Sejak kasus pertama Covid-19 diumumkan Presiden Joko Widodo pada 2 Maret lalu, rumah sakit mulai kelimpungan menangani pasien. Hingga Minggu, 5 April 2020, jumlah pasien yang teridentifikasi positif Covid-19 mencapai 2273 orang. Dari jumlah itu, pasien yang dinyatakan sembuh sebanyak 164 orang dan 198 meninggal.
Sejauh ini, Presiden Jokowi sudah meneken Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2020 tentang Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) dan Peraturan Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2020 tentang Kebijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan.
Jaring.id mewawancarai Ketua Satgas Covid-19 Ikatan Dokter Indonesia (IDI), Prof. Zubairi Djoerban mengenai kebijakan yang sudah diambil pemerintah dan perlu diperbaiki untuk menangani pandemi. Ia yakin, jumlah kasus terdeteksi saat ini hanya puncak dari gunung es.
Bila angka kasus di Indonesia tembus puluhan ribu, Guru Besar Fakultas Ilmu Kedokteran Universitas Indonesia tersebut menilai, kapasitas sistem kesehatan negeri ini tidak akan mampu berbuat banyak. Apalagi gerak pemerintah pusat dirasa jauh lebih lambat ketimbang daerah. Berikut petikan wawancara yang dilakukan di Rumah Sakit Kramat, Pasar Senen, Jakarta Pusat pada Rabu, 1 April lalu.
Bisa Anda jelaskan bagaimana situasi saat ini?
Yang terjadi hanya permukaan gunung es. Kalau menelusuri lebih jauh, sebenarnya banyak sekali pasien Covid-19 di Indonesia. Namun, belum terdeteksi. Sudah banyak perhitungan para ahli yang menunjukkan bahwa jumlahnya sekarang sudah tinggi. Kalau melihat peta dunia, skala di Indonesia bisa mirip seperti Korea Selatan, Italia, Spanyol maupun Amerika Serikat. Saya memerkirakan paling sedikit 10.000 jiwa, sedangkan maksimal bisa mencapai 370.000 jiwa.
Apakah Indonesia berbeda negara lain? tentu saja tidak. Soal penularan, kita pasti menyerupai salah satu dari mereka. Bohong kalau kita tidak akan seperti negara lain. Kita akan merasakan penambahan pasien setiap harinya. Jangan kaget kalau angkanya bisa mencapai 10.000. Logikanya, jumlah penduduk kita terbanyak ke empat di dunia. Dari hal itu saja tidak mungkin sedikit yang terinfeksi.
Apa yang terjadi kalau sudah mencapai 10.000 kasus?
Akan terjadi beds ICU penuh. Sewaktu-waktu kita akan kehabisan tempat di rumah sakit. Alatnya seperti ventilator juga akan habis semua. Kita akan kewalahan seperti banyak negara lain. Sangat mungkin angkanya bisa mencapai 10.000 jiwa yang terinfeksi. Maka dari itu, kita semua, rumah sakit, dan pemerintah harus siap dengan jumlah pasien sebanyak itu. Fasilitas kesehatan juga harus disiapkan untuk menampung 10.000 pasien dalam waktu satu minggu. Kalau bisa kapasitas fasilitas kesehatannya siap untuk 20.000 pasien. Kita harus buat perencanaan setiap minggu, kita harus cepat. Meski pendek, kita masih punya banyak waktu. Negara lain sudah mencapai 10.000 hingga 100.000. Kita harus segera melakukan tindakan.
Bagaimana kapasitas rumah sakit saat ini?
Saat ini, pasien yang dirujuk ke rumah sakit penanganan Covid-19 sudah tidak bisa (ditangani) karena penuh. Selain itu, ketika ada pasien dalam pengawasan (PDP) yang biasanya akan langsung dibawa ke rumah sakit rujukan, saat ini tidak bisa dilakukan. Butuh jalur yang panjang. Dari hal itu rumah sakit nonrujukan bersedia melakukan perawatan. Kalau positif saja yang perlu dirawat, mungkin masih bisa ditampung. Namun, kalau ditambah dengan PDP yang harus menunggu hasil, ditambah orang dalam pengawasan (ODP) bisa mengakibatkan rumah sakit penuh. Pemerintah memang sudah menyediakan Wisma Atlet, namun di sana hanya untuk isolasi diri dan karantina. Saat ini, dibutuhkan banyak tempat tidur, serta peralatan yang memadai.
Lantas apa yang perlu dilakukan?
Saat ini harus memanfaatkan fasilitas di rumah sakit nonrujukan. Rumah sakit rujukan, seperti (RS) Persahabatan, lalu Rumah Sakit Penyakit Infeksi Sulianti Saroso sudah penuh dan sering kedatangan pasien. Untuk itu, rumah sakit yang lain harus siap dan menyiapkan diri.
Apa sebab yang mengakibatkan orang dengan status ODP dan PDP meregang nyawa sebelum dinyatakan positif? Apakah penanganan kita yang masih lambat?
Saya sendiri melakukan tes pada Selasa, 24 Maret lalu, selesainya Senin, 30 Maret. Jadi butuh waktu selama satu minggu. Lalu ada juga dokter yang membutuhkan waktu sembilan hari, namun sampai saat ini belum ada hasil. Saya bisa katakan, sembari menunggu hasil apakah positif dan negatif butuh proses yang lama. Selama proses itu, ada pasien sembuh sebelum diagnosis, ada juga pasien yang telanjur meninggal. Mengapa banyak yang mati? karena hasilnya lama. Bagi pasien yang menunggu hasil dengan menggunakan alat PCR membutuhkan waktu lama. Maka untuk saat ini bisa dilakukan rapid test secara massal.
Mekanisme penanganan kasus Covid-19 dengan gejala klinis berat akan dirawat di rumah sakit dan statusnya menjadi PDP. Untuk yang ODP yang tidak memiliki gejala atau memiliki gejala ringan, dia harus berada di rumah. Tidak boleh keluar rumah selama 14 hari. Setelah 14 hari berlalu dia juga tidak boleh keluar. Tetap di rumah. Kalau dia pergi ke rumah sakit, maka bisa parah lagi.
Sampai saat ini sudah sejauh mana peran Satgas Covid-19 IDI?
Anggota kami seluruhnya dokter. Mereka yang berada di lapangan akan berhadapan dengan pasien. Kita sudah mendiskusikan dengan pimpinan-pimpinan wilayah dan cabang, serta dokter spesialis untuk berbuat maksimal dan melakukan yang terbaik. Selanjutnya, kita mengindentifikasi jumlah alat pelindung diri (APD). Seminggu yang lalu daerah mengeluhkan APD yang kurang, sekarang sudah terpenuhi. Namun, akan habis dalam kurun waktu satu minggu. Jadi pemerintah harus membuat perencanaan mingguan. Selama satu minggu dicek, setelah itu baru dilakukan penambahan. Kita juga melakukan dialog dan edukasi kepada masyarakat. Kami juga berada di tim Satgas BNPB, ada beberapa dokter yang mewakili kami di sana. Termasuk kami juga sering dialog dengan pemerintah melalui juru bicara pemerintah Fadjroel Rahman.
Mengapa rasio kematian di Indonesia cukup tinggi?
Hingga hari ini (1/4) yang terdeteksi positif baru 1677. Kalau angka kematiannya mencapai 157 orang, seharusnya sudah terdeteksi lebih banyak. Kalau kita menemukan 10.000 jiwa, bisa jadi angka kematianya akan turun.
Bukan karena fasilitas kesehatan yang tidak memadai?
Tidak, karena alat tesnya belum maksimal. Sejuta tes belum maksimal. Masalah lainnya adalah keterlambatan kirim hasil tes ke rumah sakit. Pemerintah sudah terbuka dengan hasil rapid tes. Namun, yang jadi persoalan adalah ketika tes menggunakan PCR. Hasilnya data pasien harus dikirim ke Balitbangnas. Seharusnya dipotong jalur di birokrasinya agar tata laksana Covid-19 cepat.
Berapa jumlah fasilitas rumah sakit yang menangani Covid-19 saat ini?
Saya tidak bisa menjawab itu. Kementerian Kesehatan yang tahu persis angkanya. Yang saya tahu saat ini, pihak rumah sakit merasa waswas.
Menurut Anda keputusan pemerintah memberlakukan pembatasan sosial berskala besar (PSBB) bagaimana?
Iya, pemerintah tidak mau melakukan lockdown. Dalam aturan yang dibuat seharunya sekolah, tempat ibadah, hingga tempat kerja diliburkan. Kecuali rumah sakit, kantor media dan bank. Kenyataanya masih ada tempat kerja yang masih beroperasi. Bisa dikatakan PSBB belum total diterapkan. Kemudian di dalam PSBB juga ada upaya untuk melakukan pembatasan di tempat umum. Faktanya masih banyak mobil dan sepeda motor berada di tempat umum. Selain itu, satu mobil di jalan masih ada yang berisi 4-6 orang, tentu hal itu memudahkan penularan. Berarti kan tidak ada pembatasan di tempat umum.
Kalau tidak mau lockdown, PSBB harus digencarkan. Disiplin harus baik, kalau tidak pemerintah harus turun tangan mengawasi. Physical distancing memerlukan disiplin dari warga. Bisa dengan diawasi oleh lurah dan ketua RT/RW, sekaligus aparat Kepolisian. Intinya tinggal di rumah. Kalau tidak tinggal di rumah, maka harus ada yang jaga kalau bisa ada sanksi.
Bagaimana dengan kebutuhan harian? Tiap orang berbeda-beda situasinya saat ini..
Ini jadi kewajiban pemerintah, tetapi ada kewajiban moral masyarakat dan tetangga sekitar. Sosialisasi PSBB yang boleh dan tidak boleh dilakukan masyarakat juga harus dilakukan.
Perlu melibatkan polisi maupun TNI?
Iya, ini amat serius. Kalau tidak menegakkan disiplin, maka tidak melindungi masyarakat Indonesia. Jadi justru untuk melindungi itu ditegakkan disiplin. Di Australia masyarakat yang keluar rumah ditangkap. Dendanya jutaan Rupiah. Hal itu bukan sewenang-wenang. Indonesia negara demokrasi, tetapi karena saat ini ada pandemi, maka keluar rumah berarti bisa tertular atau menularkan.
Bagaimana agar aparat tidak berbuat berlebihan terhadap masyarakat?
Intinya harus ada undang-undangnya yang mengatur. Banyak negara sudah menerapkan itu. Kita tidak perlu memikirkannya sendiri. Tinggal kita cari negara yang melakukan pembatasan sosial. Ini harus disiplin dan ditegakkan. Katanya, kemarin pak Menkopolhukam, Mahfud MD sudah membuat aturan untuk karantina wilayah, tetapi tidak jadi. Menurut saya, aturan yang sudah disiapkan itu saja dimasukkan ke peraturan teknis. Kan sudah dipikir matang-matang oleh timya pak Mahfud.
Bila PSBB gagal?
Kalau PSBB dilaksanakan dengan baik dan laju kasusnya tidak meningkat pesat, bagus. Kalau gagal, sebaiknya ganti kebijakan dengan karantina wilayah, kalau tidak lockdown. Kalau perlu ganti kebijakan terus menerus. Ini kan tata kelola penanganan Covid-19, makanya harus cepat.
Caranya?
Ada banyak cara untuk memutus jalur penularan virus ini, salah satunya adalah lockdown. Kedua, bisa melakukan physical distancing. Ketiga, melakukan tes massal sebanyak mungkin, minimal 10.000 sehari. Ini minta tolong dikerjakan secepatnya. Kalau kita punya 150.000 (tes) atau 500.000 itu dalam waktu 15 hari habis. Harusnya sudah siap lagi dengan tes berikutnya. Kalau bisa diadakan alat tes yang lebih akurat.
Saat ini sudah banyak alat tes dengan kualitas bagus. Pengadaan alat tes ini harus dengan catatan, yakni ketika pemerintah impor, maka alat tes yang digunakan semestinya sudah pernah berhasil di negara lain, seperti Korea Selatan dan China. Selanjutnya pemerintah harus tegas dalam mengatur arus perjalanan. Penting bagi kita untuk membatasi kendaraan, perjalanan pesawat baik domestik maupun international. Selanjutnya, merekomendasikan isolasi dan karantina mandiri.
Menurut Anda mengapa pemerintah tidak melakukan lockdown?
Keputusan itu mahal banget secara ekonomi. Saya bukan ekonom, tapi perlu ditanyakan kepada ekonom. Tapi saya rasa biayanya sangat mahal. Meski demikian, lockdown itu memunyai harapan yang besar guna mengurangi penyebaran. Negara lain ketika lockdown berhasil, seperti di China yang berhasil menurunkan kecepatan penyebaran hingga 30 persen. Kita tahu di China tidak semua di lockdown.
Daerah mana yang harus di lockdown?
Jakarta! Ini bisa kalau Anda jadi presiden, he he. Ada juga Pemda Papua yang sudah menutup akses pesawat dan pelayaran. Pun di Tegal dan Sumatera. Menurut saya itu salah satu kebijakan yang bagus, positif. Pemerintah daerah bisa mengukur bahwa virus ini membahayakan rakyatnya, sehingga memilih lockdown. Kalau tidak total, bisa dilakukan parsial lockdown. Sementara saya melihat pemerintah pusat tidak tegas. Harusnya semua akses ditutup.