Perintah Kepala Kejaksaan Negeri Jakarta Barat (Kajari Jakbar) Hendri Antoro kepada Azam Akhmad Akhsya pada 26 Oktober 2023 lalu untuk melaksanakan Putusan Kasasi Nomor: 5042 K/Pid.Sus/2023 berbuntut panjang. Di samping memerintahkan eksekusi putusan berupa vonis 10 tahun penjara dengan denda sebanyak Rp 3 miliar subsider 6 bulan penjara bagi Hendry Susanto, terdakwa investasi bodong robot trading Fahrenheit, Azam juga diperintahkan mengeksekusi pengembalian barang bukti Rp 63,8 miliar kepada para korban investasi bodong tersebut melalui kuasa hukum masing-masing korban, yakni Bonifasius Gunung, Octavianus Setiawan, dan Brian Erik First Anggitya.
Adapun dana yang perlu dikembalikan kepada para korban yang diwakili oleh Octavianus senilai Rp 53,7 miliar, termasuk di dalamnya ada Rp 17,8 miliar untuk korban kelompok Bali, dan para korban yang diwakili Brian senilai Rp 1,7 miliar. Belakangan setelah uang itu ditransfer, Azam meminta bagian kepada Bonifasius, Octavianus, dan Brian. Masing-masing sebanyak Rp 3 miliar dari Bonifasius, Rp 8,9 miliar dari Octavianus, serta Rp 200 juta dari Brian. Uang tersebut antara lain disimpan di rekening istri Azam, deposito, serta membeli sebidang tanah.
Dalam kasus penggelapan ini, Azam diketahui menggelontorkan uang sejumlah Rp 500 juta kepada Kajari Jakbar Hendri Antoro lewat Dody Gazali selaku Pelaksana Harian Kepala Seksi Pidana Umum (Kasi Pidum)/Kepala Seksi Barang Bukti Kejari Jakbar sekitar Desember 2023. Dalam hal ini, Dody juga disebut menerima uang sekira Rp 300 juta.
Tak hanya itu, uang haram tersebut juga mengalir ke sejumlah jaksa lain, antara lain Iwan Ginting, mantan Kajari Jakbar sebesar Rp 500 juta, kemudian ke jaksa bernama Sunarto selaku mantan Kasi Pidum Kejari Jakbar sebesar Rp 450 juta, Rp 300 juta bagi Muhammad Adib Adam selaku Kasi Pidum Kejari Jakbar, dan Rp 200 juta bagi jaksa Baroto selaku Kepala Subseksi Prapenuntutan Kejari Jakbar.
Sementara Azam terbukti bersalah oleh majelis hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta dan divonis hingga 9 tahun penjara pada tingkat banding yang digelar September 2025, Kejagung memutuskan tidak memidana Hendri Antoro. Hendri hanya dijatuhi sanksi etik, yakni pencopotan jabatan. Sanksi tersebut diberikan karena Hendri dianggap lalai mengawasi anak buahnya.
Pada Senin, 20 Oktober 2025, Jaksa Agung Muda Pengawas Kejaksaan Agung Rudi Margono menyebut bahwa sejumlah jaksa yang diduga terlibat menerima uang dari penilapan barang bukti perkara Robot Trading Fahrenheit telah mengembalikan uang.
Pencopotan Hendri Antoro dari jabatan Kepala Kejaksaan Negeri Jakarta Barat ini yang kemudian menjadi sorotan publik. Bagaimana sebenarnya duduk perkara dari kasus ini sehingga hanya diberlakukan sanksi etik dan mengapa hanya Azam yang dijatuhi hukuman pidana? Dalam wawancara Jaring.id dengan Koordinator Hukum dan Investigasi Indonesia Corruption Watch, Wana Alamsyah pada Rabu, 22 Oktober 2024 lalu Kejaksaan Agung dinilai melakukan aksi menyelamatkan muka sendiri. Berikut petikan wawancara selengkapnya:
Menurut Anda apakah tepat putusan dari perkara ini hanya sanksi etik?
Seharusnya yang dilakukan bukan mengenakan etik kepada seseorang jaksa yang diduga menerima aliran dana dari hasil sitaan barang bukti. ICW merasa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) perlu dilibatkan untuk mengusut kasus dugaan korupsi dari perkara yang melibatkan enam jaksa ini.
Penggunaan sanksi etik hanya bersifat internal. Artinya tidak menyelesaikan masalah terkait hasil uang rampasan pidana yang dinikmati anggota jaksa. Jadi ICW tidak sepakat pengenaan etik pada pihak tersebut. ICW mendorong KPK untuk proaktif mengenakan pasal penggelapan dalam Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi.
Mengapa demikian?
Salah satunya untuk mendorong transparansi proses hukum. Buat ICW pengenaan pasal pidana akan memberikan efek jera kepada pelaku dan proses penegakan hukum bisa ditegakkan. Buat kami pengenaan sanksi etika tidak menyelesaikan akar persoalan dan tidak memberikan efek jera kepada pelaku yang mengambil uang dari kejahatan pidana.
Anda tadi menyebut pelibatan KPK, maksudnya bagaimana?
Ya dalam hal ini ICW mendorong agar KPK proaktif melakukan penelusuran terhadp kasus ini dengan harapan tidak hanya ditangani oleh Kejaksaan. Sebab ketika kasus yang melibatkan jaksa ditangani kejaksaan ada potensi konflik kepentingan di sana. Ketika ditangani jaksa, maka potensi memberikan hukuman ringan akan semakin besar.
Apakah Anda menilai ada upaya untuk menutupi kasus besar dengan pemberian sanksi etik kepada terduga pelaku?
Dugaannya ke arah sana. Patut diduga, Kejaksaan ingin menyelamatkan wajahnya dan menyelamatkan oknum dari tindak pidana tersebut. Namun, ketika informasinya diserahkan ke KPK artinya KPK dapat memperdalam mengenal para pihak siapa saja yang terlibat, tanpa harus mempertimbangkan orang-orang yang terlibat dalam prosesnya.
Ketika Kejaksaan yang tangani, maka diduga ada aktor yang tidak tersentuh sehingga masalah ini sulit diselesaikan. Kami juga memberikan saran agar Kejaksaan bisa legowo memberikan kasusnya kepada KPK. Tujuannya untuk memberikan kesan bahwa Kejaksaan serius membenahi institusinya.
Dalam persidangan disebutkan bahwa pelaku menerima uang dari hasil kejahatan itu. Artinya ada muatan tindak pidana yang bisa dikenakan. Bagaimana tanggapan Anda?
Potensi itu ada, namun apakah benar ada mens rea atau tidak akan dibuktikan ketika prosesnya masuk tindak pidana korupsi. Para pihak yang menerima uang itu menjadi pertanyaan. Mengapa para pihak penerima uang dan tidak menanyakan sumber uang dari mana? Sebab nilai transfernya cukup besar mencapai ratusan juta Rupiah. Ketika uang diterima asalnya tidak jelas dan mereka sebagai aparat penegak hukum mengetahui kerangka aturan, maka ini menjadi pertanyaan besar. Jadi semakin kuat bahwa penyelesaian etik hanya mengaburkan prosesnya agar para pihak tidak dapat diperiksa secara pidana.
Apakah tindakan Kejaksaan itu dapat diikuti dengan penyelidikan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU)?
Ruang tersebut TPPU besar. Isu lainnya follow the money yang penting dilakukan oleh KPK. Bisa jadi nantinya KPK menelusuri kasus aliran dana, lalu ada potensi membongkar aktor siapa saja menerima dana tersebut. Makanya diawal mengapa kasus ini idealnya diberikan ke KPK, sehingga mereka bisa melakukan investigasi secara komprehensif. Bukan hanya siapa saja yang menerima dan siapa saja penerima uang itu. Kalau uang ternyata digunakan dan dicuci, maka KPK dapat melakukan perampasan asset menggunakan ketentuan undang-undang yang ada.
Apa yang perlu dilakukan Kejaksaan untuk membuka secara transparan kasus ini?
Langkah ideal bagi Kejaksaan ialah jaksa perlu membuka informasi putusan etika dengan cara Kejaksaan mempertanggungjawabkan yang terjadi di institusinya. Ini bisa jadi bahan koreksi ke depan agar tidak terulang. Maka transparansi putusan etik penting.
Lalu menyerahkan ke lembaga lain agar kesan melindungi buruk buka korps Adhyaksa dan dugaan konflik kepentingan tidak muncul. Terakhir, menyampaikan laporan putusan etika publik yang merupakan satu bentuk langkah nyata mewujudkan tata kelola sistem peradilan hukum yang bersih kepada publik. Untuk menunjukkan bahwa komitmen Kejaksaan transparansi, maka putusan etik itu dipublikasi lalu diserahkan kasusnya kepada KPK.



