“Sekarang sepi sekali. Tidak ada pembeli. Tapi mau pulang kampung juga nggak ada kerjaan,” kata Vera, perempuan asal Banyuwangi yang membuka usaha kerajinan bersama sang suami di wilayah Ubud.
Nasib serupa dialami Ida Ayu Tatiani, seorang pedagang di Pantai Jerman, Kabupaten Badung, Bali. Sejak tiga bulan lalu, ia tak punya sumber penghasilan apapun dan hanya bergantung dari bantuan sembako dari desa.
“Tidak ada penghasilan apa apa. Walaupun ada bantuan sembako dari desa, bosan juga diam di rumah terus,” kata Dayu, sapaan akrabnya.
Lantaran hal itu, Dayu mendukung rencana pemerintah daerah membuka kembali tempat wisata di Bali. Sekalipun khawatir terpapar virus corona baru, ia mengaku tidak punya banyak pilihan lain selain berjualan di tempat wisata.
Suramnya nasib Vera dan Dayu tercermin dalam data Badan Pusat Statistik yang mencatat bahwa jumlah kunjungan wisatawan mancanegara ke Bali pada periode Januari-Mei 2020 berkisar di angka 1.050.000 orang. Jumlah tersebut anjlok 54.47 persen dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu.
Akibatnya, pertumbuhan ekonomi di pulau dewata mengalami perlambatan hingga minus 1,14 persen pada triwulan I tahun ini. Angka tersebut jauh di bawah pertumbuhan ekonomi Pulau Dewata yang mencapai 5,6 persen pada 2019.
Ketua Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia (PHRI) Badung, IGN Rai Suryawijaya, menilai pembukaan kembali sektor pariwisata sebagai langkah yang tak bisa dihindari.
“Kalau pariwisata tidak segera dibuka, hotel-hotel akan semakin kesulitan karena kemampuan keuangan yang semakin terbatas. Semakin banyak orang yang akan kehilangan pekerjaan. Jadi, produktif dengan penerapan protokol kesehatan yang ketat memang seharusnya menjadi pilihan saat ini,” ujarnya.
***
Berbeda dengan usaha kebanyakan yang baru dibuka kembali 9 Juli lalu, obyek wisata Toya Devasya di Kabupaten Bangli sudah buka lebih awal. Pemandian air panas yang terletak di tepi Danau Batur itu sempat tutup selama hampir tiga bulan sejak 23 Maret-15 Juni 2020.
“Selama tutup, sebagian karyawan kami rumahkan karena praktis kami tidak ada pendapatan sama sekali, sementara biaya maintenance tetap harus dibayar,” ujar salah satu manajer Toya Devasya Hot Spring Waterpark, Marini Katherina.
Dalam kondisi normal, menurut Marini, Toya Devasya bisa mendapatkan penghasilan kotor hingga Rp 100 juta per hari. Sedangkan saat ini, usaha pemandian ini merugi hingga miliaran Rupiah hingga harus merumahkan sekitar tiga perempat karyawannya. Saat ini, hanya sekitar 60 pekerja yang masih bekerja di Toya Devasya.
“Selama tutup, mereka kerja bersih-bersih, mengecat, dan berbagai pekerjaan lain di luar job desk-nya. Karena kami melakukan pembersihan besar-besaran,” kata Marini.
Ia mengklaim, pembukaan kembali Toya Devasya tak semata mempertahankan bisnis perusahaan. Warga sekitar turut mendesak pengelola untuk membuka pemandian.
“Karena kalau kami buka, ekonomi sekitar juga jalan. Banyak masyarakat sekitar berjualan kopi, pisang goreng atau jual hasil pertaniannya. Kalau di sini buka, katanya ada saja pengunjung yang singgah berbelanja,” ungkapnya.
***
Sebagai upaya pencegahan corona di kawasan wisata, pemerintah daerah Bali bakal menerapkan sistem sertifikasi Protokol Kesehatan dan Pencegahan Covid-19. Sertifikasi menyasar obyek wisata, hotel, restoran dan berbagai tempat usaha. Sistem sertifikasi itu disebut menggunakan berbagai indikator yang sesuai dengan standar cleanliness, health and safety (CHS) yang ditetapkan WHO dan dijadwal rampung Oktober mendatang.
“Jadi protokol kedatangan, pelayanan serta kebersihan tempat usaha harus memenuhi semua indicator ini,” tegas Kepala Dinas Pariwisata Bali, Putu Astawa.
Pengamat kebijakan publik dari Universitas Udayana, Ni Made Ras Amanda Gelgel menyebut pemerintah Bali seharusnya lebih berhati-hati ketika membuka kembali keran pariwisata.
“Apakah sudah benar benar siap? Apakah sarana penunjang kesehatan kita sudah siap? Kalau memang dilakukan bertahap, apakah terukur? Harus benar benar terukur, kapan kita akan masuk ke tahapan berikutnya atau kapan kita harus tutup kembali,” kata Amanda.
Amanda menganjurkan agar pemda berupaya lebih keras untuk menekan kasus infeksi Covid-19.
“Kalau gagal dan angka kasus Covid-19 cenderung meningkat, atau bahkan menjadi klaster baru, akan sangat sulit untuk memperbaiki kembali citra Bali. Itu akan jadi sorotan dunia. Sama halnya, pariwisata Bali menggali lubangnya sendiri,” tegasnya.