Gusar Papua, Menyoal Rasisme Hingga Internet Diblokir

Sudah empat hari, sejak Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemenkominfo) memblokir akses internet, Albert Mungguar (23), mahasiswa asal Kabupaten Yahukimo, Papua di Jakarta tidak lagi bisa menghubungi keluarganya di Bumi Cendrawasih. Ia mengaku waswas. Belasan pesan singkat yang ia layangkan melalui WhatsApp tak berbalas.

Sambungan telepon pun tidak bisa diandalkan. Sekalipun tersambung, suara di ujung telepon tak jelas. Suara bising yang memekakkan telinga lebih dominan ketimbang jawaban mengenai kabar keluarga yang ia cari tiga hari ini. Bahkan, menurutnya, petanda sinyal yang tertera di sebelah kiri layar handphone milik keluarganya hanya tertera “E” atau EDGE (Enhanced Data rate for GSM Evolution) baik di Papua maupun Papua Barat.

“Kami khawatir. Terlebih situasi panas begini. Kami susah menghubungi orang tua,” kata Albert Mangguar, Sekretaris Aliansi Mahasiswa Papua (AMP) saat ditemui Jaring.id di sela aksi Kamisan pada Kamis, 22 Agustus 2019.

Kondisi serupa dialami Joshua Hiroka. Kecuali dari televisi, mahasiwa tingkat dua di salah satu perguruan tinggi Jakarta ini kesulitan mendapatkan kondisi aktual di Papua. Menurutnya, ini kali pertama ia merasakan sambungan internet di pulau paling timur Indonesia itu terputus.

“Sampai sekarang (22/8), kami belum mengetahui (kondisi keluarga-red). Kami sangat sulit mengakses informasi,” terang Joshua.

Itu sebab Albert dan Joshua, beserta sejumlah orang lain berunjuk rasa menuntut penghapusan diskriminasi ras, sekaligus mendesak pemberlakuan kembali akses internet dari depan Istana Negara, Jakarta. Mereka menilai tindakan pemerintah memblokir akses internet berdampak buruk terhadap mahasiswa Papua di seluruh Indonesia. Seluruh warga Papua, menurut mereka, semestinya berhak mengakses informasi.

“Seluruh Papua (di luar Papua-red) merasa khawatir. Ini  melanggar hak kami terutama kebebasan mendapatkan informasi dan berekspresi,” ujar Joshua.

“Kami menuntut pemerintah tidak lakukan pembatasan,” timpal Albert.

Sulitnya Albert dan Joshua menghubungi keluarga di Papua disoroti Gita Putri Damaya, Direktur Eksekutif Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK). Menurutnya, pemblokiran akses internet berdampak buruk bagi masyarakat. Apalagi hal tersebut dilakukan tanpa keputusan politik negara mengenai situasi darurat sesuai Undang-Undang Dasar 1945, sekaligus bertentangan dengan Pasal 40 Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE). UU ini sebelumnya hanya membolehkan pemerintah mencegah konten yang tidak sesuai dengan ketentuan perundangan, bukan malah memblokir layanan akses internet secara keseluruhan.

“Ketika ada kerusuhan bukannya membatasi internet, karena kan bukan soal hoaks saja. Ada juga soal keamanan yang mau memeriksa kabar kolega, keluarga yang tidak ada hubunganya dengan hoaks,” ungkap Gita Putri Damaya pada Rabu, 21 Agustus di kantor KontraS, Jakarta.

Sebelumnya, pemerintah melalui Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) memblokir sementara akses internet di Papua dan Papua Barat pada Rabu, 21 Agustus 2019. Keputusan ini tertuang dalam surat No.155/HM/KOMINFO/08/2019. Menurut Kepala Biro Humas Kemenkominfo, Ferdinandus Setu, pembatasan layanan data internet di Papua dan Papua Barat dilakukan untuk mempercepat proses pemulihan situasi keamanan dan ketertiban.

“Kebijakan ini dilakukan hingga suasana Papua kembali kondusif dan normal,” kata Ferdinandus dalam rilis yang diterbitkan Kominfo.

***

Gelombang aksi massa di Papua dan Papua Barat pecah pada Senin, 19 Agustus 2019. Mulai dari Jayapura, kemudian merembet ke Manokwari, Sorong, sampai Kabupaten Fakfak, Papua Barat. Di Jayapura, ribuan orang berjalan kaki sepanjang 18 Kilometer dari pusat keramaian di kota itu, Wamena menuju kantor Gubernur Papua. Sedang di Manokwari, massa membakar gedung DPRD pada Selasa, 20 Agustus 2019. Sejauh 400 kilometer dari sana, di Sorong, massa melakukan pembakaran fasilitas publik yang berada di sekitar area Bandar Udara Domine Eduard Osok.

Massa memprotes pengepungan disertai penangkapan terhadap 43 mahasiswa yang dilakukan Polisi dan makian bernada rasisme yang dilakukan sejumlah orang, termasuk orang yang diduga prajurit Tentara Nasional Indonesia (TNI) terhadap sejumlah mahasiswa Papua di Surabaya mulai 16-17 Agustus 2019.

Pengepungan tersebut terjadi beberapa saat setelah para mahasiswa menggelar aksi damai memperingati Perjanjian New York yang diteken Indonesia-Belanda pada 15 Agustus 1962. Perjanjian terkait mekanisme referendum ini kemudian dianggap diselewengkan dalam Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) pada 1969.

Amnesty Internasional menilai, penyerbuan dengan melakukan 23 kali tembakan dan penembakan gas air mata oleh Kepolisian adalah tindakan berlebihan. Terlebih mahasiswa Papua tidak melakukan serangan fisik ke aparat keamanan. Menurut Manajer Riset Amnesty Internasional, Papang Hidayat, gas air mata yang dilontarkan ke dalam rumah bisa berakibat fatal. Seharusnya, para Polisi mematuhi Peraturan Kapolri (Perkap) 1/2009 tentang Penggunaan Kekuatan dalam Tindakan Kepolisian sebelum melontarkan gas air mata ke arah asrama mahasiswa Papua.

“Beberapa kasus mengakibatkan kematian, bisa buta. Jelas ini melanggar hak asasi manusia (HAM),” ujar Papang Hidayat pada Kamis, 22 Agustus 2019.

Perlakuan diskriminasi, rasialisme disertai kekerasan terhadap orang Papua, menurut Papang, melanggar Undang-Undang Nomor 40 tahun 2018 tentang Penghapusan Diskriminasi dan Etnis. UU ini telah memberikan hak kepada setiap warga negara untuk mendapat perlakuan yang sama terkait hak sipil, ekonomi, sosial dan budaya.

Oleh sebab itu, Koordinator Komisi Orang Hilang dan Kekerasan (KontraS), Yati Andriani mengecam tindakan sewenang-wenang yang dilakukan aparatur keamanan. Kata dia, serangan terhadap mahasiswa Papua menunjukkan bahwa Negara sudah tidak lagi memberikan rasa aman bagi warganya sendiri.

“Negara menjadi aktor yang berperan melakukan tindakan rasisme serta pengekangan,” kata Yati.

Tindak kekerasan aparat terhadap mahasiswa Papua di Surabaya menambah panjang daftar kekerasan yang melibatkan Kepolisian Negara Republik Indonesia, Tentara Nasional Indonesia (TNI), juga pemerintah dan organisasi masyarakat. Dalam catatan KontraS, sepanjang empat tahun pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla, sedikitnya telah terjadi 107 pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM) terhadap orang Papua.

Tindak kekerasan tersebut meliputi penangkapan, pembubaran paksa, penganiayaan, intimidasi kegiatan jurnalistik, penjagaan ketat aksi unjuk rasa, penembakan aktivis, penggeledahan asrama sampai dengan ancaman pembunuhan. Tahun ini saja, KontraS mencatat 15 kasus kekerasan terjadi di Malang, Surabaya, Jawa Timur dan Denpasar, Bali. Tindak kekerasan ini berkaitan dengan pembungkaman terhadap aktivitas mahasiswa Papua. Bentuknya mulai dari persekusi hingga pelarangan aksi.

***

Presiden Joko Widodo memerintahkan Kepala Kepolisian Indonesia, Jenderal Tito Karnavian untuk menangkap pelaku diskriminasi terhadap sejumlah mahasiswa Papua di Malang dan Surabaya. Selain itu, Jokowi juga mengajak tokoh adat, masyarakat dan agama di Papua dan Papua Barat bertemu untuk membicarakan pelbagai masalah terkait percepatan kesejahteraan di tanah Papua. Kepala Negara meminta agar seluruh warga Papua merespon tindakan tersebut dengan kepala dingin.

“Saya telah memerintahkan Kapolri untuk menindak secara hukum tindakan diskriminasi ras dan etnis yang rasis secara tegas. Ini tolong digarisbawahi,” intruksi Jokowi di Istana Bogor, Jawa Barat, Kamis, 22 Agustus 2019.

Menteri Koordinator Politik Hukum dan HAM, Wiranto sebelumnya juga menyesalkan adanya peristiwa di Surabaya yang memicu gelombang massa di Papua dan Papua Barat. Ia meminta agar para pimpinan Polri dan TNI mengedepankan tindakan persuasif kepada masyarakat.

“Pemerintah menyesali adanya insiden tentang pelecehan merah putih yang disusul dengan pernyataan negatif oknum hingga memicu aksi di wilayah Papua dan Papua barat,” kata Wiranto dalam keterangan persnya, Senin, 19 Agustus 2019 lalu.

Sementara itu, Koordinator KontraS, Yati Andriyani menilai respon pemerintah terhadap Papua tidak cukup sekadar maaf dan proses hukum bagi aparat yang melakukan rasisme. Menurut dia, persoalan utama di ujung timur Indonesia saat ini terkait dengan ruang hidup bagi masyarakat.

“Tidak hanya langkah hukum dilakukan, tetapi kebijakan politik yang pro Papua harus dilakukan. Termasuk memberikan jaminan perlindungan, pemenuhan hak-hak warga Papua dalam berkumpul, berekspresi dan berpendapat,” tegas Yati.

Melawan Kusta dari Jongaya

Gapura bercat merah putih dengan ornamen kemerdekaan menjadi penanda awal keberadaan Kompleks Jongaya di Kecamatan Tamalate, Kota Makassar, Sulawesi Selatan. Permukiman ini dikenal sejak puluhan

Berlangganan Kabar Terbaru dari Kami

GRATIS, cukup daftarkan emailmu disini.