Ketika Warga Tuntut Ganti Rugi Korupsi Bansos

Senin, 21 Juni 2021, untuk pertama kalinya korban tindak pidana korupsi mengajukan gugatan ganti rugi. Mereka yang mengajukan ialah 18 korban korupsi bantuan sosial pada masa pandemi Covid-19. Tapi alih-alih dapat melekatkan gugatan ganti rugi pada perkara korupsi yang menjerat mantan Menteri Sosial sekaligus politisi PDI Perjuangan, Juliari Batubara, Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) menolak gugatan warga. Para hakim mengklaim gugatan tersebut salah alamat. Gugatan, kata hakim, harusnya disampaikan ke Pengadilan Jakarta Selatan sesuai dengan domisili Juliari. 

Tak puas dengan penolakan tersebut, Eny Rohayati bersama belasan korban bantuan sosial lain melayangkan kasasi pada Senin, 26 Juli 2021. Perempuan asal Penjaringan, Jakarta Utara ini menuntut ganti rugi, sekaligus meminta majelis agar menghukum berat Juliari. “Kita tetap semangat gugat supaya ada efek jera. Paling tidak sanksi sosial. Agar ada pertanggungjawaban moral bahwa Juliari melakukan tindakan kejahatan terhadap warga,” kata Eny kepada Jaring.id melalui telepon, Kamis, 29 Juli 2021.  

Dalam gugatan ini para korban korupsi bansos meminta ganti rugi sebesar Rp 16.200.000. Jumlah itu setara dengan paket sembako bansos berupa beras, minyak goreng, kornet, sarden, mie instan, teh celup, kecap manis, sambal botol, sabun mandi, susu senilai Rp 300 ribu bagi masing-masing orang. “Kok ada yang tega korupsi, sehingga kualitas dan kuantitas bansos tidak layak kami makan,” ucapnya.

Sementara Mustaghfirin, korban bansos lainnya, mengungkapkan betapa pentingnya bantuan dari pemerintah itu selama pandemi Covid.19. Sebab pria yang berprofesi sebagai nelayan ini tak lagi beroleh pendapatan. Hasil tangkapannya kerap kali tak laku di pasar karena kebijakan pembatasan sosial. Sampai saat ini, ia mengaku masih tak menyangka ada menteri yang tega menyunat bansos di tengah pagebluk. “Ini harus diproses. Ini masalah besar karena menyakiti hak warga,” ujar Mustaghfirin kepada Jaring.id, Selasa, 27 Juli 2021.

Ia berharap hakim yang menangani perkara kasasi dapat mengabulkan tuntutan warga. Para hakim, menurutnya, perlu juga mengungkap persekongkolan yang dilakukan Juliari dan pihak lain dalam kasus korupsi banson. “Kasian rakyat menjerit. Kami pasrah sambil berdoa dengan kondisi pandemi. Saya harap uangnya (hasil korupsi) dikembalikan kepada masyarakat,” kata dia.

Gugatan ganti rugi yang dilayangkan korban bansos sesuai dengan Pasal 28 ayat (1) KUHAP. Aturan ini membuka peluang bagi korban untuk melekatkan perkara berupa gugatan ganti rugi kepada perkara pidana. “Jika suatu perbuatan yang menjadi dasar dakwaan di dalam suatu pemeriksaan perkara pidana oleh pengadilan negeri menimbulkan kerugian bagi orang lain, maka hakim ketua sidang atas permintaan orang itu dapat menetapkan untuk menggabungkan perkara gugatan ganti kerugian kepada perkara pidana itu,” demikian tertera dalam KUHAP.

Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW), Kurnia Ramadhan yang tergabung dalam tim advokasi korban korupsi bansos menilai putusan Majelis Hakim Tipikor keliru. Sebab perkara pokok yang menjerat Juliari tidak disidangkan di Pengadilan Jakarta Selatan, melainkan Pengadilan Tipikor. “Ada salah hukum menyikapi Pasal 98 KUHAP,” kata Kurnia Jaring.id. Selasa 26 Juli 2021. Baik Pasal 98 KUHAP maupun Pasal 35 dalam konvensi united nations convention against corruption (UNCAC), menurutnya, dapat dijadikan acuan bagi hakim Tipikor untuk menggabungkan suatu perkara yang terkait dengan kasus korupsi politikus Partai Demokrasi Indonesia (PDI) Perjuangan.

Advokasi korban ini penting karena praktik penegakan hukum masih fokus pada konteks negara dan juga pelaku, tapi tidak memikirkan korban kejahatan,” ujarnya.

Menanggapi gugatan korban bansos, kuasa hukum Juliari Batubara, Maqdir Ismail mempertanyakan motif gugatan tersebut. Ia mengklaim gugatan ganti rugi bansos tidak layak ditindaklanjuti kembali karena tidak berhubungan langsung dengan korupsi pengadaan paket bansos yang melibatkan bekas menteri sosial. “Dalam hal ini, apa perbuatan Pak Juliari yang merugikan mereka? Saya khawatir ini sekedar bikin ribut-ribut saja,” kata Maqdir kepada Jaring.id melalui telepon, Kamis, 29 Juli 2021.

Sebelumnya, Juliari dituntut hukuman 11 tahun penjara dan denda Rp 500 juta subsider 6 bulan pidana tambahan dan uang pengganti sebesar Rp 14,55 miliar. Juliari dinilai terbukti menerima suap Rp 32,2 miliar dari korupsi bansos. Uang sebesar itu ditilap Juliari dari pengusaha Harry Van Sidabukke sebesar Rp 1,28 miliar; Ardian Iskandar Maddanatja senilai Rp 1,9 miliar. Sedangkan Rp 29,2 miliar dari beberapa perusahaan penyedia barang sembako bansos Covid-19.

Dalam tuntutannya, jaksa menyatakan bahwa Juliari membagi jumlah alokasi kuota 1,9 juta paket bansos ke beberapa kelompok penyedia. Antara lain Herman Hery dan Ivo Wongkaren sebanyak 1 juta paket, sebanyak 400 untuk grup Ihsan Yunus, Imam Ikram dan Agustri Yogasmara, 300 ribu paket untuk Bina Lingkungan, dan 200 ribu kuota untuk Juliari sendiri. Adapun penyidik KPK yang mengungkap kasus ini adalah Praswad Nugraha dan Muhammad Nur Prayoga. Tapi belakangan keduanya dianggap melanggar Pasal 6 ayat 2 (b) Peraturan Dewan Pengawasan KPK Nomor 2 tahun 2020 tentang Kode Etik dan Pedoman Perilaku lantaran melakukan kekerasan verbal atau intimidasi dalam proses penyidikan. Salah satunya bahkan dihukum pemotongan gaji sebesar 10 persen.

Praswad dalam keterangan tertulisnya beberapa waktu lalu mengungkapkan bahwa sanksi terhadapnya tidak sebanding dengan penderitaan masyarakat yang diakibatkan korupsi bansos Covid-19. “Kami menegaskan hukuman bukan sesuatu yang luar biasa dibandingkan dengan penderitaan korban bansos, korban PHK, rekan-rekan disabilitas,” kata Praswad, Selasa, 13 Juli 2021.

Meski begitu, bagi Eny, sanksi Dewas KPK terhadap penyidik yang membongkar korupsi bansos justru membikin miris. “Kita sebagai warga kecil miskin prihatin. Kok di negara kita, yang jujur berpihak pada miskin kota dibungkam. Seperti tidak adil. Apa mau diisi orang yang tidak bertanggungjawab dan korupsi? Orang yang jujur dibungkam. Mereka yang membela kami semua dibungkam, enggak diberikan ruang bersuara. Saya sedih,“ ungkap Eny menanggapi putusan Dewas KPK.

 

Serangan Balik

Melampirkan 11 bukti dan 25 halaman pembelaan dalam sidang etik dugaan perundungan dan pelecehan Dewan Pengawas KPK pada 25 Juni 2021, Mochamad Praswad Nugraha dan Muhammad Nor Prayoga sempat berharap pelanggaran etik tak menjeratnya.

Dalam dokumen yang diperoleh Jaring.id, dua penyidik KPK tersebut meminta hakim yang dipimpin oleh dipimpin oleh Harjuno, dengan dua anggota yakni Syamsudin Haris dan Albertina Ho memerhatikan dengan cermat seluruh rekaman pemeriksaan terhadap mantan Senior Assistant Vice President (SAVP) Bank Muamalat Indonesia, Agustri Yogasmara alias Yogas sepanjang 3,5 – 5 jam.

Dalam pemeriksaan tersebut, Dewas KPK menuding dua penyidik kasus bansos Covid-19 merundung Yogas dengan menyebut “gila, jenturin kepala ke tembok, hingga lu akan gua kejar sampai ke langit.” Menurut Praswad, frasa dari ucapan tersebut dipotong dan tidak didudukan dalam konteks pembicaraan yang dilakukan Praswad dan Prayoga saat memeriksa Yogas. “Beda konotasi, beda juga maknanya,” kata Praswad kepada Jaring.id. Rabu 14 Juli 2021.

Potongan kalimat yang disampaikan Dewas tersebut merupakan rangkaian kegiatan penggeledahan yang dilakukan penyidik KPK di rumah Yogas, di Kota Bekasi, Jawa Barat pada 12 Januari lalu.  Penggeledahan itu terkait dengan operasi tangkap tangan Menteri Sosial Juliari Batubara beserta anak buahnya, Matheus Joko Santoso, Adi Wahyono dan beberapa pengusaha. Saat proses OTT, juliari diduga sedang menerima suap senilai Rp 32,4 miliar dari proyek pengadaan bansos selama Covid-19.

Kepada Praswad dan Prayoga, Yogas mengklaim tak paham tentang pengadaan paket bansos. Bahkan Yogas, menurut Praswad, mengaku menerima paket itu saat lewat di depan kantor Kementerian Sosial. Padahal sejumlah saksi seperti Harry van Sidabukke dan Matheus Joko Santoso mengaku pernah bertemu Yogas dalam berbagai kesempatan pada 2020 lalu. Selain itu, Praswad juga menjelaskan selama proses pemeriksaan Yogas melontarkan kalimat yang menyatakan penyidik KPK salah alamat memeriksa dia. “Ini korupsi bansos ya saya kejar. Saya diperintah undang-undang,” kata Praswad.

Sayangnya, majelis hakim bergeming mendengar pembelaan Praswad dan Prayoga. Dewas memutus dua penyidik tersebut bersalah melakukan perundungan dan pelecehan kepada Yogas, sehingga melanggar kode etik pedoman perilaku di dalam dan di luar lingkungan kerja sesuai dengan Peraturan Dewas Nomor 2 Tahun 2020 tentang Penegakan Kode Etik dan Pedoman Perilaku KPK. “Menghukum para terperiksa satu, Mochamad Praswad Nugraha dengan sanksi sedang berupa pemotongan gaji pokok sebesar 10 persen selama 6 bulan. Sedangkan terperiksa kedua Muhammad Nur Prayoga dijatuhi sanksi berupa teguran tertulis selama tiga bulan,” kata ketua Majelis Sidang Dewas Harjono saat membacakan putusan dalam konferensi pers pada Senin, 12 Juli 2021.

Jauh hari sebelum majelis memutuskan penyidik bersalah, tiga direktur di KPK, menurut sumber Jaring.id, telah menemui Dewas guna meminta agar kasus pelanggaran etik tak dilanjutkan sebelum putusan Juliari Batubara inkrah. Salah satunya adalah Direktur Penyidikan Brigadir Jenderal Setyo Budiyanto. Namun Dewas mengabaikan permintaan tersebut.

Jaring.id telah mencoba untuk menghubungi Setyo, namun ia meminta agar Jaring.id melayangkan pertanyaan kepada Juru Bicara KPK, Ali Fikri. “Mohon maaf sebelumnya silahkan langsung ke Pak Ali Fikri,” ungkapnya melalui pesan Whatsapp, Selasa 27 Juli 2021.

Sementara Ali Fikri tak banyak berkomentar saat diminta penjelasan. “Silahkan kirim daftar pertanyaan,” ujarnya melalui pesan Whatsapp, Selasa 27 Juli 2021. Tapi hingga saat ini, Ali belum memberikan jawaban.

Peneliti ICW, Kurnia Ramadhan menilai Dewas KPK menutup mata terhadap seluruh pembelaan yang dilayangkan oleh Praswad dan Prayoga. “Dewas KPK tidak adil dan equality dalam memutuskan sidang,” kata Kurnia kepada Jaring.id, Selasa 27 Juli 2021.

Kurnia menyoroti perbedaan sanksi untuk penyidik KPK dalam kasus bantuan sosial Covid-19 dengan kasus helikopter Ketua KPK, Firli Bahuri beberapa waktu lalu. Sementara 2 penyidik dihukum, Dewas hanya memberikan hukuman ringan berupa sanksi teguran tertulis 2 kepada Firli karena bergaya hidup mewah dengan menumpangi helikopter untuk pulang ke kampung halamannya. Padahal hal tersebut jelas melanggar peraturan Dewas yang sama. “Putusan Dewas tumpul ke atas, tajam ke bawah,” ucapnya.

 

Pelanggaran Etik Mesti Dilihat Utuh

Turun dari lantai 5 gedung C1 KPK, Jakarta, Budi Santoso resah dengan sejumlah pertanyaan majelis hakim sidang etik yang dipimpin oleh Harjono sebagai ketua, dengan dua anggotanya yakni Syamsudin Haris dan Albertina Ho. Budi yang merupakan salah satu saksi dugaan pelanggaran etik penyidik korupsi bansos Covid-19, bersama Haris Azhar menduga majelis hakim telah menyiapkan beberapa pertanyaan yang mengarah pada putusan bersalah.

Mantan pengajar etika di Universitas Islam Indonesia (UII) ini menyebut bahwa majelis hakim berulang kali mengarahkan pertanyaan yang berkaitan dengan potongan kalimat tanpa menjelaskan seluruh konteks pemeriksaan. Padahal untuk menindak kasus pelanggaran etika, pengusutannya tidak bisa lepas dari konteks peristiwa. “Ini enggak mungkin kepotong, pasti kalimatnya utuh,” ujar Budi saat dihubungi melalui Jaring.id, Selasa, 27 Juli 2021.

Lelaki yang juga pernah menjabat sebagai penasihat komisi antirasuah ini mengungkapkan hakim yang cukup intens bertanya soal itu adalah Albertina Ho. Dalam hitungan Budi, mantan Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan ini bertanya lebih dari sepuluh kali. “Dewas lain sampai tidak punya ruang karena didominasi Albertina Ho. Saya agak heran ada yang dominan banget,” ucapnya.

Dalam kesaksian tersebut, Budi mengingatkan agar hakim tidak melepas konteks peristiwa pemeriksaan yang dilakukan oleh Praswad dan Prayoga. Sebab ketika struktur kalimat tidak diperiksa secara utuh, maka berpotensi menghilangkan makna dari pernyataan kedua penyidik tersebut. “Saya tidak mau memberikan opini kalau dipotong-potong, ini agar tidak misleading,” kata Budi saat itu.

Sementara itu, pegiat hak asasi manusia (HAM) Haris Azhar mengaku ditanya oleh Albertina sebanyak 20 kali. Isinya seputar penyiksaan berdasarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1998 tentang Konvensi Menentang Penyiksaan dan Perlakuan atau Penghukuman Lain yang Kejam, Tidak Manusiawi, Merendahkan Martabat Manusia. Dalam sebuah pemeriksaan, menurut Haris, para penegak hukum perlu melakukan tindakan terukur yang tidak melanggar HAM.

“Jika ada kasus terperiksa menekan terperiksa yang lain, maka aparat penegak hukum harus melindungi. Ketika melindungi aparat, penegak hukum boleh melakukan proteksi yang keras tapi terukur supaya tidak ada tekanan lain dalam rangka melindungi terperiksa yang lain,” kata Haris saat dihubungi Jaring.id melalui telepon, Selasa 27 Juli 2021.

Selain hakim yang diduga bertanya tak sesuai konteks, sumber Jaring.id di KPK menyatakan tim pemeriksa pendahulu sebenarnya telah menyatakan bahwa kasus etik dua penyidik failed atau tidak layak dilanjutkan. Alasannya karena tidak cukup bukti untuk menyatakan keduanya dapat diproses secara etik. Namun, Dewan Pengawas KPK tetap bersikukuh untuk melanjutkan sidang etik tersebut. “Tim pemeriksa pendahulu membuat laporan hasil pemeriksaan ternyata hasilnya tidak layak,” ujar sumber Jaring.id.

Menyadari hal itu, Budi Santoso khawatir putusan Dewas akan dijadikan dasar oleh koruptor untuk berupaya membatalkan proses penegakan hukum yang dilakukan KPK. “Saya khawatirkan ada preseden buruk bagi penyidik lainnya. Ini akan tren sekaligus demoralisasi penyidik. Akibatnya mereka ketakutan untuk bertindak,” kata Budi.

Menurut Budi, ketika ada rasa takut di dalam internal penyidik untuk membongkar kasus korupsi, maka hal tersebut merupakan kerugian besar bagi komisi antirasuah. “Belum-belum sudah dihantui pelaporan ke Dewas. Ini meruntuhkan ketegaran penyidik. Saya pikir ini membuka kran (pelemahan) KPK,” ujarnya.

Jaring.id mencoba melakukan konfirmasi perihal permintaan tersebut kepada Syamsudin Haris. Namun mantan peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) itu enggan mengomentari tudingan itu. “Mohon maaf saya tidak bisa (komentar),” ujarnya kepada Jaring.id. Senin, 26 Juli 2021. Sementara Ketua Majelis Hakim Dewas KPK, Harjono beserta Albertina Ho tak menjawab panggilan telepon maupun pertanyaan yang dilayangkan melalui pesan Whatsapp.

Dihubungi terpisah, kuasa hukum Juliari Batubara, Maqdir Ismail berencana akan menggunakan putusan Dewas sebagai pembelaan hukum atas Juliari. Menurutnya, putusan itu mengindikasikan bahwa seluruh proses pemeriksaan bermasalah. “Salah satu bagian yang kita sampaikan dalam pembelaan, kami akan minta kepada hakim melihat proses ini,” kata Maqdir kepada Jaring.id melalui telepon, Kamis, 29ZAZ Juli 2021.

Tuntutan 11 tahun penjara untuk Juliari dinilai Maqdir sangat berat. Ia mengklaim banyak hal yang tidak sesuai dengan fakta persidangan. “Seperti ini tidak pantas menuntut Juliari dengan hukuman yang tinggi. Karena tidak ada dasar hukumnya,” ungkapnya Maqdir.  

Sementara itu, Enny Rohayati, Mustaghfirin dan belasan korban bansos lain berharap hakim memberikan keadilan dengan memutus Juliari Batubara bersalah dengan pidana sebesar-beratnya. Permintaan itu didasari atas tindakan Juliari yang telah merampas hak warga dalam memenuhi bantuan sosial. “Mudah-mudahan dengan hukuman yang diberikan hakim, tidak akan ada lagi yang korupsi,” pungkas Enny. (Abdus Somad)

Melawan Kusta dari Jongaya

Gapura bercat merah putih dengan ornamen kemerdekaan menjadi penanda awal keberadaan Kompleks Jongaya di Kecamatan Tamalate, Kota Makassar, Sulawesi Selatan. Permukiman ini dikenal sejak puluhan

Berlangganan Kabar Terbaru dari Kami

GRATIS, cukup daftarkan emailmu disini.