Presiden Joko Widodo mengesahkan Peraturan Pemerintah Nomor 70 Tahun 2020 tentang Tata Cara Pelaksanaan Kebiri Kimia, Pemasangan Alat Pendeteksi Elektronik, Rehabilitasi dan Pengumuman Identitas Pelaku Kekerasan Seksual terhadap Anak pada Minggu, 3 Januari 2021. Aturan tersebut merupakan turunan dari Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas Undang-undang Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
Komisi Nasional Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) menilai peraturan tersebut bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 dan Undang-Undang Nomor 5 tahun 1998 tentang Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi atau Merendahkan Martabat Manusia. Ketua Komnas Perempuan, Andy Yentriyani mengatakan penerbitan PP 70/2020 menunjukkan bahwa pemerintah belum berpihak pada penyintas kekerasan seksual anak. Pasal yang terkandung dalam PP tersebut lebih menyoroti penindakan terhadap pelaku. Padahal, menurutnya, pemerintah harusnya fokus pada pencegahan, seperti memberikan keadilan melalui jaminan hukum, rumah aman, pemulihan dan pendampingan psikososial.
Dalam wawancara sepanjang 45 menit, Andy mendorong agar pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) segera mengesahkan Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual yang mangkrak sejak 2017. Berikut petikaan wawancara Jaring.id yang dilakukan melalui sambungan telepon pada Senin, 4 Januari 2020.
Bagaimana tanggapan Anda terhadap penerbitan Peraturan Pemerintah Nomor 70 Tahun 2020?
Sebetulnya posisi Komnas Perempuan sama sejak pengesahan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Kami berperdapat langkah tersebut kurang tepat jika ditujukan menghapus kekerasan seksual anak. Aturan yang baru disahkan memiliki potensi melanggar hak-hak warga yang telah dijamin konstitusi.
Hal tersebut ini tidak sesuai dengan semangat Undang-Undang Nomor 5 tahun 1998 tentang konvensi menentang penyiksaan dan perlakuan atau penghukuman lain yang kejam, tidak manusiawi, atau merendahkan martabat manusia. Menghukum itu bukan membalas dendam, melainkan untuk menawarkan keadilan bagi korban sekaligus memastikan terpidana memahami dan mengoreksi tindakannya. Itu mengapa ada pengubahan nama dari penjara ke lembaga pemasyarakat (Lapas). Sebab ada upaya untuk melakukan reedukasi terhadap terpidana. Kami paham aturan tersebut dibuat untuk memperbaiki sistem pencegahan kekerasan seksual. Namun persoalannya kekerasan seksual tidak hanya soal libido. Ada relasi kekuasaan yang timpang, sehingga mengakibatkan kekerasan tersebut terjadi. Kami berpendapat kontrol terhadap libido melalui kebiri kimia tidak cukup mencegah kekerasan seksual.
Mengapa tidak cukup?
Kekerasan seksual khusus perkosaan tidak hanya penetrasi penis ke vagina. Ada banyak praktik perkosaan, akan tetapi tidak dikenali oleh hukum di Indonesia. Kami melihat selama ini penegakkan hukum terhadap pelaku dan pemulihan penyintas belum optimal. Aturan yang baru disahkan hanya menyoroti hukuman yang ada di hilir, namun masih luput dengan masalah yang ada di hulu. Laporan kasus kekerasan seksual terkhusus perkosaan yang diterima Komnas Perempuan rentan waktu 2016-2019 hanya sekitar 30 persen yang diproses di pengadilan.
Apa yang menyebabkan hal itu?
Karena budaya kita masih menyalahkan korban. Mereka dituduh turut memicu kekerasan, seperti penampilan, cara berpakaian dan pergaulan. Selain itu proses hukum juga selalu dikaitkan dengan ketidakcukupan bukti. Sementara biaya visum maupun tes asam deoksiribonukleat (DNA) untuk mendapatkan akses gratis masih sulit didapat korban. Ada persoalan perspektif dan kapasitas termasuk bantuan hukum yang belum clear di mata penegak hukum dan pemerintah. Kita juga menyadari masih lemahnya rumah aman dan mekanisme perlindungan yang dijamin oleh negara. Dari itu, kami berpendapat aturan PP Nomor 70 Tahun 2020 hanya memberikan perhatian besar di hilir. Ini hanya proses simbolik dalam melakukan penghukuman. Hal ini dapat mendistraksi perhatian di hulu yakni proses pemulihan dan proses pendampingan hukum terhadap korban.
Jadi peraturan tersebut belum memberikan porsi yang besar terhadap penyintas?
Iya betul. Kita harus mencari keseimbangan antara pemidanaan pelaku dan pemulihan korban. Kami melihat aturanya tidak ada korelasi ke korban. Simboliknya hanya ke pelaku semata. Padahal yang mesti diperhatikan adalah pemulihan korban. Ini yang paling kurang peraturannya. Bahkan terpidana dihukum mati tidak sama dengan proses pemulihan korban atau menyelesaikan masalah korban. Kalau melihat prioritasnya dan optimalisasi hukum yang ada, kami menilai belum sampai ke tahapan itu. Untuk akses pengadilan saja sulit bagi korban, mulai visum, tes DNA, rumah aman belum berjalan maskimal. Menurut kami harusnya perhatian dialihkan akses korban meraih keadilan dan optimalisasi hukuman yang telah ada.
Pemerintah melanggar HAM dengan mengesahkan peraturan pemerintah tersebut?
Ini persoalan pelik. Banyak negara menghadapi kontroversi dengan membuat kebijakan kebiri. Beberapa negara lebih banyak menempatkan kebiri bukan sebagai hukuman tapi treatment atau pengobatan untuk memastikan kasus tidak berulang. Sementara di Indonesia berdasarkan aturan baru, kebiri merupakan hukuman tambahahan rentan 2 tahun setelah hukuman awal diselesaikan.
Dengan kebiri, pemasangan alat deteksi, rehabilitasi dan pengumuman identitas apakah akan menjamin kasus kekerasan seksual anak tidak berulang?
Sulit kami mengandaikannya. Kami belum menemukan data cukup apakah PP dapat mengurangi residivisme kekerasan seksual. Banyak kasus yang kami pelajari bahwa pelaku dengan gampang kembali memiliki hasrat setelah treatment kebiri tidak dilanjutkan.
Apakah ada cara yang tepat menghukum pelaku sekaligus dapat menghentikan kekerasan seksual?
Kami mencari tahu data pendukung di negara lain untuk melihat efektifitas pelaksanaan kebiri kimia ini. Kebiri baru efektif jika diinginkan oleh pelaku secara sukarela, ada kesepakatan. Tidak hanya itu, ada juga proses bimbingan psikologis yang dapat memberikan pemahaman perihal efek samping dari kebiri kimia. Satu hal yang juga penting, pelaku dapat meneguhkan komitmenya untuk tidak melakukan kekerasan seksual kembali. Ketika itu dilakukan secara sukarela dari terpidana, maka ia ikut menjalankan program treatment. Hal tersebut memiliki potensi kebiri kimia menjadi berhasil. Beberapa negara sebelum melakukan kebiri terhadap pelaku diwajibakan mendapat persetujuan dan memberikan pengetahuan kepada pelaku. Jadi pelaku harus paham apa yang akan dirasakan, bukan karena tekanan.
Selain itu, kalau lihat negara lain, ada salah satu keberhasilan untuk mencegah keberulangan kekerasan seksual, yakni dengan melakukan tracking menggunakan Global Positioning System (GPS). Ini tidak mengakibatkan gangguan kesehatan dan dapat dimonitor. Tapi yang perlu diperhatikan adalah penyimpanan database.
Harus ada infrastruktur tracking dengan tujuan pencegahan. Di beberapa negara sudah memastikan pelaku kekerasan seksual tidak diperbolehkan melakukan aktivitas di ruang publik, wilayah anak dan tidak diperbolehkan bekerja di instansi yang mengurus soal anak. Masalahnya Indonesia masih lemah dalam hal data. Kita melihat, seperti bantuan sosial dan pilkada saja datanya amburadul. Kalau tidak ada data yang pasti, sulit menangani kasus kekerasan seksual. Lalu, pemerintah maupun aparat penegak hukum juga harus berhati-hati pada saat mengumumkan identitas pelaku, sebab hal tersebut merupakan data pribadi.
Terlebih bila merujuk data Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Anak (Kemen PPPA) sepanjang Januari-Desember 2020 di mana terdapat lebih dari 4000 kasus kekerasan terhadap anak?
Kami mendorong penyelesaikan secara sistemik agar segera dilakukan. Kami setuju ini situasi yang harus segara diatasi. Dari itu kami mendorong pengesahan Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS).
Apakah Komnas Perempuan dilibatkan dalam proses pembuatan peraturan tersebut?
Dari awal Komnas Perempuan menentang. Itu dimulai sejak Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas Undang-undang Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak disahkan. Bagi kami ini agak sulit ketika dijadikan mandatori, terlebih sanksinya dilakukan oleh hakim yang menentukan setuju atau tidak setuju. Selain itu, praktik kebiri juga akan menjadi pergulatan di kedokteran yang menjadi pelaksana. Seperti yang kita tahu pengobatan itu tidak boleh mengakibatkan dampak kesehatan yang tidak dikenali oleh pelaku.
Apa yang perlu diperhatikan ketika menyusun aturan teknis pelaksanaan?
Kalau saya boleh melakukan analogi, nasi sudah menjadi bubur maka tidak bisa dibalikin menjadi nasi. Ketika sudah rusak tidak semua barang bisa diperbaiki. Ini sulit bagi kami ketika ditanyakan rekomendasi bagaimana kementerian teknis menyikapi ini. Bagi kami yang terpenting adalah kemauan dan kesukarelaan, dan pemberian pengetahuan utuh tentang kebiri kepada pelaku. Selain itu memberikan pendampingan psikologis selama proses kebiri dilakukan.
Tentu saja yang paling utama adalah dapat memastikan akses korban dalam proses hukum dan pemulihan. Dana untuk visum, tes DNA, maupun pemberian rumah aman masih terkait dengan kementerian tersebut. Kalau dana untuk kebiri kimia disediakan, ya sediakan juga pelayanan dan aksebilitas untuk penyintas dan proses pendampingan psikososialnya sampai pulih.