Undangan untuk menghadiri pengumuman harga jual tembakau di gudang PT Gudang Garam, Temanggung pada Jum’at, 7 Agustus 2020 mendarat di telepon genggam Yamidi (48). Dalam pertemuan tersebut, perusahaan mematok harga tembakau kering di kisaran Rp 15.000 sampai Rp 50.000 per kilogram, turun 50 persen ketimbang tahun lalu.
Menurut Yamidi, perusahaan rokok mengklaim tidak bisa membayar lebih lantaran kualitas panen tembakau tahun ini tidak baik. Kuota pembelian juga dikurangi akibat pandemi. Biasanya setiap musim, Gudang Garam dapat membeli 20 ribu ton tembakau petani.
“Kita tidak bisa menawar lagi,” kata Yamidi saat dihubungi Jaring.id melalui telepon, Senin, 19 Oktober 2020.
Gudang Garam, lanjut Yamidi, merupakan satu-satunya pabrik yang membeli tembakau asal Temanggung, Wonosobo, dan Kendal pada masa pandemi Covid-19. Perusahaan rokok lain seperti PT Djarum belum menyerap hasil panen petani.
Jaring.id berusaha mengonfirmasi hal tersebut kepada PT. Gudang Garam maupun PT Djarum. Namun, hingga tulisan ini terbit, keduanya belum menjawab.
Di Magelang, petani tembakau Kecamatan Windusari, seperti Suparno hanya bisa pasrah dengan penetapan harga jual tembakau oleh pabrik. Murahnya harga beli pabrik turut menekan harga tembakau hijau miliknya. Pada masa panen tahun ini, tumpukan tembakau hijau hanya dihargai Rp 2.500-3.000 per kilogram. Jauh di bawah harga pada 2019 yang mencapai Rp 7.000 per kilogram. Ia menilai ada permainan harga yang dilakukan oleh tengkulak dan perusahaan.
“Sampai ke penggarap tidak baik. Dari dulu begitu,” ujar Suparno saat ditemui Magelang TV di lahan miliknya.
Kala bertani tembakau, Suparno sering tertipu makelar. Itulah alasan utama mengapa dia berpindah tanam. Bersama puluhan petani, ia beralih tanam ke sayuran dan umbi-umbian. Suparno mengaku tidak mau lagi terjebak rantai penjual tembakau.
“Menanam tembakau setelah tidak menghasilkan dan menguntungkan saya coba menanam ubi,” ujarnya.
Petani tembakau lain di Dusun Truni, Candisari, Windusari, Magelang, Istanto (59) melakukan hal serupa. Ia menanam ubi madusari dan sayuran hijau sejak tujuh tahun lalu. Kata Istanto, jumlah petani yang beralih tanam mencapai 1000 orang lebih. Dari jumlah itu, tidak semua petani memilih alih tanam. Masih ada yang menggunakan pendekatan tumpang sari atau menggabungkan tanaman tembakau dengan tanaman lain.
“Melihat kawannya berhasil ya mereka (petani-red) ikut,” ujar Istanto kepada Jaring.id, Senin, 19 Oktober 2020.
Petani tembakau di Windusari baru merasakan dampak alih tanaman saat pandemi datang. Biasanya pendapatan hasil panen tembakau baru diterima enam bulan sekali. Dengan alih tanam, Istanto dapat memeroleh penghasilan tiga bulan sekali. Dan yang terpenting, dia bisa menjual sayur langsung ke pengepul. Petani bisa memantau harga sayuran langsung dari beberapa pengepul daerah, termasuk nasional.
“Dari ubi saja sudah mendapat uang lebih dari Rp 4 juta per panen,” kata Istanto.
Dari 20 desa di Windusari, Ketua Forum Petani Multikultur Indonesia ini menjelaskan, sebanyak 12 desa mememilih mencampur tanaman tembakau dengan ubi, 4 desa dengan kopi, dan petani di 4 desa lainnya menanam sayuran seperti kubis, cabai, hingga bawang. Hal tersebut dilakukan karena kontur tanah dan akses air di kecamatan di lereng Gunung Sumbing. Pada daratan 400-700 meter di atas permukaan laut (mdpl), petani memilih menanam ubi madusari. Sementara itu, pada ketinggian 800-1000 mdpl, petani memilih menanam cabai. Lebih dari itu atau pada ketinggian 1000-1400 meter para petani memilih menanam kopi.
“Tidak semua desa ada aliran irigasi, hampir semua desa menggunakan tadah hujan,” katanya.
Terhambat
Lain Istanto, lain Muhammad Nur Ajib. Petani tembakau di Temanggung menyatakan bahwa alih tanam tidak semudah membalikkan telapan tangan. Menurutnya, petani tembakau asal Pakis, Pringsurat, Temanggung, Jawa Tengah tidak punya pilihan selain menanam tembakau atau jagung. Pasalnya, dua komoditas ini mampu bertahan di tengah kondisi kering daerahnya. Selain sulit mengairi lahan karena tiadanya irigasi, harga jual tembakau dirasa masih lebih tinggi ketimbang komoditas pertanian lain.
“Satu lagi yang tidak bisa dibantah bahwa tanah Temanggung merupakan tanah tembakau. Kalau ada dengan kualitas harga seperti tembakau mungkin bisa,” ujarnya kepada Magelang TV.
Tanpa itu sulit bagi petani tembakau beralih tanam. Bertahun lalu, tambahnya, pemerintah sempat mengajak petani untuk melakukan alih tanam dari tembaku ke jarak, tetapi upaya tersebut kandas di tengah jalan. Selain karena tidak sesuai dengan kebutuhan petani, program alih tanam tersebut tidak dilakukan secara konsisten.
“Dulu pemerintah memberikan bantuan melalui menanam tanaman jarak, tetapi apa iya menunggu masa panen 1 tahun,” katanya.
Ketua Asosiasi Petani Tembakau Indonesia, Temanggung, Yamidi menyebut infrastruktur berupa irigasi menjadi masalah utama yang menyebabkan petani tembakau tidak punya alternatif tanaman. Ia mengaku pernah mengusulkan kepada pemerintah untuk membangun irigasi, tetapi usulan itu belum terealisasi karena tiadanya sumber air. Sumber mata air hanya ada di dataran rendah dengan ketinggian 400 mdpl. Untuk mengalirkan mata air ke daratan dengan ketinggian 800-1000 mdpl dibutuhkan pipa dengan jangkauan minimal 4 kilometer.
“Kita harus pakai pompa air juga. Ini biayanya mahal,” kata Yamidi kepada Jaring.id, Senin, 19 Oktober 2020.
Dikonfirmasi perihal minimnya pendampingan dari pemerintah, peneliti muda Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPPT) Jawa Tengah, Seno Basuki tidak menampik. Para petani memilih kembali menanam tembakau karena tergiur dengan keutungan sesaat.
“Kalau pas tembakau ada harapan tinggi, ya balik ke tembakau. Orang ini mencari keuntungan, petani tidak berpikir bagaimana kontradiksi dan upaya pemerintah mengurangi rokok bukan urusan petani,” kata Seno saat dihubungi Jaring.id, Kamis, 16 Oktober 2020.
Sementara itu, staf Dinas Pertanian dan Perkebunan Jawa Tengah, Agus Syafri menyatakan bahwa pemerintah belum dapat menyediakan saluran irigasi. Selama ini bantuan pemerintah baru sebatas pemberian alat untuk pendukung pertanian, pupuk, penyemprotan, dan bibit. Hal tersebut diakuinya belum maksimal untuk membuat petani beralih tanam.
“Sarana produksi untuk hibah ke masyarakat seperti pupuk, alsintan, alat pasca panen, fasilitasi pemasaran, dan kemitraan,” kata Agus saat dihubungi Jaring.id, Minggu, 18 Oktober 2020.
Korban Tata Niaga
Ketua Muhamadiyah Tobacco Control Center (MTCC) Muhamadiyah Magelang, Retno Rusdjijati membeber beberapa masalah yang bisa menjadi alasan petani tembakau melakukan alih tanam. Pertama, tata niaga atau proses jual beli tembakau yang buruk. Menurutnya, permainan pasar yang dilakukan antara tengkulak dan industri rokok membikin petani tidak dapat menentukan nilai jualnya sendiri.
Kedua, tanaman tembakau membuat tanah pertanian tak lagi subur, dan terakhir pengaruh cuaca yang menyebabkan kualitas tembakau tidak optimal.
“Selain itu, beralih ke tanaman dibutuhkan untuk ketahanan pangan di masa pandemi,” ujarnya.
Hasil riset Pusat Kajian Jaminan Sosial (PKJS) Universitas Indonesia bertajuk “Studi Kualitatif Kehidupan Petani Tembakau di Lombok Tengah, Pamekasan, dan Kendal Tengah dalam Upaya Pengendalian Konsumsi Rokok” sejalan dengan penilaian MMTC. Dalam konteks tata niaga, menurut peneliti Suci Puspita Ratih, petani di tiga daerah tersebut cenderung pasrah dengan harga yang ditentukan tengkulak karena khawatir hasil mereka tidak terjual. Petani terjebak dalam tataniaga yang bersifat oligopsonistik. Di tengah impor tembakau yang tinggi, hasil petani tembakau lokal banyak yang tak terserap.
“Menanam tembakau modalnya banyak sekali. Kalau kurang bagus maka harganya jauh lebih murah,” kata Suci kepada Jaring.id, Kamis, 15 Oktober 2020.
Dalam kajian tersebut dijelaskan adanya penurunan luas area perkebunan tembakau rakyat pada 2014-2018. Pada 2018 jumlah total luasan tembakau di seluruh Indonesia seluas 204.509 hektar. Adapun luasan pertanian tembakau terluas ada di tiga daerah yakni, Jawa Timur 105.595 hektar, Jawa Tengah (42.700 hektar), dan Nusa Tenggara Barat (33.811 hektar). Menurut Ratih, menyusutnya area tanam merupakan akibat dari tata niaga tembakau yang buruk sehingga petani tembakau tidak mampu menentukan harga pasar.
“Sementara yang mengukur bagus atau tidak itu perusahaan,” kata Ratih
Tata niaga yang buruk berdampak pada produksi dan tingkat produktivitas petani tembakau. Menurut Ratih, produksi dan produktivitas petani tembakau tidak mengalami kenaikan yang signifikan sejak tiga tahun terakhir. Pada 2018 jumlah produksi tembakau mencapai 195.482 ton, sementara pada 2019 meningkat tipis menjadi 197.250 ton. Tahun ini petani memanen sebanyak 198.739 ton.
“Petani mulai mengurangi jumlah area lahan yang ditanam. Sebabnya karena industri sedang melakukan pengurangan kouta tembakau,” kata Ratih.
Tulisan ini merupakan hasil kerjasama antara Jaring.id dengan Magelang TV