Fatia dan Haris Bebas, Isu Papua Tak Boleh Dikesampingkan

Sidang putusan perkara dugaan pencemaran nama baik Luhut Binsar Pandjaitan memutuskan Fatia Maulidiyanti dan Haris Azhar bebas tak bersalah pada Senin, 8 Oktober 2024. Vonis diberikan dalam sidang hari ini di Pengadilan Negeri Jakarta Timur. “Tidak terbukti secara sah dan meyakinkan dalam dakwaan penuntut umum dalam dakwaan pertama, kedua primer, dakwaan kedua subsidair, dan dakwaan ketiga,” kata Ketua Majelis Hakim Tjokorda Gede Astana di PN Jaktim.

Majelis hakim menilai Haris dan Fatia tak terbukti melakukan pidana sebagaimana Pasal 27 ayat 3 jo Pasal 45 ayat 3 Undang-Undang tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) jo Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.

Haris Azhar sebelumnya dituntut oleh jaksa penuntut umum 4 tahun penjara dan Fatia 3 tahun 6 bulan. Haris adalah pendiri Yayasan Lokataru, sedangkan Fatia bekerja sebagai koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS).

Dalam sidang putusannya, majelis hakim memutuskan bahwa keduanya berhak memperoleh pemulihan hak sebagai warga negara. “Memulihkan hak dan martabat hak terdakwa,” kata Hakim.

Dalam siaran persnya, Menko Luhut menghormati putusan hakim tersebut. Luhut menyerahkan sepenuhnya kepada Jaksa Penuntut Umum (JPU) atas proses yang akan diambil berikutnya. Ia percaya bahwa JPU akan melanjutkan proses hukum itu dengan bijaksana dan sesuai dengan aturan hukum yang berlaku. “Setiap putusan pengadilan adalah wujud dari proses hukum yang harus kita hormati bersama,” kata Luhut

Sebelumnya, Luhut menyeret kedua aktivis HAM itu ke ranah hukum atas dugaan pencemaran nama baik. Luhut melaporkan Haris dan Fatia atas konten YouTube Haris Azhar berjudul “ADA LORD LUHUT DIBALIK RELASI EKONOMI-OPS MILITER INTAN JAYA!!JENDERAL BIN JUGA ADA.”

Dalam video tersebut, mereka memaparkan hasil riset sejumlah organisasi masyarakat sipil, antara lain KontraS, Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Papua, Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi), Walhi Papua, Greenpeace, dan Jaringan Anti Tambang (JATAM). Riset yang ditulis berjudul Ekonomi Politik Penempatan Militer di Papua: Kasus Intan Jaya. Riset ini menyoroti bisnis tambang emas di Intan Jaya, Papua.

Oleh sebab itu, jaksa penuntut umum menuntut Haris 4 tahun penjara. “Menuntut supaya majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Timur yang memeriksa dan mengadili perkara ini, memutuskan, menyatakan Haris Azhar terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah,” kata jaksa saat membacakan tuntutan di Pengadilan Negeri Jakarta Timur, Senin 13, November 2023.

Jaksa juga meminta agar Haris dipidana 4 tahun dan didenda Rp 1 juta subsider 6 bulan kurangan. “Menghukum Haris Azhar untuk menjalani pidana penjara selama 4 tahun,” sambung jaksa. Sementara Fatia dituntut hukuman penjara 3,5 tahun penjara.

Kedua dinilai terbukti melanggar pasal 27 ayat 3 juncto pasal 45 ayat 3 Undang-Undang (UU) Nomor 11 Tahun 2008 tentang informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) sebagaimana diubah dalam UU 10 Tahun 2016 tentang perubahan atas UU nomor 11 tahun 2008 juncto pasal 55 ayat 1.

Menanggapi putusan itu Direktur Eksekutif SAFENET, Nenden Arum menyampaikan putusan bebas Fatia dan Haris merupakan angin segar bagi kebebasan berekspresi di Indonesia. “Hal ini menunjukkan bahwa kritik, opini, dan pendapat merupakan hak dan bentuk ekspresi yang sah yang memang seharusnya dilindungi oleh negara dan tidak pantas untuk dipidana,” kata Nenden kepada Jaring.id, Senin, 8 Januari, 2024.

Ia berharap putusan ini bisa menjadi yurispundensi bagi kasus kriminalisasi lainnya yang sedang berproses. “Berharap semoga kasus-kasus kriminalisasi lainnya yang tidak disorot publik dan media mendapatkan keadilan seperti Fatia dan Haris,” ujarnya.

Sementara itu, kuasa hukum Fatia dan Haris, Arif Maulana menyampaikan terima kasih kepada majelis hakim karena telah menentukan keputusan berdasarkan fakta persidangan. Hal tersebut juga menandakan bahwa riset yang disampaikan dalam siaran Youtube merupakan kebenaran riset. “Ini memang membuktikan apa yang disampaikan Fatia dan Haris dalam podcast adalah fakta. Itu adalah kebenaran dan basisnya riset. Sudah dilakukan secara ilmiah. Artinya sejak awal laporan LBP itu harusnya ditolak kepolisian dan bukan tindak pidana. Putusan hakim sudah tepat dan kabar baik sedikit harapan demokrasi kedepan,” kata Arif Maulana kepada Jaring.id, Senin, 8 Januari, 2023.

Selanjutnya, Arif juga menyampaikan keputusan ini merupakan pesan bagi masyarakat agar tidak melancarkan kritik. Sebab hal itu merupakan bagian dari cara mengawasi kekuasaan dan pemerintah. ”Putusan ini adalah pesan dari Sabang dari Merauke aktivis, jurnalis untuk terus bersuara semakin nyaring bersuara supaya oligarki tidak sewenang-wenang dan demokrasi membaik,” kata Arif.

Kuasa hukum Fatia dan Haris menegaskan bahwa putusan ini melegitimasi dugaan konflik kepentingan dan dugaan korupsi pejabat publik di Papua. Karenanya penegak hukum perlu memproses laporan Haris dan koalisi masyarakat sipil ke Polda Metro Jaya terkait dugaan gratifikasi Menteri Koordinator Maritim dan investasi Luhut Binsar Pandjaitan dalam bisnis tambang di Papua. “Harusnya dilakukan penyidikan ke Luhut tidak boleh hukum tajam ke bawah. Panggil dan proses segera itu yang harus dilakukan kepolisian,” kata Arif.

Arif menilai esensi dari proses persidangan Fatia dan Haris tak terlepas dari isu Papua dan konflik kepentingan pejabat publik. Ini karena isu terkait penempatan militer, konflik kepentingan, ekonomi bisnis pejabat publik berakibat pada pengungsian besar-besaran di Papua. ”Dari itu masyarakat Papua kehilangan ruang hidup dan hak kemanusiaannya. Kami berharap solusi persoalan Papua harus dilakukan negara dan pemerintah. Masyarakat Papua menderita,” pungkasnya.

CITES Berburu Data Perdagangan Hiu Indonesia

Surat review of significant trade (RST) dari Sekretariat CITES—lembaga yang mengurusi konvensi perdagangan internasional spesies satwa dan tumbuhan liar terancam punah, dilayangkan ke Kementerian Lingkungan

Berlangganan Kabar Terbaru dari Kami

GRATIS, cukup daftarkan emailmu disini.