Pintu bangunan yang sedianya digunakan sebagai pos pengamanan tersebut digembok ketika Tim JARING mendatanginya pada Kamis, 21 Juli 2016 lalu.Tak tampak ada aktivitas manusia di sekitarnya. Hanya sesekali burung hitam tampak terbang rendah hingga menyentuh permukaan air kolam yang jaraknya 50 meter dari pos jaga.
Di tepian kolam papan bertuliskan “BERBAHAYA!!!DILARANG BERMAIN, BERENANG, DAN MANCING DI KOLAM INI” mulai tertutup ilalang. Tak ada pagar, hanya parit selebar kurang dari satu meter memisahkan kolam dengan jalan akses ke kolam tersebut.
Kolam tersebut merupakan lubang bekas tambang batu bara yang berada di wilayah konsesi Transisi Energy Satunama. Pada 25 November 2015 lalu, Aprilia Wulandari meregang nyawa di lubang tersebut. Jenazahnya diketemukan menjelang kumandang adzan magrib.
Lubang tersebut, menurut keterangan warga sekitar, sudah dua tahun menganga. Sebelum kematian Aprilia tidak ada pos jaga, pagar, dan rambu peringatan di sekitarnya.
Data Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Kaltim menyebut Aprilia merupakan salah satu dari14 anak yang tenggelam di lubang bekas tambang di Kota Samarinda sejak Juli 2013 hingga saat laporan ini diturunkan. Mereka meninggal di 12 lokasi lubang yang berbeda.
Pemerintah provinsi bukannya tinggal diam melihat situasi ini. Pada Desember 2015, Gubernur Kaltim Awang Faroek menghentikan operasi 11 perusahaan tambang. Sementara itu, Kementerian Lingkungan Hidup, pada bulan Maret 2016, dengan kuasa dimiliki dalam UU Lingkungan Hidup, menghentikan sementara kegiatan 2 perusahaan, yaitu PT CEM (Cahaya Energi Mandiri) dan PT ECI (Energi Cahaya Industritama).
“UU Lingkungan Hidup memberikan kewenangan kepada Menteri (Kehutanan dan) Lingkungan Hidup untuk melakukan tindakan jika ada keresahan masyarakat dan dirasa bahwa Pemda tidak melakukan pengawasan.” Demikian disampaikan Vivien Rosa, Direktur Pengaduan, Pengawasan dan Sanksi Administrasi, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan yang ditemui JARING di Jakarta, awal Agustus 2016.
Namun penutupan lubang tambang menimbulkan masalah baru. Dewi Sartika, warga RT 17, Kelurahan Mugirejo, merasa terganggu dengan kegiatan PT CEM yang tak kenal waktu. “Mereka bekerja sampai malam,” katanya, Senin 8 Agustus 2016. Jarak rumah Dewi dengan lokasi penimbunan PT CEM kurang lebih 50 meter.
Dewi kemudian mengadukan gangguan tersebut ke Badan Lingkungan Hidup Samarinda setelah sebelumnya sempat melakukan aksi blokir jalan hauling tempat lalu-lalangnya kendaraan operasional PT CEM.
Dalam kesempatan sama, Kepala Teknik Tambang PT CEM Eka Widyasari mengatakan, gangguan yang dirasakan Dewi disebabkan oleh kegiatan PT TBK, kontraktor yang ditugaskan menutup lubang L27.“Itu memang salah satu lubang yang direncanakan untuk ditutup tahun ini,” katanya.
Ketua Komisi Pengawas Reklamasi dan Pascatambang Kaltim, Bambang Sudarmono, menilai menjamurnya lubang adalah imbas dari tidak dilaksanakannya praktik pertambangan yang baik (good mining practice). Salah satu aspek pertambangan yang baik, lanjutnya, adalah penerapan metode backfilling yakni penimbunan lubang bekas tambang dengan menggunakan material tanah sisa pengupasan batubara dari lubang tambang yang baru dibuka.
Backfilling sempat diatur dalam Peraturan Daerah Kota Samarinda No.12 Tahun 2013 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara Dalam Wilayah Kota Samarinda.Pasal 34 Perda tersebut berbunyi: “Dalam rangka memberi jaminan keselamatan dan kelestarian lingkungan serta upaya menekan korban nyawa manusia, maka sistem pertambangan dengan metode backfilling (sistem buka tutup) wajib dilakukan oleh setiap pemegang IUP/ IUPK dan IPR.”
Ketika harga batubara melejit, banyak perusahaan pertambangan membuka lubang baru tanpa mempertimbangkan kapasitas backfilling. “Ruangan itu (lubang lama) nggak cukup menampung material tanah dari lubang baru.Perusahaan menambang, ambil (material tanah) lalu buang ke luar. Akhirnya semua materialnya di luar,” jelas Bambang, Senin 8 Agustus 2016.
Sebagai tambahan informasi, metode backfilling jamak dicantumkan perusahaan pertambangan dalam dokumen mengenai Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (Amdal) yang diajukan ke pemerintah. Dokumen Kerangka Acuan Analisis Dampak Lingkungan (KA-Amdal) PT Energi Cahaya Industritama misalnya, mencantumkan metode ini sebagai kegiatan utama reklamasi/rehabilitas lahan.
“Kualitas Amdal itu sangat buruk. Logikanya begini, kamu gali lubang ambil 10 kubik, 1 kubiknya ini batubara, 9 kubiknya kamu kembalikan, masih ada lubang nggak?,” terangnya. Dalam praktik, lanjut Bambang, hanya 50 persen tanah hasil pengupasan yang bisa digunakan untuk material penimbun lubang baru.
Senada dengan Bambang, anggota Komisi Pengawas Reklamasi dan Pascatambang, Ibrahim, menyebut persoalan lubang tambang harus dikembalikan kepada dokumen Amdal. “Apakah Amdalnya meninggalkan lubang tambang atau tidak.Kalau dia meninggalkan lubang tambang, harus ada revisi Amdal,” jelasnya, Senin 8 Agustus 2016.
Persoalan yang juga kerap muncul saat ini, lanjut Ibrahim, adalah ketidaksinkronan dokumen Amdal dengan dokumen rencana reklamasi. Menurutnya, ada perusahaan yang menyebut akan meninggalkan void pada akhir kegiatan pertambangan dalam dokumen recana reklamasinya, tetapi hal tersebut tidak tercantum dalam dokumen Amdal.“Itu karena konsultan pembuat rencana reklamasinya tidak membaca dokumen Amdal,” terangnya.
Masalah Amdal pada perusahaan pertambangan di Samarinda juga sempat disoal Badan Pemeriksa Keuangan. Dalam LHP (Laporan Hasil Pemeriksaan) BPK atas Pengelolaan Pertambangan Batubara Tahun Anggaran 2006 dan 2007 pada Pemerintah Kota Samarinda dan Pemegang Kuasa Pertambangan di Samarinda disebutkan bahwa terdapat izin usaha pertambangan yang terbit sebelum dokumen Amdal disampaikan.
“Walikota seharusnya memberikan izin usaha pertambangan setelah mempertimbangkan pemenuhan persyaratan yang harus dipenuhi oleh pemohon. Persyaratan tersebut dapat berupa kesanggupan dari segi keuangan dan pengelolaan dampak lingkungan serta persyaratan lainnya sesuai dengan ketentuan,” tulis laporan tersebut.
Direktur Kelompok Kerja (Pokja) 30 Samarinda Carolus Tuah menganggap banyaknya izin usaha pertambangan yang terbit di Samarinda hanya dalam jangka waktu tiga tahun sebagai hal yang ganjil.
“Periode 2000 hingga 2005 hanya ada 2 atau 4 izin (pertambangan) karena waktu itu batu bara bukan komoditi penting. Dari 2005 ke 2008 tiba-tiba terbit 38 izin, artinya per bulan ada izin terbit. Apa iya studi Amdal itu cukup satu bulan?” terangnya.
Tuah menilai hal tersebut sebagai indikasi bahwa pemerintah Kota Samarinda secara aktif mengundang pengusaha untuk melakukan kegiatan pertambangan di Kota Tepian dengan mempermudah perizinan. Pemberi izin, lanjutnya, juga memfasilitasi semua kecurangan dan siasat agar perusahaan pertambangan tidak dipidanakan ketika melakukan pelanggaran hukum.