Gelombang Massa Aksi dan Represi Polisi

Seruan aksi unjuk rasa di hadapan Gedung Dewan DPR/MPR pada 24 September 2019 menyebar di kalangan mahasiswa sejak enam hari lalu. Pesan serupa tidak hanya bergulir di Ibukota. Mahasiswa di pelbagai perguruan tinggi di kota besar pun memekikkan suara yang sama. Mereka menolak pengesahan pasal kontroversial di UU KPK, meminta DPR mencabut rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), RUU Pertanahan, RUU Ketenagakerjaan, RUU Sumber Daya Air, dan mendorong penerbitan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual.

Farhan mahasiswa Universitas Pelita Bangsa (UPB) Bekasi, Jawa Barat salah satu orang yang menerima pesan tersebut. Mengenakan jas almamater berwarna biru, ia bersama teman-temannya meninggalkan bangku kampus yang terletak di Jl. Inspeksi Kalimalang menuju Senayan Jakarta menggunakan kereta commuterline (KRL). Mereka mengorganisasikan diri agar terbebas dari provokator yang menyusup di tengah perjalanan.

“Rombongan UPB menyesaki dua gerbong kereta,” ungkap Farhan kepada Jaring.id, Selasa (24/9).

Tiba di Stasiun Palmerah, mahasiswa yang baru kali pertama berdemonstrasi ini tak menyangka sudah banyak mahasiswa lain menyesaki peron. Mereka berkumpul, sembari menyiapkan beragam atribut demonstrasi, seperti bendera, ikat kepala, dan poster satir yang menyindir kinerja sungsang wakil rakyat.

“Saya bangga, kita berani turun ke jalan. Memperjuangkan rakyat bukan kepentingan elite. Kita tahu itu harus kita perjuangan. Kita harus turun ke jalan,” kata Farhan saat ditemui di sela aksi, Selasa, 24 Sepetember 2019.

Mulai Pukul 13.00 siang, Farhan berbagi ruang dan lelah bersama massa aksi di hadapan pagar tinggi Gedung Dewan Perwakilan Rakyat. Jumlah pengunjukrasa ketika itu, menurutnya, mencapai lebih dari belasan ribu orang.

Pantauan Jaring.id, massa  memenuhi jalan di sekitar Manggala Wanabakti hingga jembatan layang Slipi. Dengan kepadatan 1 orang per 1 meter persegi, perangkat daring mapchecking memperkirakan 20 ribu orang menyemut di kawasan tersebut. Mereka mengajukan mosi tidak percaya dan menuntut agar pimpinan DPR membatalkan pengesahan UU kontroversial.

“Rancangan undang-undang ini tidak masuk akal, “ tegasnya.

Tiga jam berselang, sekitar Pukul 16.15 WIB, aparat keamanan yang mula-mula tampak sabar menghadapi gelombang aksi mahasiswa, tiba-tiba merespons usaha lompat pagar segelintir mahasiswa dengan melontarkan meriam air (water canon) dan gas air mata ke arah massa aksi. Rentetan tembakan itu mengakibatkan ribuan mahasiswa kocar-kacir, sebagian lain melawan seadanya dengan berteriak dan melempari barisan polisi bertameng dan bertongkat dengan segela benda yang bisa dijangkau.

Di tengah kecamuk tersebut, Farhan tidak bisa tidak mundur bersama demonstran lain. Kedua matanya lekas perih. Sesaat memicingkan mata, ia dapati mahasiswa lain tak kuasa menahan paparan gas beracun. Tidak sedikit dari mereka yang terjatuh pingsan, muntah-muntah dan sulit bernafas. Bahkan ada di antara mereka mendapat kekerasan, meski sudah meminta tolong untuk tidak dipukuli.

“Polisi mengejar, masuk mereka ke dalam TVRI,” kata Farhan sembari menarik nafas dalam-dalam.

Pascakerusuhan, kepolisian sempat menangkap 94 pengunjuk rasa di Jakarta. Merujuk data pengaduan yang dikumpulkan Aliansi Masyarakat untuk Keadilan dan Demokrasi (AMUK), puluhan mahasiswa yang ditangkap polisi berasal dari Universitas Indonesia (UI), Universitas Padjadjaran (Unpad), Universitas Kristen Indonesia (UKI), Sekolah Tinggi Ilmu Hukum Bandung (STHB), Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta, Universitas Yarsi dan Institut Kesenian Jakarta (IKJ).

Selain itu, terdapat ratusan orang lain yang dilarikan ke rumah sakit lantaran mengalami sesak nafas, luka-luka dan kelelahan. Seorang mahasiswa Universitas Al-Azhar Jakarta bahkan harus mendapat perawatan intensif setelah ditemukan dalam kondisi kritis dengan luka di kepala. Sedangkan di luar Ibukota, mahasiswa Fakultas Perikanan Universitas Halu Oleo, Kendari, Sulawesi Tenggara bernama Randi tewas ketika tengah berdemonstrasi di DPRD Sultra. Randi diduga ditembak pada bagian dada sebelah kanan.

*****

Adegan mengerikan tersebut, memantik ingatan Usman Hamid Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia pada penanganan buruk polisi terhadap pengunjuk rasa pada 21-22 Mei lalu. Menurut dia, sekalipun pengunjuk rasa melakukan vandalism dan merusak fasilitas publik, pihak Kepolisian harusnya menghormati hak para pengunjuk rasa dengan cara bertindak proporsional sesuai dengan hukum.

“Ini sama dengan penggunaan kekuatan secara berlebihan, termasuk memukul dan menendang tersangka yang sudah ditangkap,” kata Usman.

Sementara itu, Manajer Kampanye Amnesty International, Puri Kencana Putri yang saat itu berada di depan DPR mengungkapkan bahwa pasukan antihuru-hara Kepolisian tidak melakukan tindak penanganan massa dengan benar. Puri menyaksikan sendiri bagaimana aparat Kepolisian bertindak represif tanpa kontrol.

“Meski sulit mengidentifikasi pangkat dan siapa pelaku, kami melihat sendiri bagaiman gas air mata diarahkan sejajar dengan massa. Ini berbahaya karena harusnya diarahkan lebih tinggi,” kata Puri.

Dalam hal ini, menurut Puri, Kepolisian tidak patuh dengan Peraturan Kapolri Nomor 8 tahun 2009 tentang Implementasi Prinsip dan Standar Hak Asasi Manusia dalam Penyelenggara Tugas Kepolisian Republik Indonesia, serta Peraturan Kapolri Nomor 16 Tahun 2006 Tentang Pengendalian Massa. Peraturan ini mengharuskan polisi mengedepankan upaya persuasif ketika berhadapan dengan massa aksi. Itu sebab, Puri mempertanyakan tolok ukur Kepala Kepolisian Jakarta Pusat, Hary Kurniawan ketika membiarkan pasukannya melakukan tindak kekerasan kepada mahasiswa.

“Eskalasi memburuk. Kapolres Jakarta Pusat memutuskan langkah merah (represif-red) ini kita pertanyakan apa ukurannya?” ungkap Puri.

Setelah polisi memukul mundur ribuan mahasiswa, anggota Aliansi Masyarakat untuk Keadilan dan Demokrasi (Amuk), Irine Wardhani menemukan bukti penggunaan gas air mata kadaluarsa. Ia khawatir penggunaan gas air mata produksi PT Pindad tersebut berdampak buruk bagi kesehatan dan keselamatan pendemo.

Kepala Biro Penerangan Masyarakat Mabes Polri, Irjen Dedi Prasetyo tidak menampik adanya penggunaan gas air mata kadaluarsa ketika memukul mundur massa aksi tiga hari lalu. Namun, ia memastikan selongsong tersebut tidak berbahaya. Menurutnya, kadaluarsa justru membikin gas air mata tidak berfungsi maksimal.

“Melempem seperti kerupuk masuk air,” tulis Dedi Prasetyo saat dikonfirmasi Jaring.id melalui pesan singkat WhatsApp pada Rabu 25 September 2019.

Adapun terkait anggota kepolisian yang melakukan kekerasan, Dedi menyebut akan memrosesnya secara setara.

“Semua akan diproses secara equality, baik anggota yang terbukti (melakukan kekerasan) maupun para perusuh yang melakukan tindakan anarkis. Karena rusuh-rusuh sudah merugikan bangsa ini,” imbuhnya. (Abdus Somad & Damar Fery Ardiyan)

Melawan Kusta dari Jongaya

Gapura bercat merah putih dengan ornamen kemerdekaan menjadi penanda awal keberadaan Kompleks Jongaya di Kecamatan Tamalate, Kota Makassar, Sulawesi Selatan. Permukiman ini dikenal sejak puluhan

Berlangganan Kabar Terbaru dari Kami

GRATIS, cukup daftarkan emailmu disini.