Jurnalisme investigasi berbasis data dilakukan dengan tujuan mengungkap kesalahan, skandal, dan pelanggaran. Meskipun sebuah karya jurnalistik berhasil menjelaskan suatu hal baru secara menyeluruh, tetapi jika jurnalis tidak bisa mengungkap adalah kesalahan melalui tulisan tersebut maka liputan tersebut bukanlah karya investigasi. Jadi patokan karya investigatif adalah pengungkapan kesalahan yang semula ditutup-tutupi. Mirip dengan yang dilakukan detektif, penyidik, maupun jaksa.
Namun, jurnalis bukanlah penegak hukum sehingga dia tidak bisa memaksa orang untuk memberikan data yang dibutuhkan. Jurnalis harus menguasai teknik-teknik lain untuk mencari data tersebut. Di tengah perkembangan berbagai tekhnik investigasi– undercover, follow the money, people trail, paper trail, dsb–ada model baru jurnalisme investigasi yakni data driven investigative stories. Di Amerika kadang disebut juga sebagai Computer Assisted Reporting (CAR).
Sekilas sejarah
Jurnalisme investigasi berbasis data bermula di Amerika Serikat ketika wartawan Detroit Free Press di Michigan Philip Meyer menggunakan komputer untuk menganalisa komposisi penduduk Detroit untuk menjelaskan serangkaian kerusuhan di sana pada 1967. Berkat liputan tersebut, dia menyabet penghargaan Pulitzer. Meyer juga menulis buku Precision Journalism pada 1973 dan program untuk menganalisa data.
Lima tahun berselang, Donald Barlett dan James Steele dari Philadelphia Inquirer, mencoba membuktikan tuduhan bahwa hakim di Philadelphia berlaku rasis ketika memutuskan hukuman untuk kaum kulit hitam di sana. Tidak ada dokumen/data keras yg bisa membuktikan tuduhan ini selain cerita-cerita yang berkembang di masyarakat.
Mereka berdua kemudian mereview semua kasus hukum yang terjadi sepanjang 10 tahun terakhir di Negara bagian tersebut. 1.034 kasus hukum diringkas dalam tabel dengan 42 kolom. Selanjutnya, dibuatlah sistem kartu untuk dianalisa oleh program komputer ‘Data Text’ yang dibuat Philip Meyer. Tabel tersebut diubah jadi kartu kode yang jumlahnya mencapai 9.618 kartu. Dengan menggunakan komputer IBM 7090 mereka berhasil membuktikan bahwa bias hakim ketika mengadili terdakwa berkulit hitam benar adanya.
Pada 1980, wartawan The Providence-Journal Bulletin Elliot Jaspin mendapat penghargaan untuk berita-beritanya yang banyak menggunakan analisa data. Beberapa diantaranya adalah tulisan investigasi mengenai pinjaman perumahan yang macet dan kecelakaan lalu lintas yang melibatkan bus sekolah. Dia kemudian menggandeng Daniel Wood untuk membuat program komputer Nine Track Express untuk membantu wartawan menganalisa data. Jaspin juga mendirikan National Institute for Computer Assisted Reporting (NICAR) di Missouri School of Journalism pada 1989.
Definisi
Perkembangan teknologi digital selama sepuluh tahun terakhir selaras dengan model peliputan investigasi berbasis data. Ketika komputer semakin mendominasi kehidupan, muncul tren yang disebut sebagai Big Data. Muncul mesin-mesin yang bisa menyedot berbagai informasi mengenai aktivitas individu. Data-data makro seperti jumlah anak yang dimiliki oleh mayoritas penduduk sebuah negara juga semakin mudah didapat dan diakses oleh publik.
Selain perkembangan teknologi, munculnya Open Government Initiative juga semakin mempermudah akses terhadap data. Di Indonesia ada portal khusus yang bernama data.go.id. Dalam situs tersebut terdapat data-data terkait kementerian, lembaga pemerintahan, pemerintahan daerah, dan instansi lain di Indonesia.
Data-data tersebut penting agar jurnalis bisa melakukan overview suatu masalah. Jurnalis bisa memilih lokasi liputan berdasarkan data, misalnya saja data kemiskinan di sebuah kabupaten atau kota. Liputan berbasis data lebih realiable dibandingkan dengan liputan yang sekadar bermodal wawancara. Pasalnya, pejabat publik bisa saja menafsirkan data berdasarkan kepentingannya dan menyampaikannya pada jurnalis.
Ketika liputan investigasi berbasis data dilakukan, lapisan penafsiran tersebut dihilangkan. Dengan demikian, mudah-mudahan kita bisa mendapatkan gambaran yang lebih objektif. Tempo misalnya, pernah membuat liputan mengenai Kapal Siluman di Laut Nusantara yang menelisik akal-akalan pengusaha dalam menyiasati aturan mengenai keharusan kapal beroperasi di Indonesia dimiliki oleh perusahaan Indonesia. Awak Tempo memiliki data lengkap mengenai hal tersebut dari Direktorat Perhubungan Laut.
Dari hasil wawancara didapat bahwa lokasi yang kerap menjadi jalur kapal-kapal siluman tersebut adalah perairan Tual, Maluku, dan itu yang kemudian ditindaklanjuti. Dari persoalan yang begitu besar, dipilih persoalan yang secuil, penyelidikan difokuskan ke Tual dan Merauke.
Tahap liputan
Dalam membuat karya jurnalisme investigasi berbasis data, terdapat beberapa tahap yang harus dilakukan oleh jurnalis. Pertama, menemukan data yang relevan dengan tema (data scrapping). Tahap ini digunakan jika data yang mau kita cari tidak tersedia secara terbuka alias bukan open data. Proses data scrapping bisa dilakukan dengan menggunakan kode (phyton dan ruby) atau menggunakan aplikasi seperti import.io.
Kedua, membersihkan data yang sudah terkumpul (data cleaning). Tidak semua data yang kita miliki berguna atau relevan dengan tema liputan, oleh sebab itu tahap ini harus dilakukan. Untuk membersihkan data yang terdapat dalam datasheet, jurnalis bisa menggunakan beberapa perangkat lunak seperti open refine dan SQL.
Setelah data dibersihkan, jurnalis harus menemukan pola dalam data tersebut agar bisa dianalisis. Beberapa perangkat lunak yang lazim digunakan dalam tahap ini adalah Microsoft Excel, Microsoft Access, dan berbagai perangkat lunak yang terkait dengan statistik semisal SPSS.
Tahap terakhir adalah publikasi hasil investigasi. Data yang sudah ditemukan tentunya tidak bisa ditampilkan mentah-mentah.
Dibutuhkan perangkat lunak untuk visualisasi data agar tampak lebih menarik, sederhana, dan mudah dimengerti. Jurnalis bisa menggunakan beberapa tools data visualization seperti silk.co dan ArcGIS.
Contoh karya
Di Amerika Serikat, liputan investigasi berbasis data sudah lazim dilakukan. Beberapa contohnya adalah:
- Innocent Lost. Pada Maret 2014, Miami Herald memublikasikan laporan investigasi tentang anak-anak yang tewas akibat kelalaian dan kekerasan rumah tangga. Mereka menyisir data Department of Children and Family di Miami pada periode 2008-2014 dan menemukan 534 kasus anak yang tewas dalam keluarga. Kematian anak-anak balita ini bisa dihindari jika aparat bertindak lebih cepat. Pasalnya, masyarakat sudah melaporkan adanya potensi kekerasan terhadap anak-anak yang tewas tersebut pada dinas terkait.
- Echo Chamber. Pada Desember 2014, Reuters memeriksa 10.300 petisi atau perkara yang didaftarkan untuk diperiksa di Mahkamah Agung Amerika Serikat selama 9 tahun terakhir. Investigasi mereka menemukan 66 pengacara yang punya kans 6 kali lebih besar ketimbang 17 ribu pengacara lainnya untuk mengajukan perkara ke Supreme Court of Justice. Ke-66 pengacara ini mewakili firma hukum terkenal dan lebih dari separuh pernah bekerja dengan salah satu dari 9 hakim agung di MA Amerika. Sebagian besar dari mereka juga berasal dari kantor pengacara yang lebih sering mewakili kepentingan korporasi/pemodal besar.
- Medicare Unmasked. Wall Street Journal memublikasikan investigasi pada Juni 2015 yang menjelaskan soal proporsi dokter penerima pembayaran terbesar dari progam asuransi kesehatan di AS, Medicare. Mereka menemukan kalau 1 persen dari total dokter yang menerima dana Medicare mendapat 17,5 persen dari total pembayaran pada 2013, dan 16,6 persen pada 2012. Total ada 950 ribu dokter dalam daftar Medicare dengan jumlah total pembayaran US$90 miliar. Artinya ada 9.500 dokter yg menerima US$15,7 miliar dana Medicare. Data ini dibuka setelah pada 2011 WSJ menggugat Asosiasi Dokter Amerika yang bersikeras bahwa data pembayaran Medicare ini merupakan rahasia dokter.
Konteks Indonesia
Di Indonesia, jurnalisme investigasi berbasis data belum banyak dilakukan. Peliputan investigasi masih mengandalkan whistleblower. Meski demikian, liputan MBM Tempo mengenai Ratu Atut, Mantan Gubernur Banten, bisa dijadikan contoh bagaimana liputan invetigasi berbasis data dilakukan di Indonesia. Pada edisi 6 November 2013 tersebut, Tempo menggunakan berbagai data terbuka seperti daftar perusahaan yang terdapat di portal milik Kamar Dagang Indonesia (Kadin), hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), dan Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) yang terdapat di situs milik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Belajar dari berbagai kasus tersebut, maka terdapat beberapa syarat yang harus dipenuhi agar liputan investigasi berbasis data bisa terus berkembang di Indonesia. Pertama, harus ada open data initiative dari pemerintah sehingga jurnalis bisa mengakses beragam data sesuai dengan kebutuhan peliputan.
Kedua, media dan jurnalis harus rajin menggunakan UU Kebebasan Informasi. Publik. Melalui penggunaan UU tersebut akses terhadap suatu data bisa diusahakan secara legal. Ketiga, terdapat aplikasi digital yang bisa membantu mengintegrasikan data yang terserak. Keempat, redaksi memiliki kemampuan membaca statistik, membersihkan datasheets, menganalisa angka dan membangun aplikasi (data journalism).