Dorong Perempuan Ciptakan Pemilu Inklusif

Penyelenggara pemilihan umum belum banyak diisi oleh perempuan. Sejak tiga periode kepengurusan, kursi komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) didominasi oleh laki-laki. Baik di KPU maupun Bawaslu, jumlah komisioner perempuan tak lebih dari satu orang. Hal tersebut jelas belum memenuhi 30 persen keterwakilan perempuan yang telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum.

Kondisi tersebut diharapkan tidak terjadi pada pemilihan komisioner tingkat provinsi dan kabupaten/kota yang berakhir pada 2023 dan 2024. Titi Anggraini, Dewan Penasihat Perkumpulan Pemilu dan Demokrasi (Perludem) menilai penting bagi komisioner KPU dan Bawaslu periode 2022-2027 merancang peraturan yang dapat memastikan keterwakilan perempuan dalam kepengurusan di daerah. Simak wawancara Jaring.id dengan Titi pada Selasa, 22 Maret 2022 lalu.

Komisioner KPU dan Bawaslu daerah akan berganti pada 2023 dan 2024 nanti. Namun seperti di pusat, pemilihan ini dibayangi dengan minimnya keterwakilan perempuan. Bagaimana pandangan Anda?

Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum diatur perempuan paling sedikit 30 persen. UU tersebut menggunakan frasa memperhatikan paling sedikit 30 persen. Tidak ada tafsir baku boleh dipenuhi, boleh tidak dipenuhi. Regulasi teknis diatur dalam Peraturan KPU dan Peraturan Bawaslu yang dapat memberikan penegasan keterwakilan perempuan lebih dari 30 persen mungkin dilakukan.

Lantas apa yang bisa diupayakan? Mengingat hal ini belum tercapai. 

Di sini KPU dan Bawaslu bisa didorong untuk mendorong tafsir dari frasa memperhatikan keterwakilan 30 persen ini. KPU dan Bawaslu perlu membuat peraturan teknis yang dapat mewajibkan perempuan di komisioner. Bagaimanapun KPU dan Bawaslu harus merebut tafsir 30 persen dengan cara membuat aturan yang mewajibkan. Selain itu, tahapan seleksi harus memuat keterwakilan perempuan 30 persen. KPU dan Bawaslu pusat dapat mewujudkan itu karena mereka punya wewenang.

Ada cara lain agar keterwakilan KPU dan Bawaslu daerah lebih dari 30 persen?

Dalam proses rekrutmen penyelenggara sebenarnya sudah cukup menekankan perempuan. Namun bisa konsisten melibatkan perempuan. Berbagai program partisipasi masyarakat pemilu yang menyasar perempuan itu jadi modal untuk rekrutmen. Dari itu tidak akan ada alasan ketiadaan sumber daya sebagai faktor tidak terisinya perempuan sebanyak 30 persen. Selain itu kan ada langgam berbeda dari seleksi KPU dan Bawaslu di pusat dan daerah. Tingkat nasional ada kepentingan tarik menarik besar karena melibatkan partai politik. Kalau di daerah ruang geraknya mungkin dapat terpenuhi 30 persen karena otoritas itu ada di KPU dan Bawaslu.

Hal lain adalah mendorong tim seleksi yang punya keterwakilan perempuan yang baik. Kalau paradigma tim seleksi sudah baik, maka keterwakilan perempuan tidak sulit diwujudkan. Motivasi itu tercermin dalam keberpihakan dan paradigma.

Sebetulnya cukup banyak calon yang mengikuti seleksi, tapi di tahap akhir hanya dipilih satu perempuan, menurut Anda? 

Ini menjadi catatan yang harus dievaluasi. Proses di DPR hampir menjadi pengetahuan bersama, karena ini proses politik yang kental pragmatisme dari parlemen. Mengapa hanya satu orang? karena tidak lepas dari dukungan politik yang lemah di parlemen. Ini indikasi bahwa paradigma perempuan tidak kuat.

Bagi saya ini belum sepenuhnya inklusif. Seolah pendekatannya minimalis satu perempuan saja cukup. Masalah sebenarnya adalah kepentingan dan paradigma, serta keberpihakan yang tidak utuh untuk mendukung perempuan 30 persen. Saya pikir ini penuh dengan stigma sebagai proses politik yang bebas nilai. Tidak punya perspektif afirmasi. Ini problem besar.

Selain itu kata “memperhatikan” dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum tidak mengikat. Itu menandakan lemahnya regulasi. Celah itu membuat DPR mengabaikan afirmasi dalam seleksi di DPR.

Jika dibandingkan dengan negara di Asia, posisi Indonesia seperti apa? 

Timor leste cukup baik karena jumlah penyelenggara pemilu lebih dari satu. Indonesia diuntungkan sampai dengan kelembagaan parlemen di tingkat provinsi dan kota. Hanya tingkat nasional perempuan minimalis.

Filipina serupa. Kebijakan afirmasi tidak mewajibkan, tapi menjadi pilihan volunteer. Desain permanen di Indonesia sebenarnya memberikan akses partisipasi perempuan lebih baik dibanding Timor Leste, Myanmar, maupun Malaysia. Akses pada posisi lebih besar dan terbuka. Itu kelebihan penyelenggara pemilu di Indonesia.

Apakah bisa dikatakan Timor Leste dan Filipina sudah memiliki kesadaran tentang keterwakilan perempuan?

Filipina dan Timor Leste prosesnya lebih sederhana. Kalau lihat indeks Global Gender Gap, Filipina dan Timor Leste berada di atas Indonesia. Itu menandakan situasinya lebih ramah dan terbuka akan keterikatan perempuan dibanding di Indonesia.

Lantas sebetulnya, seberapa penting peran perempuan dalam penyelenggaraan pemilu?  

Kehadiran perempuan menghadirkan perspektif dan kebutuhan gender, termasuk terobosan regulasi teknis yang menghadirkan kompetisi inklusif dan adil gender. Itu mengapa perempuan penting hadir dalam penyelenggaraan pemilu.

Contoh lain, perempuan penyelenggara pemilu akan lebih mampu mengelola anggaran dengan pendekatan gender budget, sehingga anggaran lebih inklusif dan adil gender. Hal ini akan membawa dampak ikutan dalam tata kelola pemilu.

Melawan Kusta dari Jongaya

Gapura bercat merah putih dengan ornamen kemerdekaan menjadi penanda awal keberadaan Kompleks Jongaya di Kecamatan Tamalate, Kota Makassar, Sulawesi Selatan. Permukiman ini dikenal sejak puluhan

Berlangganan Kabar Terbaru dari Kami

GRATIS, cukup daftarkan emailmu disini.