SEJUMLAH kapal usang tertambat di tiang sandar Pelabuhan Benjina, Kepulauan Aru, Maluku, pada Sabtu 8 Juni 2024. Di antaranya terdapat KM Antasena, kapal eks asing asal Thailand yang sempat hilang saat moratorium kapal eks asing diberlakukan pada 2014. Lepas 10 tahun, cat kuning dan merah yang sebelumnya menutupi lambung kapal kini tampak memudar. Sementara bagian kapal yang terbuat dari kayu mengalami pelapukan dengan besi mulai lodoh.
Saat Jaring.id dan Tempo berkunjung ke pelabuhan yang kini dikelola oleh PT Industri Perikanan Arafura (IPA) tersebut, tidak ada aktivitas perikanan yang terlihat. Lemari pendingin di gudang penyimpanan bahkan mulai berkarat.
Pelabuhan Benjina berkapasitas tampung sebesar 750 GT dengan panjang dermaga hingga 62 meter. Satu dasawarsa lalu Benjina menjadi jantung perekonomian di Kepulauan Aru. Hiruk pikuk pelabuhan ini merosot setelah kasus perbudakan dan perdagangan orang yang terjadi di sana terungkap pada 2015.
Tujuh tahun berselang, Menteri Kelautan dan Perikanan Sakti Wahyu Trenggono meneken Surat Keputusan Menteri KKP Nomor 43 Tahun 2022 pada 24 Juni 2022. Keputusan itu merupakan penetapan Pelabuhan Benjina sebagai pelabuhan perikanan yang tidak dibangun oleh pemerintah. Namun, Benjina tak lantas menggeliat. Menurut Direktur PT IPA, Agus Kurniawan, fasilitas pelabuhan Benjina sampai saat ini masih dalam perbaikan. “Beberapa kapal kami coba perbaiki secara bertahap. Namun, setelah dicoba dioperasikan masih mengalami kendala terutama di engine dan sistem pendingin. Jadi kami perlu evaluasi secara lebih komprehensif untuk mengatasi kendala itu,” katanya melalui jawaban tertulis pada Minggu, 22 September 2024.
“Saat ini sudah ada 1 cold room kapasitas 400 ton, dan sedang finishing penambahan 2 cold room,” tambahnya.
Salah seorang pengelola Benjina yang kami temui di lokasi, Zuhri Sugiat menyatakan perbaikan fasilitas dilakukan setelah Trenggono hendak meluncurkan program modeling Penangkapan Ikan Terukur (PIT) di Benjina pada Senin, 3 Juni 2024, atau 5 hari sebelum kami menyambangi pelabuhan tersebut. “Pelabuhan ini baru diperbaiki saat menteri datang. Semuanya dikebut, hampir 60 orang kerja,” kata dia.
***
Benjina bukan satu-satunya pelabuhan yang mendapat perlakuan khusus dari Menteri KKP. Trenggono juga meneken Keputusan Menteri KKP Nomor 40 Tahun 2022 tentang Penetapan Pelabuhan Tual, Maluku sebagai Pelabuhan Perikanan yang Tidak Dibangun Pemerintah. Penetapan ini juga ditandai dengan kunjungan menteri pada Minggu, 2 Juni 2024. Di pelabuhan swasta milik PT Samudera Indo Sejahtera (SIS) itu ia juga meluncurkan program PIT.
Kami sempat memantau kegiatan menteri yang melibatkan 187 kapal asal Pantai Utara Jawa (Pantura) itu. Sekitar 30 menit sebelum acara berlangsung, para awak yang berdiri di atas kapal KM IGP 18 milik PT Insani Gemilang Pualam— anak usaha Artha Graha Group, menurunkan ikan dari kapal.
Dari dermaga itu pula tiga kapal berkelir biru dan merah dengan kode lambung TMP 51, 52, dan 53 bersandar. Data Kementerian Perhubungan mencatat kapal itu bertonase kotor 220 GT dan menggunakan alat tangkap jaring hela udang berkantong.
Nelayan dari Paguyuban Mitra Nelayan Sejahtera, Siswo Purnomo menyatakan jaring hela udang berkantong yang telah diizinkan pemerintah tak ubahnya jaring trawl. “Kami pelaku usaha perikanan tangkap resah dengan beroperasinya kapal pukat udang di WPP 718,” ujarnya melalui pesan WhatsApp, Rabu, 9 Oktober 2024.
Gerakan Nelayan Pantura pun mengeluhkan hal serupa. Koordinator GNP, Kajidin menilai penggunaan jaring hela udang berdampak buruk pada ekosistem laut. Bahkan, jaring hela udang dapat merusak jaring nelayan lain. “Mereka akan terjang alat tangkap kami yang membuat hancur. Ikan juga akan habis. Karena alat tangkap tak ramah lingkungan,” katanya melalui sambungan telepon, Kamis, 10 Oktober 2024.
Sejumlah nelayan yang kami temui menyatakan bahwa kapal TMP mudah dikenali karena bukan kapal baru. Ketiganya adalah kapal eks asing yang dahulu bernama lambung Wogekel 21, Wogekel 23, dan Wogekel 17 dan dimiliki PT Dwikarya Reksa Abadi atau Grup Dwikarya. Pemerintah mencabut izin usaha perikanan (SIUP) dan izin penangkapan ikan milik PT Dwikarya Reksa Abadi pada 2014. Dwikarya sempat menggugat keputusan tersebut di Pengadilan Tata Usaha Negara dan naik hingga kasasi. Namun, hasilnya menguatkan keputusan menteri KKP.
Dokumen hasil analisis dan evaluasi (ANEV) yang dibuat oleh Satgas 115–unit kerja KKP yang dibentuk untuk memberantas penangkapan ikan ilegal–menyebut sederet pelanggaran yang dilakukan Dwikarya. Mulai dari membayar upah di bawah upah minimum provinsi (UMP), menyuap penegak hukum, mempekerjakan awak kapal asing, melakukan transhipment, menggunakan alat tangkap trawl dan BBM ilegal, menyelundupkan minuman keras serta barang elektronik, hingga menyelundupkan satwa dilindungi asal Maluku dan Papua.
Kini, kapal Wogekel telah diregistrasi ulang dengan nama lambung TMP dan kepemilikan alat tangkap yang diklaim berbeda. Pemiliknya adalah PT. Trinadi Mina Perkasa yang didirikan pada Agustus 2021. Trinadi mengantongi Surat Izin Usaha Perikanan pada Januari 2022. Data Kementerian Kelautan dan Perikanan mencatat bahwa perusahaan ini mengajukan SIUP baru sebulan kemudian. Namun, permohonan tersebut ditolak berulang kali karena berbagai alasan dan baru disetujui pada April 2024. Sebulan kemudian, SIUP baru Trinadi dan izin dua kapal TMP kembali diterbitkan KKP.
***
Pada awal pendirian, sebagian besar saham Trinadi dimiliki oleh PT. Indo Mina Lestari yang terbentuk sebulan sebelumnya. Rino Febrian, menantu dari Menteri Sekretaris Negara, Pratikno ikut menanamkan modal di Indo Mina pada April 2022. Belakangan, Indra Nugroho Trenggono, anak dari Menteri Perikanan dan Kelautan, Sakti Wahyu Trenggono ikut tercatat sebagai pemilik.
Kalangan pengusaha yang beroperasi di wilayah pengelolaan perikanan (WPP) 718, 714, dan 715 mengaku tak asing dengan nama Indra dan Rino dalam bisnis perikanan di Timur Indonesia. Kongsi keduanya secara langsung memang hanya tercatat melalui kepemilikan saham di Indo Mina. Namun, jejaring kepemilikan Indo Mina menjalar ke berbagai perusahaan perikanan lainnya.
Berbagai usaha konfirmasi kepada Indra dan Rino sudah dilakukan. Pada hari Rabu, 25 September 2024, kami mendatangi kediaman Indra di Bekasi, Jawa Barat. Hanya saja Indra tidak berada di kediamannya dan surat tersebut diterima oleh aparat Tentara Nasional Indonesia Angkatan Laut yang menjaga rumah tersebut.
Sehari sebelumnya, pada Selasa, 24 September 2024, kami juga menyambangi alamat Rino yang tercatat di akta perusahaan. Namun upaya konfirmasi tak membuahkan hasil lantaran Rino tak berada di rumah.
Dua pekan setelahnya, Rabu, 9 Oktober 2024, kami juga mendatangi kantor Indo Mina Lestari di Jakarta Selatan. Suasana kantor tampak sepi, pada tembok belakang meja resepsionis terpasang nama-nama perusahaan yang berkantor di lokasi tersebut. Selain Indo Mina Lestari ada juga nama PT. Indo Numfor Pacific dan PT Trinadi Mina Perkasa.
Manajer perusahaan, Afi menyampaikan Indra dan Rino jarang berada di kantor. Ia juga menyampaikan bahwa Indo Mina Lestari merupakan holding dari perusahaan-perusahaan lain yang berkantor di sana. Ia juga mengamini kalau perusahaan-perusahaan tersebut dimiliki oleh Indra dan Rino.
Di hari yang sama, kami mendatangi kantor PT Global Seafood Indonesia lantai 6 Plaza 3 Indah, Pondok Indah, Jakarta Selatan. Rino tercatat sebagai direktur sekaligus pemegang saham di perusahaan tersebut. Namun, saat menuju lantai yang dimaksud, kami hanya menemukan ruang kosong, gelap, dan pengap.
Resepsionis gedung tersebut mengatakan Global Seafood tak pernah berkantor di gedung tersebut. Hal serupa disampaikan oleh Tri Yulianto, satpam gedung. “Tidak pernah ada, kosong. Memang alamatnya benar, tapi perusahaan itu tidak ada,” ujarnya.
Menteri Sekretaris Negara, Pratikno mengakui bahwa menantunya terjun ke bisnis perikanan. “Itu belum tergarap dengan baik dan jarang anak muda yang bergerak di bidang itu,” kata Pratikno dalam jawaban tertulis pada Senin, 7 Oktober 2024.
Selama mematuhi peraturan yang ada, Pratikno mengklaim, kongsi bisnis yang dilakukan menantunya sah untuk dilakukan. “Pejabat terkait level teknis hingga pengambil keputusan telah memberikan izin yang berarti sudah melewati prosedur yang ditetapkan,” katanya.
Dalam jawaban tertulis itu Pratikno menyebut tidak turut campur dalam pekerjaan anak-anaknya. Ia pun menyanggah adanya potensi konflik kepentingan di antara jabatannya sebagai Mensesneg dengan bisnis perikanan yang dijalankan menantunya. Kecuali, kata dia, menantu dan anaknya terlibat dalam bisnis pengelolaan Gelora Bung Karno (GBK) dan PPK Kemayoran yang berada di bawah Setneg.
“Saya sendiri tidak pernah terlibat dalam pekerjaan profesional anak-anak. Toh mereka lebih paham sektor yang digelutinya. Anak-anak juga tidak ada yang masuk ke wilayah bisnis yang bersangkutan dengan kewenangan saya selaku Mensesneg. Konflik kepentingan akan sangat mungkin terjadi kalau pemangku kewenangan sebagai regulator juga memiliki kepentingan ekonomi langsung, entah bisnis atau sekedar jasa konsultasi di bidang tersebut,” jelas Pratikno.
Sementara itu, berbagai upaya kami melakukan konfirmasi kepada Sakti Wahyu Trenggono tak berbuah hasil. Dalam tiga kesempatan berbeda, ia menghindar ketika kami hendak mengajukan pertanyaan. Alih-alih menjawab secara langsung, ia meminta kami bertanya pada Wahyu Muryadi, Staf khusus Menteri Kelautan dan Perikanan.
Wahyu mengakui keterlibatan anak Trenggono dalam bisnis perikanan. Namun, menurutnya, bisnis yang digeluti Indra berskala kecil. “Bisnis dia ikan cupang kok dan itu bukan cuan besar. Rino bisnis trading,” katanya.
Data perdagangan yang kami akses melalui Panjiva mencatat kalau PT. Maluku Prima Makmur melakukan pengiriman tuna seberat 373 ton dengan nilai US$423.900 (setara dengan Rp6,6 miliar) pada 2022. Pada tahun berikutnya, perusahaan tersebut mengirim 547 ton tuna senilai US$583.500 (Rp9,1 miliar). MPM merupakan perusahaan yang 55% sahamnya dimiliki Indo Mina Lestari.
***
Tiga narasumber menyebut bahwa Menteri KKP, Sakti Wahyu Trenggono sejak lama ingin terjun ke bisnis perikanan. Pada 2015, ia pernah menemui Susi Pudjiastuti, Menteri Kelautan dan Perikanan di periode pertama pemerintahan Presiden Joko Widodo. Trenggono meminta agar Susi memberikan izin operasi kapal miliknya di Laut Arafura. Permintaan tersebut ditolak lantaran KKP sedang melakukan moratorium izin kapal eks asing.
Staf khusus Menteri Kelautan dan Perikanan Wahyu Muryadi membenarkan cerita itu. “Yang memperkenalkan beliau dengan Bu Susi itu saya,” katanya ketika ditemui di Sentul International Convention Centre, Bogor, Jawa Barat, Kamis, 26 September 2024.
Waktu itu, kata Wahyu, Trenggono ditawari berbisnis ikan oleh PT Dua Putra Utama Makmur yang berbasis di Pati, Jawa Tengah. Namun, Trenggono memilih mundur karena ongkosnya kelewat mahal dan pengurusan izin kapal memerlukan waktu lama. “Akhirnya beliau mundur dan tidak jadi,” kata Wahyu.
Tak lama setelah ditunjuk Presiden Jokowi menjadi Menteri KKP, mantan wakil menteri pertahanan itu bertekad menjalankan sejumlah program, seperti perluasan ruang konservasi laut dan penangkapan ikan terukur dengan cara menghidupkan kembali sejumlah pelabuhan yang dulu ditutup Susi. Di antaranya Pelabuhan Benjina, Pelabuhan Tual, Pelabuhan Wanam, Pelabuhan Merauke, Pelabuhan Ambon, dan Pelabuhan Avona. “Lima titik ini akan menjadi industri sentral mulai penangkapan, pengolahan dan pemasaran,” kata Trenggono dalam lawatannya ke Pelabuhan Tual, Senin, 1 Juni 2024.
Dalam kunjungan itu santer terdengar apabila Indra, anak menteri Trenggono hendak mengakuisisi Pelabuhan Benjina dari PT Industri Perikanan Arafura (IPA). Beberapa pengusaha perikanan menyebut bahwa anak Menteri KKP ini meminta bantuan Direktur Perizinan dan Kenelayanan KKP, Ukon Ahmad Furqon untuk mengumpulkan pengusaha yang menangkap ikan di Laut Arafura. Pertemuan kemudian dilakukan di salah satu hotel di Jakarta Pusat dan para pengusaha perikanan diminta agar melabuhkan kapal serta mendaratkan tangkapannya di Pelabuhan Benjina. Hasil tangkapan tersebut kemudian bakal dikelola oleh perusahaan milik Indra.
Ukon juga membantu melobi pengusaha agar mau menjalin kerjasama dengan PT IPA dan PT SIS dalam menjalankan program PIT. Pertemuan sempat digelar sebanyak dua kali. Pertama terjadi Jakarta. Pertemuan lanjutan terjadi di Hotel Tentrem Yogyakarta. Lobi-lobi itu menghasilkan kesepakatan bersama yang akan ditindaklanjuti dengan keputusan kesepakatan harga jual ikan.
Saat dikonfirmasi melalui panggilan telepon, berkirim pesan melalui whatsapp, dan surat, Ukon enggan menjawab pertanyaan yang telah diajukan. Keengganan yang sama dilakukan Indra juga menteri KKP. “Ke Wahyu Muryadi, juru bicara menteri saja,” ujarnya buru-buru menutup jendela pintu mobil pasca menghadiri kegiatan santap siang ikan Jedar Perch yang diselenggarakan di Gedung Mina Bahari III, pada Kamis, 3 Oktober 2024.
***
Upaya menghidupkan kembali Pelabuhan Benjina juga pernah dibahas di kantor Wakil Presiden. Dalam sebuah pertemuan yang dihadiri pejabat kantor Wakil Presiden, termasuk Staf khusus Wakil Presiden Bidang Komunikasi dan Informasi, Masduki Baidlowi, peluang masuknya investor baru di pelabuhan tersebut turut dibahas bersama isu efisiensi bahan bakar minyak.
Masduki memberikan penjelasan terkait pertemuan tersebut melalui sambungan telepon pada Senin, 7 Oktober 2024. Namun, ia menolak untuk dikutip.
Dalam dokumen KKP, Benjina diproyeksikan menjadi salah satu pelabuhan ekspor di Wilayah Pengelolaan Perikanan 718 yang meliputi Laut Aru, Laut Arafuru, dan Laut Timor bagian Timur. Di kawasan perikanan itu, Kementerian menaksir potensi nilai industri perikanan Benjina mencapai lebih dari Rp6,9 triliun per tahun.
Staf khusus Menteri Kelautan dan Perikanan KKP Wahyu Muryadi mengatakan bahwa Trenggono tidak tertarik mengakuisisi pengelolaan Pelabuhan Benjina dari PT IPA. “Terus terang saya baru dengar. Saya tidak tahu. Pak menteri saja tidak tertarik. Setahu saya, tidak ada urusan Erik (panggilan Indra) mau mengurus Benjina. Mahal itu. Bisnis dia ikan cupang kok. Kecil lho,” katanya pada Jumat, 27 September 2024.
Dihubungi terpisah, Direktur PT IPA Agus Kurniawan pun membantah adanya pembahasan penjualan perusahaan sebagai pengelola Pelabuhan Benjina. “Saat ini kami hanya melakukan pembahasan yang mendalam kerjasama dengan Koperasi Mitra Nelayan Samudera Pati. Jadi sampai saat ini, tidak ada kesepakatan atau perjanjian dengan pihak manapun,” jawabnya melalui secara tertulis pada Minggu, 22 September 2024.
Artikel ini merupakan bagian dari serial investigasi kejahatan perikanan di Indonesia Timur yang merupakan kolaborasi Jaring.id dan Tempo dengan mendapatkan dukungan dari Pulitzer Center. Kamu bisa menyimak tulisan lain serial ini: