Cuan Hilang, Luka Menyalang

Sidang dugaan Tindak Pidana Perdagangan Orang (TPPO) yang menjerat IClean Services Sdn Bhd di Mahkamah Klang, Malaysia pada 7 Januari 2020 memupus harapan puluhan pekerja migran Indonesia. Hakim Mahkamah Klang menyatakan IClean tidak terbukti melakukan pelanggaran hukum sekalipun kedapatan menampung puluhan orang dari beberapa negara di Asia Tenggara.

Diana (27)—bukan nama sebenarnya—Ialah satu dari 8 pekerja migran yang melaporkan perusahaan jasa pembersih tersebut kepada Majelis Anti Pemerdagangan Orang dan Anti Penyelundupan Migran (MAPO) pada 25 November 2019. Perusahaan ini dilaporkan lantaran melakukan tindak kekerasan, membatasi akses komunikasi pekerja, serta tidak memenuhi upah 10 bulan kerja sebesar 12000 Ringgit Malaysia atau sekitar Rp 43 juta.

Nasib naas Diana tak berhenti di ruang sidang. Kepolisian Diraja Malaysia tetiba menghadang Diana dan 51 pekerja migran lain di luar ruang persidangan. Mereka digelandang ke Perbadanan Negeri Kemajuan Selangor (PKNS) Shah Alam, lalu dijebloskan ke Tahanan Imigrasi Semenyih Malaysia.

“Kami diborgol di sana. Kami kencing saja diborgol,” terangnya menceritakan proses penahanan pada awal Januari lalu kepada Jaring.id, Selasa, 11 Agustus 2020.

Selama proses penahanan, Diana kerap menjadi sasaran kekerasan verbal, fisik, dan psikologis dari Petugas Imigrasi Malaysia.

“Yang mukul tidak cuma satu, ramai cewek-cowok. Saya melihat kalau (tahanan) laki-laki sering dipukul pakai pipa kecil” ungkapnya.

Sepengakuan Diana, terdapat 200-an orang Indonesia yang turut ditahan bersamanya ketika itu. Bersama mereka, ada juga pekerja migran asal Filipina, Kamboja, dan Myanmar.

Sel yang ditempati Diana bersama puluhan orang lainnya hanya dipisahkan sekat transparan dengan sel sebelah. Walhasil, tahanan laki-laki dapat melihat tahanan perempuan, begitupun sebaliknya. Para tahanan beristirahat tanpa alas di lantai. Berbagai kebutuhan dasar seperti air, makanan, tempat tidur, pembalut, dan obat juga tidak dipenuhi dengan layak.

***

Peristiwa nahas serupa juga dialami Ayu (28)—bukan nama sebenarnya. Ia dikirim ke Malaysia oleh PT Sofia Sukses Sejati. Namun, pada 2017, perempuan asal Jawa Tengah ini ditahan Imigrasi Malaysia lantaran dianggap melanggar aturan imigrasi. Padahal, ia memiliki dokumen lengkap, seperti paspor dan visa kerja.

“Kami dianggap melanggar izin perjanjian. Di tahanan kami dibentak-bentak,” ujar Ayu tersedu mengisahkan perlakuan petugas kepada Jaring.id, Senin 21 Agustus 2020.

Ayu ditempatkan di Blok F Sel Nomor 12 yang dihuni oleh 20 tahanan dari berbagai negara. Kata Ayu, dirinya diperlakukan seperti bukan manusia. Ikan laut yang sudah keras dan sayur busuk dihidangkan sebagai makanan. Air minum yang ditenggak para tahanan juga berbau kaporit.

Para tahanan diharuskan duduk dengan posisi lutut kaki sejajar dengan dada sembari menunduk. Petugas imigrasi tidak segan mengeluarkan makian hingga pukulan jika ada yang membangkang. Ayu bahkan sempat menjadi bulan-bulanan petugas hanya karena tidak mengikat rambutnya.

“Kalau tidak punya ikat rambut, kadang pakai tali bra atau sobekan baju,” ujarnya.

Akibat dari perlakuan itu, banyak tahanan yang menderita sakit. Dari gatal-gatal, batuk, sampai diare. Kebutuhan pembalut untuk tahanan perempuan juga tidak dipenuhi. Mau tak mau, mereka bersiasat dengan menyobek kain pakaian yang mereka kenakan sebagai ganti pembalut.

“Kami tidak diobati. Minta obat saja tidak dikasih. Kami sakit sembuh sendiri, lalu sakit lagi,” ujar Ayu.

***

Koordinator Koalisi Buruh Migran Berdaulat, Musdalifah Jamal, menyebut pemerintah Malaysia melakukan deportasi massal sejak Desember 2019 hingga Juli 2020 terhadap pekerja migran. Pandemi Covid-19 jadi salah satu alasannya.

Sebagian besar pekerja migran yang ditahan Imigrasi Malaysia sebelum dideportasi, mendapat perlakukan kasar. Dari 33 orang pekerja yang Musdalifah dampingi, seluruhnya mengaku mengalami tindak kekerasan.

“Kami menemukan praktik penyiksaan dan hukum berlangsung secara massif,” kata perempuan yang karib dipanggil Ifha kepada Jaring.id, Jum’at, 18 Agustus 2020.

Perempuan yang sudah 20 tahun mendampingi pekerja migran ini menceritakan bahwa ruang tahanan imigrasi di Malaysia sudah bertahun-tahun dijadikan tempat mempertontokan kekerasan terhadap pekerja asal Indonesia. Namun, menurutnya, pemerintah kurang aktif melakukan pamantauan maupun melaporkan dugaan kekerasan tersebut.

“Itu perlu diperhatikan pemerintah. Ini untuk menghentikan kriminalisasi atau penangkapan sewenang-wenang buruh migran yang tidak berdokumen,” tegasnya merujuk deportasi pada masa pandemi Covid-19.

***

Pemulangan besar-besaran pekerja migran Indonesia dilakukan oleh pemerintah Malaysia selama pagebluk. Kementerian Luar Negeri mendapatkan nota diplomatik dari pemerintah Malaysia mengenai 4.812 orang deportan. Dari angka tersebut, Kemenlu mengklaim telah memulangkan 894 sepanjang Juni-Juli 2020. Adapun alasan pemulangan pekerja migran asal Indonesia disebabkan sejumlah hal, antara lain perbuatan kriminal, pengguna narkotika, pelanggaran imigrasi, dan kebijakan kuncitara selama Covid-19

Direktur Perlindungan Warga Negara Indonesia dan Badan Hukum Indonesia Kementerian Luar Negeri, Judha Nugraha menjelaskan bahwa jumlah deportan berpotensi bertambah. Pasalnya dari 3,3 juta pekerja yang ada di Negeri Jiran, hanya 1,2 juta diantaranya yang memiliki dokumen.

“Bayangkan mereka berpotensi melanggar imigrasi,” kata Judha Nugraha kepada Jaring.id.

Koalisi Buruh Migran Berdaulat ragu dengan kesiapan pemerintah Indonesia menangani pemulangan massal pekerja migran. Pasalnya, fasilitas pengobatan dan layanan kesehatan mental, serta tempat karantina di penampungan BP2MI di setiap wilayah tidak memadai. Padahal, menurutnya, tidak sedikit pekerja mengalami depresi dan trauma berat sepulang dari Malaysia.

“Tidak adanya persiapan mengantisipasi deportasi,” ujar Koordinator Koalisi Buruh Migran Berdaulat, Musdalifah Jamal.

Kondisi tersebut diakui Ketua Badan Perlindungan Pekerja Imigran Indonesia (BP2MI) regional Makassar, Agus Bustam. Ia mengaku kelimpungan menghadapi gelombang pemulangan pekerja migran. Hingga September 2020, ada sebanyak 1400 pekerja migran yang sudah dipulangkan menggunakan jalur laut.

Pemulangan dilakukan melalui jalur laut dengan menggunakan KM Talia dan Bukit Simatupang. Perjalanan dari Pelabuhan Tawan, Malaysia, transit di Pelabuhan Nunukan, Kalimantan Selatan, hingga mendarat di Pelabuhan Pare-Pare, Sulawesi Selatan makan waktu 2-3 hari.

“Saya pusing, bagaimana memulangkan ke daerah. Saya hubungi gubernur masing-masing. Ternyata pemerintah kabupaten dan provinsi kaget, mereka tidak siap, mereka kebingungan,” kata Agus.

Pemulangan ini bertambah sulit lantaran sejumlah pekerja perlu mendapatkan perlakuan khusus. Tidak sedikit dari mereka yang trauma dan mendapat tindak kekerasan selama proses penahanan di Imigrasi Malaysia. Menurut Agus, hampir seluruh pekerja yang ditahan Imigrasi Malaysia pulang dengan kondisi luka-luka.

“Luka-luka banyak. Kalau yang tidak dari penjara, mulus tidak luka,” ujarnya kepada Jaring.id, Selasa 1 September 2020.

Direktur Perlindungan Warga Negara Indonesia dan Badan Hukum Indonesia Kementerian Luar Negeri, Judha Nugraha mengaku sudah mendapat informasi mengenai dugaan tindak kekerasan di tahanan Imigrasi Malaysia. Namun, ia mengklaim, tidak satu pun dari korban yang melayangkan laporan tindak kekerasan.

“Tentu kami perlu tahu orangnya (korban-red), kekerasannya seperti apa, di mana, dan kapan terjadi. Kami lakukan untuk ditindaklanjuti ke otoritas di Malaysia,” kata Judha kepada Jaring.id, Jum’at 4 September 2020.

Ketika ada pengaduan, Judha memastikan pihaknya akan melakukan penyelidikan hingga menempuh jalur hukum. Ia juga akan menjamin keselamatan korban dan memberikan hak-haknya sebagai korban tindak kekerasan. Ini sesuai Peraturan Menteri Luar Negeri Nomor 5 Tahun 2018 tentang Perlindungan WNI di Luar Negeri.

“Jangan ragukan kami untuk melakukan perlindungan semaksimal mungkin, Kami akan usut, tentu saja kami tidak terima warga kami mengalami penyiksaan tanpa sebab. Segala bentuk penyiksaan tidak dapat dibenarkan,” tegas Judha.

Jaring.id telah berupaya mengonfirmasi kekerasan yang dialami pekerja migran Indonesia di Tahanan Imigrasi Malaysia. Ketua Pengarah Imigresen Malaysia, Datuk Khairul Dzaimee Daud memilih irit bicara ketika kami mengajukan pertanyaan mengenai dugaan kekerasan yang dilakukan petugas Imigrasi Malaysia sebelum pemulangan.

“Saya belum siap memberikan peryataan. Silakan ditanyakan kepada Kedutaan Indonesia di KL (Kuala Lumpur),” tulisnya dalam pesan singkat kepada Jaring.id pada Rabu, 23 September 2020.

Pendamping hukum dari Migrant Care, Fitri Lestari mendesak pemerintah untuk memberikan perlindungan yang serius terhadap warga negara Indonesia yang merantau ke luar negeri.

“Harusnya mereka yang dideportasi berhak mendapatkan rehabilitasi sosial, integrasi sosial,” kata Fitri merujuk Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2017 tentang Perlindungan Pekerja Imigran.

Bahkan, menurutnya, Pasal 15 Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 18 Tahun 2018 tentang Jaminan Sosial Pekerja Imigran Indonesia menjamin perawatan maupun pengobatan bagi pekerja. “Namun banyak dari mereka yang tidak mendapat akses tersebut,” ujar Fitri.

Jaring.id mencoba mengonfirmasi soal jaminan sosial tersebut kepada Menteri Tenaga Kerja Ida Fauziyah. Namun, hingga berita ini diterbitkan, ia tidak menjawab panggilan telepon maupun pesan singkat melalui WhatsApp.

CITES Berburu Data Perdagangan Hiu Indonesia

Surat review of significant trade (RST) dari Sekretariat CITES—lembaga yang mengurusi konvensi perdagangan internasional spesies satwa dan tumbuhan liar terancam punah, dilayangkan ke Kementerian Lingkungan

Berlangganan Kabar Terbaru dari Kami

GRATIS, cukup daftarkan emailmu disini.