Koordinator Paguyuban Korban UU ITE (PAKU), Muhammad Arsyad menyatakan bahwa imbas Undang-Undang Transaksi Informasi dan Elektronik (UU ITE) terhadap korban sangat besar dan berkepanjangan. Menurut dia, tidak sedikit para korban yang tergabung dalam PAKU ITE mengalami trauma. Arsyad sendiri mengaku tidak bisa melupakan proses hukum maupun pemenjaraan UU ITE terhadap dirinya tujuh tahun silam.
Saat itu, Arsyad dituntut 7 bulan penjara lantaran dianggap melanggar Pasal 27 ayat 3 Undang-Undang Informasi dan Elektronik (UU ITE). Pelapornya ialah anggota DPRD Kota Makassar dari Partai Golkar. Arsyad dianggap mencemarkan nama baik pengusaha Nurdin Halid karena menulis pernyataan di Black Berry Messenger (BBM). Akibat pelaporan itu, Arsyad sempat mendekam di penjara selama 100 hari sebelum divonis bebas oleh Hakim Pengadilan Negeri Makassar, Sulawesi Selatan pada 28 Mei 2014.
“UU ini tidak hanya menghukum kami, tapi juga menghukum keluarga kami,” ucap Arsyad dalam peluncuran buku Matinya Kebebasan Berpendapat, Ketika Para Korban UU ITE Bertutur dan microsite semuabisakena.jaring.id pada Rabu, 23 Juni 2021.
Arsyad berharap buku dan microsite ini mampu mendorong pemerintah mencabut pasal-pasal bermasalah dari UU ini. “Lewat buku dan microsite ini saya berharap masyarakat luas seribu kali memikirkan untuk melaporkan. Hanya karena sakit hati dan ketersinggungan lalu memutuskan untuk menyiksa kami dan keluarga kami,” ungkap Arsyad.
Dalam acara peluncuran tersebut, empat korban UU ITE lain menceritakan bagaimana dampak UU ITE terhadap keluarganya. Kisah mereka juga menjadi materi dalam buku serta microsite semuabisakena.jaring.id, di antaranya disampaikan oleh Baiq Nuril, Vivi Nathalia, Wadji dan Diananta Putra Sumedi. Diananta yang berprofesi sebagai jurnalis bahkan sangsi kegiatan jurnalistik yang ia lakukan saat ini dapat dilindungi oleh Undang-Undang Nomor 40 tahun 1999 tentang Pers.
“Melihat peluncuran buku ini saya teringat kejadian yang saya alami. Bulan ini mengingatkan saya pada peristiwa setahun ini setahun lalu saya harus hidup sendirian di penjara. Saya diasingkan ke Polres Kotabaru, Kalimantan Selatan. Begitu kejamnya UU ITE ini. Cukuplah pemerintah, janganlah bikin persoalan seperti ini. Sudah cukup banyak korban UU ITE. Baik dosen, masyarakat biasa, jurnalis, ibu rumahtangga, siapa pun bisa kena,” ungkap Diananta.
Buku dan microsite yang menampung cerita korban UU ITE ini terbit atas prakarsa SAFEnet— Southeast Asia Freedom of Expression Network dan Paguyuban Korban UU ITE (PAKU ITE), serta media nirlaba Jaring.id yang didirikan oleh Perhimpunan Pengembangan Media Nusantara (PPMN). Peluncuran ini turut disaksikan oleh Komisioner Kompolnas Poengky Indarti, anggota Komisi III Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Taufik Basari Taufik Basari, Komisioner Komnas HAM Mohammad Choirul Anam serta Direktur Eksekutif SAFEnet Damar Juniarto.
Direktur Eksekutif PPMN, Eni Mulia menjelaskan bahwa buku yang baru diluncurkan memuat 10 cerita korban UU ITE. Antara lain Baiq Nuril, Saiful Mahdi, Wadji dan Diananta Putra Sumedi. Sedangkan microsite semuabisakena.jaring.id dibuat dengan pendekatan crowd-source journalism. “Pelibatan masyarakat untuk berpartisipasi dalam proses pengumpulan berita telah menjadi tren di sejumlah media di Amerika dan Eropa, namun di Indonesia ini masih merupakan hal baru. Kami berharap makin banyak organisasi media di Indonesia yang melakukan inisiatif semacam ini guna mendorong lahirnya liputan-liputan yang lebih berdampak,” jelas Eni.
Eni mengatakan kolaborasi ini juga menunjukkan bahwa sejumlah pasal di UU ITE tidak hanya menyasar kelompok tertentu, tapi hampir semua kalangan. Mulai dari jurnalis, aktivis, pengacara, mahasiswa, hingga ibu rumah tangga. Jika tidak ada revisi total terhadap UU ITE, menurut Eni, maka akan semakin banyak korban UU ITE yang berjatuhan.
Sampai saat ini, laman semuabisakena.jaring.id memuat sekitar 316 data dari 768 kasus UU ITE sepanjang 2016-2020, serta 8 cerita korban. Sementara berdasarkan salinan putusan Mahkamah Agung dari 2013-2021 (kuartal pertama) terdapat 1842 kasus berkaitan UU ITE. Angka ini diyakini akan terus bertambah karena microsite tersebut menggunakan pendekatan crowd-source journalism.
Salah satu pengelola microsite, Damar Fery Ardiyan mengajak para korban UU ITE di pelbagai daerah dapat menceritakan kisahnya melalui situs ini. Informasi yang disampaikan oleh korban akan ditindaklanjuti secara kolaboratif oleh Jaring.id, SAFEnet dan Paku ITE. “Kami meluncurkan microsite ini dengan harapan dapat menampung lebih banyak cerita atau testimoni korban UU ITE, sehingga fakta-fakta mengenai ganasnya UU ini dapat terhimpun dan tergambarkan secara lebih luas,” ujarnya.
Anggota Komisi III DPR, Taufik Basari mengapresiasi peluncuran buku dan microsite semuabisakena.jaring.id. Menurutnya, cerita korban UU ITE merupakan fakta yang tidak bisa disangkal oleh pemerintah dan perlu dijadikan pertimbangan untuk merevisi UU ITE. “Kalau bicara soal keinginan soal revisi UU ITE terhadap pasal tertentu, itu jadi harapan kita. Sekarang bola ada di pemerintah. Mudah-mudahan ada revisi. Kita harus berangkat dari fakta terhadap penyangkalan tadi,” terangnya.
Sementara itu, Komisioner Kompolnas Poengky Indarti mengakui implementasi dari UU ITE telah melebar dari tujuan pembuatannya. Sebelumnya, UU ini dimaksudkan untuk melindungi masyarakat dari kejahatan di jagat maya. Tapi dalam perjalanannya justru digunakan untuk membatasi kemerdekaan pendapat seseorang di media sosial. “Dari testimoni saya mencatat kasus yang seharusya dianggap kritik sehingga tidak tepat jika dianggap pencemaran nama,” kata Poengky.
Oleh sebab itu, Poengky menyarankan agar Polri lebih preventif dan preemtif dalam mengusut kasus hukum yang terkait UU ITE. Selain itu, penting bagi masyarakat untuk diberikan edukasi terkait penggunaan media sosial. Kata dia, masyarakat perlu lebih memerhatikan unsur-unsur pelanggaran ketika menyampaikan pendapatnya di medsos. “Kami menganggap UU ITE masih diperlukan, tetapi ada pasal karet perlu direvisi. Ada usulan revisi,” ujarnya.
Sebelumnya Presiden Joko Widodo pada pertengahan Februari lalu menggulirkan gagasan untuk merevisi UU ITE. Kementerian Komunikasi dan Informatika kemudian menindaklanjuti ucapan presiden itu dengan membentuk tim pedoman pelaksanaan UU ITE yang akan membuat intrepretasi resmi atas peraturan tersebut. Sementara Kementerian Koordinator Politik, Hukum dan Keamanan membentuk tim pengkaji yang bekerja semala tiga bulan.
Hasilnya pemerintah memutuskan bakal merevisi empat pasal dalam UU ITE. Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD menjelaskan, revisi tersebut satu paket dengan penambahan satu pasal dalam UU ITE, yakni Pasal 45C. Adapun empat pasal yang akan direvisi ialah Pasal 27, Pasal 28, Pasal 29 dan Pasal 36.
Berbeda dengan pemerintah, menurut Direktur Eksekutif SAFEnet, Damar Juniarto revisi UU ITE mesti dilakukan secara menyeluruh. Mencakup Pasal 26 Ayat (3), Pasal 27 Ayat (1), Pasal 27 ayat (3), Pasal 28 Ayat (2), Pasal 29, Pasal 36, Pasal 40 Ayat (2a) dan (2b) serta Pasal 45 Ayat (3). Menurut Damar, pasal-pasal bermasalah dalam UU ITE tersebut telah menekan indeks demokrasi di Indonesia selama ini.
Organisasi seperti Freedom House menempatkan Indonesia sebagai negara dengan partly free atau setengah bebas. Sementara Economist Inteligence Unit (EIU) mencatat penurunan indeks demokrasi. Indonesia hanya menduduki peringkat ke-64 dunia dengan skor 6.3. Meski peringkat tak turun, skor Indonesia turun dari sebelumnya, yakni 6.48.
“Tapi kami mendengar dan membaca sendiri perbaikan-perbaikan yang diinginkan itu seperti lakon cerita Godot menunggu Tuhan, seperti pungguk merindukan bulan, seperti menunggu lebaran kuda. Upaya-upaya ini seperti menemui tembok tebal bernama kekuasan yang maha antikritik yang hidup dalam alam post truth. Selalu menganggap dirinya benar tanpa melihat lebih teliti kebenaran yang dipercayainya itu,” katanya.
Komisioner Komnas HAM Mohammad Choirul Anam menyarankan agar pemerintah menggunakan cerita korban, baik yang disampaikan dalam buku maupun microsite sebagai basis untuk memandang UU ITE saat ini. Menurutnya, upaya revisi yang tengah dilakukan pemerintah mesti diarahkan pada penyelesaian kasus di luar pemidanaan. Pasalnya Kepolisian memiliki tugas lain yang tak kalah penting dalam kaitannya dengan kebebasan berekspresi. “Salah satunya siar kebencian. Dalam hal ini ada layernya apakah itu pidana atau edukasi,” ungkap Anam.
Anam wewanti-wanti agar UU ITE tidak lagi dijadikan perangkat kekuasaan untuk menjerat lawan. “Orang dituduh sebagai jabatannya atau disinggung sebagai pribadinya. Menurut saya, meletakan singgungan soal berekspresi itu sebenarnya diserahkan ke masing-masing pihak dengan dibuka ruang gugatan perdata bukan pidana. Memang reputasi itu dijaga sendiri. Bukan Negara. Negara hanya memastikan kalau ada orang yang menggugat ya dilayani, tapi itu levelnya gugatan bukan pemidanaan,” jelasnya. (Debora B. Sinambela)