang-Undang Dasar 1945 telah mengubah prosedur verifikasi partai politik (parpol) peserta pemilu. Jika sebelumnya semua parpol wajib diverifikasi secara administrasi dan faktual, kini tidak semua parpol mengikuti dua jenis verifikasi itu. Parpol yang telah lolos ambang batas parlemen hanya perlu mengikuti verifikasi administrasi. Sementara verifikasi administrasi dan faktual hanya berlaku bagi parpol yang tidak lolos ambang batas, parpol baru, termasuk parpol yang hanya punya keterwakilan di tingkat Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
Hadar menilai putusan MK soal verifikasi parpol tersebut tidak konsisten. Sebab MK pada putusan Nomor 53/PUU-XV/2017 sebelumnya pernah menyatakan kalau semua calon peserta pemilu harus diverifikasi secara faktual. “MK tidak lagi melihat peserta pemilu akan dicek ulang, baik partai yang ikut pemilu atau sudah ada di parlemen,” ujarnya.
Oleh karena itu, Hadar mewanti-wanti KPU bekerja lebih teliti dan mendalam terutama terhadap parpol yang hanya diperiksa secara administratif. Sebab apa yang ditunjukan dokumen belum tentu merepresentasikan kenyataan di lapangan. Hadar berharap KPU juga lebih transparan memberikan ruang partisipasi publik agar dapat turut mengecek dokumen yang telah diserahkan oleh parpol. “KPU mesti mengikuti aturan, tetapi harus maksimal memverifikasi secara administratif. Bekerja maksimal dengan alat ukur itu,” kata dia.
Sementara Direktur Eksekutif Pekumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Khoirunnisa Nur Agustyati menilai MK telah mengesampingkan kondisi dinamis yang dialami masing-masing parpol. “Supaya fair memang semua peserta pemilu harus sama startnya. Karena ada kondisi-kondisi yang dinamis. Misal ada daerah pemekaran dan keanggotaan yang dinamis,” ujar Khoirunnisa seperti dikutip dari situs Perludem.org.
Wakil Ketua Umum (Waketum) Dewan Pengurus Pusat (DPP) Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Jazilul Fawaid atau Gus Jazil menilai keputusan MK sangat bijak. “Jika parpol yang dinyatakan lolos ambang batas parlemen harus dilakukan verifikasi faktual, maka akan memakan anggaran yang tidak sedikit. Kalau harus verifikasi faktual lagi, itu uang negara memang dibuat begituan? Budget keluar. Dan beberapa tahun terbukti parpol yang lolos PT itu sudah pasti lolos verifikasi,” katanya dilansir dari laman resmi PKB, Jumat, 7 Mei 2021.
Menurutnya, Komisi Pemilihan Umum (KPU) cukup menanyakan kepada parpol masing-masing mengenai daftar pengurusnya. “Kalau harus verifikasi faktual lagi, itu nyari kerjaan. Makanya bijaksana putusan MK itu bagi partai yang sudah lolos PT tak lagi ada verifikasi faktual, hanya administrasi,” katanya.
Sebelumnya, MK mengabulkan sebagian uji materi yang diajukan Partai Gerakan Perubahan Indonesia (Partai Garuda) terkait verifikasi partai politik calon peserta pemilu. Partai ini meminta agar MK memaknai ulang Pasal 173 ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu. Partai yang diketuai Ahmad Ridha Sabana itu meminta MK memastikan partai yang telah lolos verifikasi menjadi peserta pemilu tidak perlu lagi mengikuti verifikasi KPU pada pemilu berikutnya. “Mengadili permohonan pemohon untuk sebagian,” kata Ketua MK Anwar Usman membacakan putusan, Selasa, 4 Mei 2021.
Menurut Mahkamah, partai politik yang telah lulus verifikasi Pemilu 2019 dan lolos memenuhi ketentuan ambang batas parlemen (parliamentary threshold) pada Pemilu 2019 hanya diverifikasi secara administrasi. Sedangkan parpol yang tidak lolos ambang batas parlemen serta partai yang hanya memiliki keterwakilan di tingkat DPRD provinsi/kabupaten/kota mesti diverifikasi kembali, baik secara administrasi maupun faktual. “Hal tersebut sama dengan ketentuan yang berlaku terhadap partai politik baru,” ujar Anwar.
Dalam menentukan perkara ini, suara hakim MK tidak bulat. Ada tiga hakim yang menyatakan pendapat berbeda (dissenting opinion), yakni Saldi Isra, Suhartoyo dan Enny Nurbaningsih. Saldi menilai permohonan pemohon hendak mendelegitimasi putusan MK sebelumnya, yakni Nomor 53 Tahun 2017 tentang Pengujian Undang-Undang Pemilu. Dalam putusan itu, MK menyatakan parpol calon peserta pemilu harus mengikuti verifikasi untuk menyederhanakan jumlah partai politik peserta pemilu. Menurut Saldi, putusan tersebut merupakan bagian dari usaha memperkuat sistem pemerintahan presidensial. “Seharusnya Mahkamah tidak menghapus keharusan verifikasi partai politik yang hendak menjadi peserta pemilu,” kata Saldi
Alasan ini lah yang digunakan pemohon untuk mendalilkan uji ulang Pasal 173 (1) UU Pemilu. Menurut Partai Garuda, tujuan untuk menekan jumlah parpol tidak lagi relevan karena saat ini lantaran parpol peserta pemilu lalu lebih banyak ketimbang pemilu 2014.
Namun menurut Saldi, proses verifikasi berguna untuk memastikan kinerja partai politik hingga tingkat daerah. “Verifikasi dapat memperkuat persiapan partai partai politik untuk menjadi peserta pemilu,” ujar Saldi. Selain itu, menurut Saldi, partai politik calon peserta pemilu harusnya diperlakukan setara. “Segala bentuk pembedaan yang menyebabkan unfairness mesti dieliminasi,” tegasnya.