Janggal Pemeriksaan Para Aktivis

Yohana Tiko, Bernard Marbun, dan Fathul Huda Wiyashadi mula-mula berkeras tidak ingin dibawa ke Rumah Sakit Abdul Moeis, Samarinda, Kalimantan Timur pada Jumat malam, 31 Juli 2020. Namun, lontaran provokasi sebagian warga yang kadung berkumpul di kantor Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Kalimantan Timur membuat pegiat lingkungan hidup dan hak asasi manusia (HAM) ini melunak untuk menjalani karantina Covid-19 di rumah sakit. Menurut Yohana, penjemputan yang terjadi akhir Juli lalu itu dilakukan Satuan Tugas Penanganan Covid-19 Kota Samarinda bersama Dinas Kesehatan, Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD), Kepolisian, Polisi Pamong Praja (Satpol PP), dan sejumlah perangkat desa.

Setibanya di rumah sakit, para petugas malah meninggalkan mereka bertiga di tempat parkir rumah sakit. Sementara itu, pihak rumah sakit tidak segera melakukan proses karantina.

“Kami minta hasil swab kepada petugas yang membawa ke rumah sakit, tetapi mereka tidak bisa menunjukkan (hasil swab). Satu persatu (mereka) meninggalkan kami di rumah sakit. Kami ditelantarkan di parkiran,” ungkap Direktur Walhi Kaltim, Yohana Tiko dalam keterangan pers pada Sabtu, 1 Agustus 2020.

Yohana dan dua orang lain memutuskan pulang guna melakukan karantina mandiri. Langkah tersebut sesuai Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor Hk.01.07/Menkes/413/2020 tentang Pedoman Pencegahan dan Pengendalian Coronavirus Disease 2019. Merujuk beleid tersebut, orang yang terpapar Covid-19 tanpa gejala (OTG) dapat melakukan isolasi mandiri.

“Kami merasa sehat dan baik-baik saja, tidak dalam kondisi sakit, dan tidak ada gejala flu,” ujar Yohana.

Tiga hari sebelumnya, yakni Rabu, 28 Juli, Dinas Kesehatan Kota Samarinda menyambangi dua kantor pegiat lingkungan yakni Walhi Kaltim dan Kelompok Kerja 30 (Pokja 30) yang di dalamnya terdapat Sekretariat Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Samarinda dan juga Jaringan Advokasi Tambang  (Jatam) Kaltim. Mereka mendapat laporan warga tentang minimnya penerapan protokol kesehatan di lokasi tersebut. Padahal, dua kantor yang hanya terpisah dinding di Jalan Gitar, Kelurahan Dadi Mulya, Kecamatan Samarinda Ulu itu kerap dikunjungi banyak orang dan berada di wilayah penularan corona tertinggi.

Oleh sebab itu, petugas dari Dinkes Kota Samarinda meminta agar sejumlah orang di kantor Walhi diambil sampel lendirnya dengan cara diusap. Sedikitnya ada lebih dari 10 sampel lendir saluran pernafasan bawah yang diambil. Tidak sampai 24 jam, tim kesehatan kembali guna menyampaikan hasil pemeriksaan yang tertera dalam surat pemberitahuan.

Dari belasan orang yang diperiksa, tiga orang dinyatakan positif sehingga perlu dilakukan karantina di RS.  Namun, permintaan itu ditolak. Baik Yohana, Bernard maupun Fathul—tiga orang yang dinyatakan positif Covid-19—meminta petugas melampirkan hasil pemeriksaan laboratorium di samping surat pemberitahuan.

“Secara pribadi saya mendukung upaya mencegah penyebaran Covid-19 yang dilaksanakan sesuai dengan prosedur, tetapi jangan sampai penegakan aturan dilakukan dengan melanggar aturan,” ujar Fathul Huda.

Fathul menyebut, saat pengambilan sampel lendir para petugas menjanjikan hasil pemeriksaan selesai dalam waktu 2-4 hari. Namun, ia terkaget ketika petugas kesehatan kembali keesokan harinya.

“Banyak kejanggalan termasuk saat menyampaikan hasil swab. Ketika ditanya katanya hasilnya 2-4 hari baru selesai, ternyata besoknya sudah dinyatakan positif dan tidak ada hasil tertulis yang ditandatangani petugas lab,” ungkap Fathul.

***

Belakangan, Dinas Kesehatan Kota Samarinda menyampaikan bahwa ketiga aktivis dinyatakan positif setelah menguji sampel lendir melalui metode tes cepat molekuler (TCM), bukan tes usap seperti yang disampaikan sebelumnya. TCM merupakan metode pemeriksaan yang biasa dilakukan terhadap pasien tuberkulosis (TB) dan hanya memerlukan waktu kurang dari dua jam untuk beroleh hasil.

Di Kalimantan Timur, TCM dioperasikan di sejumlah rumah sakit seperti Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Kanudjoso Djatiwibowo Balikpapan, RSUD Abdul Rivai Berau, RSUD Kudungga Sangatta, Kutai Timur, RSUD Abdul Wahab Sjahranie Samarinda, RSUD Parikesit Kutai Kertanegara dan RSUD Harapan Insan Sedawar. Juru Bicara Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 Kalimantan Timur, Andi M Ishak, sejak awal TCM diperuntukkan untuk mengevaluasi kasus dan kasus mendesak. Adapun diagnosis untuk sampel baru akan dikirim ke Laboratorium Polymerase Chain Reaction (PCR).

“Evaluasi kasus yang sudah positif untuk memastikan kesembuhan, kalau kasus mendesak misalnya kasus dengan gejala seperti covid dan memiliki penyakit penyerta yang mengalami perburukan, atau akan dilakukan operasi sehingga perlu kepastian kondisi pasien dengan cepat sebelum diambil tindakan lebih lanjut,” katanya kepada Jaring.id, Jumat, 14 Agustus 2020.

Selain metode pemeriksaan yang tak sesuai arahan, pengambilan sampel lendir disertai dengan pemeriksaan seluruh ruang kerja. Para pertugas berkeliling dan memotret menggunakan telepon seluler.

“Mereka mengobrak-abrik. Mereka masuk ke kantor pakai sepatu. Marah-marah. Dia bilang jangan sembunyikan orang. Padahal tidak ada yang kami sembunyikan. Kayaknya ada yang mereka cari, seolah mencari kesalahan,” ungkap Fathul.

Pradarma Rupang, Dinamisator Jatam Kaltim—satu dari belasan orang yang dites usap menyoroti minimnya perlengkapan dari petugas. Menurutnya, ketika menjemput tiga orang yang dinyatakan positif, sebagian petugas ada yang tidak menggunakan pakaian pelindung lengkap (APD). Mereka hanya mengenakan masker medis, pelindung wajah serta sarung tangan berbahan karet.

Selain itu, APD petugas ambulans juga tidak sesuai dengan Petunjuk Teknis Penggunaan APD Menghadapi Wabah Covid 19 yang diterbitkan Kementerian Kesehatan. Peraturan tersebut menyatakan petugas ambulans yang menjemput terduga positif harus dilengkapi APD standar seperti masker, berpakaian khusus, bersarung tangan, mengenakan pelindung mata dan kepala, serta memakai sepatu pelindung. Sementara petugas ambulans yang menjemput tiga pasien positif di kantor Walhi dan Pokja 30 tidak menggunakan pelindung mata.

Rupang juga heran dengan Dinkes yang bersikeras untuk mengisolasi rekan kerjanya di rumah sakit. Padahal mereka tidak memiliki gejala yang membutuhkan perawatan medis. Bila atas permintaan warga, harusnya Dinkes berusaha meyakinkan bahwa ada pasien lain yang lebih membutuhkan perawatan di rumah sakit.

“Penjemputan berdasarkan permintaan RT (rukun tetangga). Surat keberatan RT datang jelang ibadah salat Jumat. Tidak lama, sekitar pukul 17.00 datang petugas itu,” cerita Rupang.

Surat RT yang dimaksud Rupang adalah surat penolakan warga RT 33 Kelurahan Dady Mulya yang ditandatangani Tarmiji. Menurutnya, warga menolak bila kantor Walhi dan Pokja 33 dijadikan tempat karantina pasien corona.

“Warga resah. Penyakit ini tidak kita lihat. Mengapa isolasi di tempat, sedangkan rumah sakit ada,” kata Tarmiji saat dihubungi Jaring.id pada Jumat, 7 Agustus 2020.

Inisiatif pembuatan surat tersebut dilakukan Tarmiji setelah mendapat informasi mengenai tiga orang positif Covid-19 di wilayahnya. Informasi tersebut didapat Tarmiji dari Lurah Dadi Mulya, Muhammad Yansyah. Surat yang ditembuskan kepada sejumlah instansi seperti Satgas Covid-19, Kelurahan Dadi Mulya, Bhayangkara Pembina Keamanan dan Ketertiban Masyarakat, dan Bintara Pembina Desa itu berisi penolakan warga terhadap penggunaan kantor sebagai tempat karantina.

Dihubungi terpisah, Lurah Dadi Mulya, Muhammad Yansyah mengaku tidak mengetahui adanya pemeriksaan tes usap di wilayahnya hingga surat pemberitahuan Dinas Kesehatan mendarat di gawainya lewat pesan WhatsApp. Kata dia, pemeriksaan terhadap para aktivis murni inisitatif dari Satgas Covid-19 Kota Samarinda.

“Menurut Dinkes ada masyarakat yang melapor bahwa banyak orang keluar masuk dan bukan warga dari situ tanpa protokol kesehatan. Setahu saya memang banyak dan bukan warga kita, orang luar semua,” katanya ketika dihubungi Jaring.id pada Jumat, 7 Agustus 2020.

***

Aktivis Pokja 30, Buyung Marajo menampik tudingan yang dialamatkan kepada lembaganya. Menurutnya, protokol kesehatan sudah dilakukan sejak Juni lalu. Namun, sebagai lembaga berbasis masyarakat sipil, pihaknya tidak bisa membatasi warga yang hendak melaporkan kasus dan melakukan konsultasi hukum.

“Kalau ada laporan, kami membuka diri dengan penerapan protokol kesehatan. Kami terbuka bagi siapapun dan dari manapun,” ujarnya.

Salah satu laporan yang tengah diadvokasi Walhi secara kolaboratif dengan lembaga lain ialah revisi Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil, Omnibus Law, kasus tumpahan minyak di Teluk Balikpapan, serta mendorong hutan adat di Mahakam Hulu. Selain itu, dua akvitis yang dinyatakan positif juga berstatus sebagai kuasa hukum mahasiswa Papua yang didakwa melakukan tindakan makar kepada negara.

Bertolok dari sederet kasus yang dilakukan Walhi dan aktivis lain di Samarinda, Wakil Ketua Bidang Advokasi Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Era Purnama Sari menduga pemeriksaan Covid-19 sebagai modus baru pembungkaman terhadap pembela hak asasi manusia (HAM). Kehadiran petugas kesehatan tanpa surat tugas, menurutnya, sudah tidak seusai dengan Peraturan Menkes tentang Pedoman Pencegahan dan Pengendalian Covid-19. Dalam Bab III Surveilence Epidemologi, pelacakan kontak serta pemantauan dilakukan dengan menunjukkan identitas maupun surat tugas.

“Jangan-jangan ada kepentingan lain yang bekerja di luar kepentingan untuk pencegahan penularan wabah ini,” ujarnya.

Agar tidak dicurigai, Era menyarankan pemerintah menyusun prosedur penanganan wabah corona lebih rinci. Pemeriksaan maupun pembatasan pergerakan warga tidak boleh dilakukan sewenang-wenang.

“Ketika petugas keamanan melakukan swab, prosedur, siapa yang boleh terlibat, monitoringnya seperti apa, itu harus bisa dijelaskan. Hari ini tidak ada satu undang-undang khusus yang mengatur bagaimana pembatasan dilakukan. Pedoman Covid-19 juga minim membahas hak pasien,” tambahnya.

***

Sementara itu, Kepala Bidang Pengendalian dan Pemberantasan Penyakit Dinas Kesehatan Kota Samarinda, dr Osa Rafshodia menyatakan bahwa penjemputan terhadap warga yang terpapar corona tidak melulu berdasarkan pertimbangan kesehatan. Faktor sosial dan ekonomi di masing-masing wilayah kerap dijadikan pemerintah sebagai bahan pertimbangan. Oleh sebab itu, desakan warga dalam polemik pemeriksaan Covid-19 di Walhi membikin Dinkes berinisiatif menyediakan tempat isolasi bagi para aktivis.

“Itu tidak bisa dipisahkan satu sama lain,” ungkapnya ketika dihubungi Jaring.id pada Kamis, 6 Agustus 2020.

Kehadiran Tim Surveillance di kantor Walhi dan Pokja 30, menurutnya, merupakan bagian dari keterlibatan aktif warga dalam penanggulangan Covid-19. Hal ini sesuai Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor Hk.01.07/Menkes/413/2020 tentang Pedoman Pencegahan dan Pengendalian Coronavirus Disease 2019.

“Sering banyak orang berkumpul tanpa menerapkan protokol kesehatan,” ujar Osa.

Osa membantah jika proses pemeriksaan tiga aktivis dilakukan di luar prosedur kesehatan. Ia mengklaim pemeriksaan dan penjemputan para aktivis sudah sesuai dengan revisi kelima Keputusan Menteri Kesehatan Tentang Pedoman Pencegahan dan Pengendalian Covid-19. Ia memastikan ketiga aktivis sudah dimasukkan dalam laporan pertambahan kasus positif harian Kota Samarinda.

“Semua sudah dilakukan,” katanya.

Meski begitu, Juru Bicara Satuan Tugas percepatan Penanganan Covid-19 Provinsi Kalimantan Timur, Andi Muhammad Ishak mengaku tidak menerima laporan resmi terkait pemeriksaan belasan orang di kantor Walhi. Namun, ia dapat memahami apa yang dilakukan Dinas Kesehatan Samarinda.

Menurutnya, pemeriksaan yang dilakukan Dinkes bisa dilakukan berdasarkan laporan dari masyarakat. Sedangkan, bukti fisik dari hasil pemeriksaan laboratorium bisa diberikan belakangan. Yang penting diketahui masyarakat dengan cepat ialah pemberitahuan mengenai hasil pemeriksaan Covid-19, baik langsung maupun melalui sambungan telepon atau surat elektronik.

“Untuk mempercepat tracing bisa diberitahu dulu, tetapi setelahnya baru diberikan hasil laboratoriumnya,” katanya ketika dihubungi pada Jumat, 6 Agustus 2020.

Hanya saja, setelah diketahui adanya 3 orang positif di kantor Walhi dan Jatam, petugas tidak lagi melakukan penelusuran (contact tracing) terhadap orang yang berhubungan dengan pasien. Walhi Kaltim maupun Pokja 30 pun tidak dijadikan klaster penularan, sekalipun terdapat satu kejadian yang sama.

“Setelah hasil keluar petugas tidak melakukan penelusuran kepada keluarga,” ujar Rupang.

Berdasarkan laporan harian Dinas Kesehatan Kota Samarinda, hanya ada 7 klaster penularan Covid-19. Antara lain Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Abdul Wahab Sjahranie, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kaltim, Jalan Hasan Basri Gg.2, KT2 (wakil gubernur Kaltim), Pemerintah Provinsi Kaltim dan klaster Tanjung Aju. Jumlah paling banyak, yakni 55 kasus terdeteksi berasal dari luar klaster (nonklaster).

Sejak hasil pemeriksaan terhadap sampel lendir para aktivis keluar pada Kamis, 30 Juli 2020, kasus positif di Samarinda tercatat sebanyak 284 kasus atau bertambah 11 orang. Selang sehari jumlahnya menjadi 303 kasus. Sedangkan pada Selasa, 11 Agustus lalu, jumlah kasusnya melonjak hingga 402 kasus positif.

Epidemiolog Universitas Indonesia, Pandu Riono mewanti-wanti pemerintah daerah untuk melakukan penelusuran kontak dari setiap kasus yang terkonfirmasi positif. Hal ini penting agar rantai penularan dapat dikendalikan.

“Pemeriksaan cukup dilakukan sekali untuk menyatakan seseorang positif. Bisa dianggap akurat. Yang ditakutkan negatif palsu bukan positif,” kata Pandu saat dihubungi Rabu, 12 Agustus 2020.

Jika hasil penelusuran menunjukkan banyak orang tertular di satu lokasi seperti kantor, Pandu mengatakan bahwa lokasi tersebut bisa dijadikan satu klaster. Meski begitu, penetapan sebuah klaster tidak lebih penting dari proses menemukan orang-orang yang sudah terpapar virus corona baru.

“Bukan hanya sekadar testing tapi bagian dari surveillance covid ini adalah testing, lacak dan isolasi,” terangnya.

Patgulipat Proyek Jalan di Lampung

Tim Indonesia Leaks mengumpulkan data proyek jalan di Lampung tahun 2020-2022 dari laman LPSE Provinsi Lampung. Setelah data tersebut dibersihkan dan diverifikasi, hasilnya ada 1.001

Nelayan Keluhkan Pungli Tengah Laut

Jarum jam baru pukul 6 pagi pada Kamis, 14 Maret 2024. Tapi telepon seluler milik Roni Ahmad—bukan nama sebenarnya, sudah berdering berulang kali. Di layar

Berlangganan Kabar Terbaru dari Kami

GRATIS, cukup daftarkan emailmu disini.