Dalam peliputan investigasi, data harus menjadi pilar utama dan membangun cerita. Penting bagi wartawan untuk menguasai cara mengulik data, mencari ide di dalamnya, dan menuliskannya menjadi sebuah cerita. Kemampuan menggunakan data dalam sebuah karya jurnalistik dapat menghindarkan wartawan dari hanya memuat statement (pernyataan narasumber).
Banyak data yang tersedia, tetapi persoalannya adalah bagaimana menghidupkannya agar tidak menjadi data mati. Sebuah hal seringkali dimaknai secara sama oleh banyak orang. Misalnya ketika melihat sebuah meja, kecenderungan umum adalah melihat berdasarkan bentuk dan warnanya. Padahal, bisa saja meja tersebut memiliki sisi lain seperti usianya yang sudah seratus tahun dan pernah digunakan oleh salah seorang tokoh. Cara kita menggali informasi akan memengaruhi bagaimana kita memaknai sebuah hal.
Menyaring Data
Saat ini kita diuntungkan dengan kehadiran berbagai sosial media. Ada kecenderungan umum di masyarakat untuk mem-posting kegiatannya. Sekilas tampak biasa saja, tetapi hal itu bisa menjadi sumber informasi penting. Jurnalis bisa mengetahui perjalanan seseorang dari foto bandara yang diunggah atau kebiasaan menggunakan fitur check-in di sosial media; hubungan persaudaraan dan bisnis juga bisa dicari tahu melalui sosial media; kita juga bisa tahu di mana orang tersebut biasa bermain tenis dan siapa lawan mainnya. Ada beberapa liputan investigasi yang baru bisa diselesaikan setelah mendapatkan berbagai informasi dari sosial media. Selain data yang didapat melalui sosial media, jurnalis juga bisa memanfaatkan berbagai laporan resmi sebagai sumber data.
Ada empat tips untuk menyederhanakan persoalan yang sedang kita gali dengan data. Pertama, ketika data sudah terkumpul dan dijadikan landasan awal liputan investigasi, data-data tersebut sebaiknya diurutkan secara kronologis. Berbagai data tambahan yang baru didapat saat proses peliputan bisa dimasukkan ke dalamnya. Cara tersebut berguna agar jurnalis bisa membaca alur kasus. Tahu ujung dan pangkal.
Kedua, membuat skema untuk adalah melihat permasalahan secara utuh. Skema bisa digunakan untuk menggambarkan aliran dana hingga modus kejahatan. Salah satu contoh skema yang bagus pernah ditampilkan Majalah Berita Mingguan Tempo ketika mengangkat kasus mantan Gubernur Banten Atut Choisiyah.
Ketiga, membuat struktur yang menggambarkan hubungan antar aktor yang terlibat dalam kasus tersebut. Struktur bisa juga diartikan sebagai struktur perusahaan. Keempat, mencari data yang solid.
Dalam kasus Asian Agri misalnya saya banyak mendapat data, tapi kemudian harus disederhanakan. Solidnya data merupakan syarat agar karya investigasi kukuh. Selain itu, data yang solid juga bisa membantu jika di kemudian hari hasil liputan investigasi menghadapi masalah hukum. Solidnya data memerkecil kemungkinan jurnalis kalah di pengadilan.
Menyajikan Data
Saat empat hal tersebut sudah dilakukan, persoalan berikutnya adalah penyajian. Permasalahan yang rumit dan menjemukan harus bisa disuguhkan secara sederhana dan enak dibaca. Hal ini juga terkait dengan berapa banyak data yang akan disajikan dalam tulisan. Tidak semua data yang didapat relevan dengan tema liputan. Dengan demikian, data harus dipilah dan diolah.
Jangan memosisikan diri kita sebagai seorang ahli. Tidak mungkin kita menjadi seorang ahli karena setiap harinya jurnalis dijejali dengan informasi yang banyak dan terus-menerus berubah. Hal yang bisa dilakukan adalah membangun jaringan dengan sebanyak mungkin orang yang punya keahlian dan sumber-sumber yang kredibel. Mereka bisa membantu kita melihat fenomena secara berbeda. Selain itu, para ahli juga bisa membantu kita membaca data.
Membangun jaringan juga bisa mempermudah pencarian data yang dibutuhkan. Jaringan tersebut bisa saja berasal dari lingkungan internal perusahaan atau pemerintahan, Lembaga Swadaya Masyarakat, atau bahkan dari orang yang sakit hati. Untuk mendapatkan informasi, carilah orang yang sakit hati, misalnya mereka yang kalah tender, orang yang jabatannya hilang, dan sebagainya.
Informasi yang diberikan pihak yang sakit hati biasanya cukup akurat karena mereka punya akses terhadap informasi tersebut. Tapi jurnalis harus hati-hati karena seseorang mau memberikan informasi akan disertai dengan motif tertentu. Dalam kasus pajak PT. Asian Agri saya beruntung mendapatkan narasumber yang sangat kredibel. Vincent merupakan whistleblower dalam kasus tersebut. Dia punya data yang sangat detil karena posisinya sebagai pengelola dan pemonitor arus keuangan PT. Asian Agri.
Namun, saya harus hati-hati karena Vincent adalah orang yang sakit hati dengan Sukanto Tanoto yang merupakan bosnya. Saya selidiki motifnya dan ternyata dia pernah mencuri uang perusahaan senilai US$3,1 juta, atau setara dengan Rp. 28 miliar ketika itu. Meski baru dicairkan Rp. 200 juta, aksi tersebut terlanjur tercium. Akhirnya, dia lari ke Singapura–melalui Batam–dengan menggunakan paspor palsu.
Akibat aksi pencurian tersebut Vincent dikejar oleh detektif swasta yang disewa perusahaan. Dia sudah minta pengampunan pada Sukanto Tanoto, tetapi tidak dikabulkan. Dengan demikian, Motifnya membocorkan skandal pajak Asian Agri adalah balas dendam karena pengampunan yang tidak dikabulkan. Motif itu yang saya pegang kuat-kuat ketika menerima dan memperlakukan berbagai data dari Vincent.
Data yang diberikan Vincent sangat rinci karena berasal dari internal perusahaan. Total ukuran file data keuangan yang disimpan di komputer jinjingnya mencapai 11 giga byte. Selain itu ada data berbentuk hard copy yang disimpan dalam beberapa koper. Tapi saya juga kesulitan membacanya karena kurangnya pengetahuan akuntansi.
Hal yang bisa jurnalis lakukan ketika menghadapi kondisi ketersediaan data yang melimpah di satu sisi dan kesulitan membaca data di sisi lainnya adalah meminta bantuan informan. Dalam kasus pajak PT. Asian Agri saya meminta bantuan Vincent untuk membacanya. Tapi informan juga tidak bisa dibiarkan terus bicara tanpa arahan karena akan banyak hal tidak relevan yang dia sampaikan.
Jurnalis harus menuntun informan agar penjelasan yang diberikan terstruktur dan bisa dimengerti. Salah satu caranya adalah dengan mengajukan pertanyaan. Saat Vincent menceritakan tentang penggelapan pajak Asian Agri, saya menuntunnya dengan beberapa pertanyaan kunci seperti berapa nilai penggelapan pajak dan bagaimana modusnya?
Modus yang dilakukan Asian Agri adalah membuat “biaya siluman” untuk menaikkan nilai belanja perusahaan. Hal tersebut dilakukan untuk menyusutkan laba agar pajak yang dibayarkan lebih kecil dari yang seharusnya. Saya kemudian mengajukan pertanyaan lanjutan: “Data mana yang bisa menggambarkan pembuatan biaya siluman?”. Vincent kemudian menunjukkan adanya transaksi siluman pada 1 November 2004 senilai Rp 20,8 miliar. Transaksi tersebut melibatkan 11 perusahaan yang terkait dengan Asian Agri. Data ini cukup untuk menunjukkan adanya indikasi penggelapan pajak karena disokong oleh bukti-bukti yang berlapis.
Jangan berambisi untuk mengolah semua data. Cukup ambil satu data yang bisa bercerita, tetapi harus tuntas. Selain itu dibutuhkan sumber yang bisa membaca data karena jurnalis bukan seorang “ahli” tapi seorang generalis yang ingin menyampaikan sesuatu secara benar dan akurat kepada publik.
Pentingnya Pemetaan dan Skema
Kasus yang terlihat rumit karena banyaknya pihak yang terkait bisa disederhanakan lalu kemudian dijelaskan dengan membuat skema dan pemetaan. Waktu itu saya tertarik menginvestigasi tentang Misbakhun, karena waktu itu Misbakhun adalah salah satu anggota Tim Sembilan, inisiator pengusul hak angket. Tim ini tak menyetujui penyelamatan dan bail out Century senilai Rp 6,7 triliun oleh Komite Stabilitas Sistem Keuangan. Namun ternyata dalam laporan BPK terlihat jelas bahwa perusahaan milik Misbakhun menikmati kredit pembiayaan perdagangan (L/C) dari Century.
Saya harus membangun hipotesa tentang ini berdasarkan data, agar tidak sekadar sebagai dugaan tanpa dasar. Argumen yang saya butuhkan ternyata terdapat di audit BPK yang mencatat adanya aliran dana kredit impor sebesar $ 178 Juta kepada sepuluh debitor. Ternyata di antara debitor itu ada perusahaan Misbakhun yang menerima $ 22,5 Juta.
Dari data awal tersebut kemudian saya membuat skema L/C dan aliran dana serta memetakan siapa saja yang terkait dalam proses tersebut. Pemetaan itu kemudian memunculkan nama-nama yang terkait baik langsung maupun tidak, mulai dari Robert Tantular, Lila Gondokusumo, Teguh Boentoro, hingga Boedi Sampoerna. Dari keterkaitan inilah cerita dan argumen bisa dibangun.
Dalam peliputan investigatif penting untuk selalu membuat skema dan mapping, dengan tergambarnya alur kasus serta hubungan- hubungan yang terkait dengan kasus tersebut, baik berupa hubungan bisnis, politik, dan juga keluarga. Bila jurnalis berhasil mengolah data-data dan menggali hubungan tersebut dengan teliti maka sebuah kasus yang rumit akan bisa diurai.