Di saat kepercayaan publik kepada jurnalis kembali tumbuh, skandal jurnalisme terbaru muncul di Der Spiegel. Sebuah tragedi di era disrupsi teknologi.
Kantor Der Spiegel berdiri menjulang di HafenCity, Hamburg. Dengan tinggi 61 meter, gedung karya arsitek Denmark Henning Larsen ini langsung terlihat begitu kami keluar dari Central Station pada 3 Desember 2018 lalu. Larsen adalah arsitek yang juga mendesain Copenhagen Opera House, gedung opera nasional di Denmark.
Hari itu, Jaring.id bersama tiga jurnalis Indonesia lainnya (The Jakarta Post, Tempo, dan Suara.com) sengaja berkunjung ke Der Spiegel sebagai rangkaian program kunjungan ke kantor media massa di Jerman yang difasilitasi oleh Komisi Jerman untuk UNESCO.
Sekitar lima menit berjalan kaki dari Central Station, melintasi waterfront yang menjadi salah satu landmark Hamburg, kami tiba di depan kantor Der Spiegel. Kantor seluas 30 ribu meter persegi yang terdiri dari 13 lantai ini berarsitektur modern dengan jendela berbingkai baja putih dan fasad kaca. Sang arsitek, menurut keterangan Der Spiegel, ingin mengambarkan tentang jaringan, transparansi, dan komunikasi, seolah itulah esensi Der Spiegel yang harus dipahami publik.
Di lantai 1 gedung, sebuah kalimat menempel pada dinding, terbuat dari huruf timbul, langsung menyedot perhatian kami. “Sagen, was ist.” Katakanlah, apa itu. Di bawah kalimat tersebut, tanda tangan milik Rudolf Augstein.
Augstein adalah pendiri Der Spiegel. Ia meninggal pada 7 November 2002, dua hari setelah merayakan ulang tahunnya yang ke-79.
Der Spiegel berdiri pada tahun 1946 sebagai majalah investigasi yang terbit mingguan. Fokus pemberitaannya terkait dengan penyalahgunaan kekuasaan dan penyelewengan kepentingan publik. Di tahun 1961, Augstein dan sejumlah jurnalis Der Spiegel berurusan dengan Menteri Pertahanan Jerman Franz Josef Strauss gara-gara Der Spiegel memberitakan skandal suap dalam pembangunan fasilitas militer. Gara-gara pemberitaan ini, Der Spiegel dituduh menyebarluaskan rahasia negara. Akibatnya, Augstein dan sejumlah jurnalis Der Spiegel ditangkap dan ditahan selama 103 hari.
Penangkapan tersebut menjadi perhatian publik. Ribuan orang turun ke jalan memprotes penahanan tersebut. Isu kebebasan pers mencuat ke permukaan. Skandal ini kemudian diakhiri dengan mundurnya Strauss dari jabatan dan dibebaskannya para jurnalis Der Spiegel.
“Oplah majalah Der Spiegel saat itu mencapai satu juta,” ujar jurnalis Der Spiegel, Jurgen Dahkamp, yang menjumpai kami di lantai 10 kantor Der Spiegel, Senin sore 3 Desember 2018. Der Spiegel sejak saat itu dikenal sebagai majalah mingguan investigasi terkemuka di Jerman.
Namun sejak era digital, tiras Der Spiegel merosot. “Hari ini, oplah kami hanya sekitar 700.000,” ujar Dahkamp. Oplah tersebut tetap tergolong besar jika dibandingkan oplah media cetak di Indonesia.
Menyiasati merosotnya oplah dan menjaga keberlanjutan Der Spiegel, sejak tahun 2011, perusahaan media tersebut merilis Spiegel Online. Meski Der Spiegel telah memiliki website sendiri sejak 1995, namun Spiegel Online digarap serius sejak tahun 2011 sebagai bagian terpisah dari majalah Der Spiegel. Para jurnalis yang bekerja di newsroom Der Spiegel dan Spiegel Online dibedakan. “Ada 150 jurnalis yang bekerja untuk Spiegel Online,” ujar jurnalis Spiegel Online, Nicolai Kwasniewski.
Rata-rata lima puluh berita diproduksi perhari. Publik bisa mengakses berita yang dirilis Spiegel Online secara gratis. Namun khusus untuk in-depth reporting (berita mendalam), publik harus membayarnya dengan cara menjadi pelanggan online. Dengan menjadi pelanggan berbayar, publik bisa mengakses berita mendalam yang dirilis Spiegel Online sekaligus sejumlah berita in-depth dan investigasi yang dirilis Der Spiegel.
Di era digital, penghasilan yang diperoleh Spiegel Online mengungguli keuntungan dari iklan yang didapat oleh Der Spiegel. Keuntungan yang diperoleh Spiegel Online, diakui oleh Dahkamp dan Kwasniewski, menopang keberlanjutan Der Spiegel. Spiegel Online juga serius menggarap media sosial mereka sebagai upaya mengukuhkan brand Spiegel.
Dari aspek kualitas, Kwasniewski mencoba meyakinkan bahwa Spiegel Online juga tetap berusaha menjaga kualitas berita, bukan sekadar mengejar kecepatan tayang. “Good journalism itu penting, apapun bentuk/mediumnya,” ujar Kwasniewski.
Spiegel Online bahkan memiliki tim investigasi tersendiri yang terdiri dari 5 jurnalis. Sedangkan tim investigasi di majalah Der Spiegel, menurut Dahkamp, terdiri dari 4 jurnalis. Guna memastikan kualitas berita, Spiegel bahkan memiliki 70 orang fact checker yang hampir semuanya adalah jurnalis.
Skandal Relotius
Pada hari pertemuan kami dengan Dahkamp dan Kwasniewski, seorang jurnalis Der Spiegel, Claas Relotius, mendapatkan penghargaan bergengsi Deustcher Reporterpreis 2018 di Berlin untuk kategori reportase terbaik. Deutscher Reporterpreis merupakan ajang penghargaan tahunan yang diberikan kepada para jurnalis terbaik di Jerman.
Relotius adalah salah satu jurnalis Jerman yang langganan memperoleh penghargaan tersebut. Ia pernah mendapatkan penghargaan tersebut di tahun 2013, 2015, dan 2016. Selain langganan penghargaan Deutscher Reporterpreis, jurnalis usia 33 tahun tersebut juga pernah terpilih sebagai “Journalist of the Year” versi CNN di tahun 2014. Ia juga memenangkan European Press Prize tahun 2017. European Press Prize adalah penghargaan bagi jurnalis di 47 negara di Eropa yang dilakukan sejak tahun 2012.
Namun siapa sangka 16 hari setelah pengumuman penghargaan tersebut, Spiegel mengeluarkan laporan yang menyebut bahwa Relotius telah mundur dari Der Spiegel. Ia terbukti “mengarang cerita dan menciptakan protagonis” setidaknya pada 14 dari 60 artikel yang ia buat di Der Spiegel dan Spiegel Online sejak bergabung di media tersebut di tahun 2011 sebagai freelancer. Ia baru direkrut sebagai jurnalis Spiegel sejak tahun 2017. Relotius mengajukan pengunduran diri pada Senin 17 Desember 2018 setelah mengakui bahwa ia mengarang cerita dan melakukan wawancara yang tidak pernah terjadi pada sejumlah artikel yang ia buat.
Penipuan yang dilakukan Relotius, menurut Serikat Jurnalis Jerman DJU, merupakan skandal jurnalisme terbesar kedua di Jerman setelah skandal buku harian Adolf Hitler yang dibuat oleh jurnalis Majalah Stern pada tahun 1983. Skandal buku harian Hitler membuat oplah majalah mingguan Stern, yang juga berkantor di Hamburg, turun drastis dari 1,8 juta menjadi 1,2 juta.
“Belajar dari skandal (buku harian Hitler) tersebut, kami menambah fact checker di redaksi dari 1 orang menjadi 8-10 orang,” kata Redaktur Pelaksana Majalah Stern, Cornelia Fuchs, saat ditemui Jaring.id di ruang kerjanya, Rabu 5 Desember 2018.
Namun dalam kasus Relotius, keberadaan fact checker Spiegel ternyata tidak cukup efektif. Penipuan Relotius justru awalnya terendus oleh Juan Moreno, rekan sesama jurnalis yang menjadi co-author (penulis pendamping) di salah satu artikel Relotius. Moreno mengumpulkan bukti untuk membenarkan kecurigaannya.
Editor Der Spiegel awalnya membela Relotius dan menuding Moreno memfitnah. Namun ketika semakin banyak bukti ditemukan atas penipuan yang dilakukan Relotius, Özlem Gezer, wakil kepala bagian “Gesellschaft” (masyarakat) majalah dan atasan langsung Relotius, mengatakan kepada Relotius bahwa ia tidak lagi mempercayainya.
Esoknya, Relotius mengajukan pengunduran diri dan mengakui sejumlah penipuan yang telah ia lakukan dengan menyebut itu sebagai upayanya untuk menghindari kegagalan. Pascamencuatnya skandal tersebut, Relotius kemudian mengembalikan empat penghargaan Deutscher Reporterpreis yang telah ia terima dan CNN pun mencabut penghargaan “Journalist of the Year” yang diberikan ke Relotius di tahun 2014.
Skandal Relotius mengingatkan publik terhadap skandal jurnalisme serupa yang terjadi di banyak tempat, di antaranya Janet Cooke dari The Washington Post, Jayson Blair dari The New York Times, Christopher Newton dari The Associated Press, Stephen Glass dari The New Republic, dan Jack Kelley dari USA Today.
Mereka dikenal sebagai jurnalis-jurnalis andal dan berhasil membangun reputasi sebagai jurnalis yang disegani karena berhasil menggondol sejumlah penghargaan bergengsi dalam dunia jurnalistik. Sayangnya, penipuan yang mereka lakukan membuat seluruh reputasi tersebut runtuh.
Melukai Kepercayaan Publik
Skandal Relotius, menurut Ketua Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Abdul Manan, menjadi alarm bagi seluruh media, termasuk media di Indonesia. “Apa yang menimpa Der Spiegel ini menjadi noda hitam dalam sejarah jurnalisme dan butuh waktu untuk memulihkan kepercayaan publik. Tidak hanya kepada Der Spiegel, tapi juga jurnalisme secara umum”, ungkap Manan kepada Jaring.id, Jumat 21 Desember 2018.
Padahal dalam laporan 2018 Edelman Trust Barometer terlihat, tingkat kepercayaan publik terhadap jurnalis mulai meningkat setahun terakhir seiring dengan merosotnya tingkat kepercayaan publik kepada media sosial.
Munculnya skandal jurnalisme seperti kasus Relotius dikhawatirkan akan kembali menggerus kepercayaan publik kepada jurnalis. Meskipun hasil survei Edelman Trust Barometer di 28 negara menunjukkan tingkat kepercayaan publik kepada media di Indonesia masih cukup tinggi, yakni sekitar 68 persen, nomor dua setelah Tiongkok, bukan tidak mungkin tingkat kepercayaan ini akan merosot. Jerman sendiri berada pada urutan ke-15 dengan tingkat kepercayaan publik ke media hanya sebesar 42 persen.
Menurut Manan, salah satu kontribusi terhadap munculnya skandal ini adalah karena obsesi pribadi Relotius yang terlalu besar untuk membuat karya terbaik dan takut gagal dalam kompetisi yang memang sangat ketat di dunia media.
Karena itu tetap penting menyimpan curiosity pada produk jurnalistik. Ekosistem yang sehat terjadi ketika publik, narasumber, dan jurnalis tetap skeptis pada fakta yang mereka baca,” – Bagja Hidayat, Redaktur Pelaksana Investigasi Majalah Tempo –
Hal senada diungkapkan Redaktur Pelaksana Investigasi Majalah Tempo, Bagja Hidayat. Menurutnya, pangkal skandal Relotius adalah keserakahan. “Relotius jelas merancang semua cerita bohongnya dengan rapi sampai penelitian tim cek fakta Der Spiegel tidak mengendus niat jahat itu, kecuali Juan Moreno,” ungkapnya. Bagja melihat Relotius adalah korban ambisi, dan kemungkinan akibat persaingan keras para jurnalis untuk menghasilkan cerita dahsyat dalam karier mereka.
Sementara Manan menilai faktor persaingan dan kompetisi di dunia media tidak terhindarkan. “Dari sisi media, yang bisa dilakukan adalah dengan memperbaiki mekanisme deteksi dini dari kemungkinan munculnya kasus seperti ini,” jelasnya. Juga adanya mekanisme pelaporan dari dalam atau dari luar media untuk mendeteksi sejak dini jika ada gejala semacam itu.
Bagja melihat apa yang dilakukan Der Spiegel sudah sesuai porsinya dengan menginvestigasi kesalahan internal dan mengumumkannya kepada publik lalu minta maaf. “Sehingga pembaca tetap percaya bahwa mereka menjunjung nilai-nilai jurnalisme. Sebab kita tahu Spiegel melakukan proses cek sebelum publikasi. Sistem mereka, dan mungkin sistem manapun, yang tidak bisa menjangkau niat jurnalisnya,” ungkap Bagja.
Kasus Relotius, menurut Bagja, memberi pelajaran pada jurnalis dan publik, bahwa jurnalisme tetap menyimpan kelemahan. “Karena itu tetap penting menyimpan curiosity pada produk jurnalistik. Ekosistem yang sehat terjadi ketika publik, narasumber, dan jurnalis tetap skeptis pada fakta yang mereka baca,” demikian Bagja. (Fransisca Ria Susanti)