Satu set panel pameran sepanjang 10 meter membentang di lantai dasar pusat perbelanjaan One Belpark, Fatmawati, Jakarta Selatan pada Minggu, 15 Desember 2019. Isinya terbilang tidak lazim. Bukan lukisan atau hasil jepretan fotografi yang menampilkan sosok (potrait), pemandangan (landscape) atau fotografi jalanan (street photography), melainkan sekitar 50 foto rontgen rongga dada dengan paru-paru di dalamnya. Puluhan organ penukar oksigen yang terjiplak pada selembar bahan mirip negatif foto (klise) tersebut milik pengguna rokok elektrik (personal vaporizer) yang dikumpulkan Asosiasi Vaporizer Indonesia (APVI).
Ditemui Jaring.id pada pertengahan Desember lalu, Sekretaris umum APVI, Edy Suprijadi mengaku sengaja memamerkan hasil radiologi pengguna vape (vaper). Melalui kampanye tersebut, pihaknya ingin melawan wacana pelarangan rokok elektrik yang mengemuka akhir tahun ini. Kata dia, deretan foto rontgen yang dipamerkan menunjukkan bahwa dampak penggunaan rokok elektronik tidak seburuk yang dibingkai, baik oleh para ahli maupun media massa.
“Semua khawatir apa benar akan dilarang. Sementara mereka (pengguna vape-red) mengaku, vape sudah menyelamatkan jiwa mereka,” ungkap Edy Suparijadi pada Rabu, 11 Desember 2019 lalu.
Sejak itu, kampanye serupa merembet sampai Surabaya, Jawa Timur dan Bekasi, Jawa Barat. Di Surabaya, kampanye foto rontgen dilakukan Pentolan Vape Jawa Timur (PVJT). Ada sekitar 219 foto rontgen paru-paru para pengguna vape yang dipajang saat itu. “Nanti akan ada di Medan dan Aceh,” tambah Edy.
Lagi-lagi Kesehatan Dikorbankan
Ketua Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI), dokter Agus Dwi Susanto meluruskan klaim pengguna rokok elektrik yang tergabung dalam APVI. Menurutnya, hasil rontgen paru bukan indikator utama untuk memvonis apakah pengguna rokok elektronik sehat atau tidak. Sebab pencitraan radiologi terhadap perokok aktif dapat berubah sewaktu-waktu.
Menurut dr. Agus, dampak rokok elektrik tidak dapat dilihat dalam hitungan jari. Pengguna rokok elektrik yang telah mengonsumsi lebih dari 4 tahun rentan terdampak. Sedangkan penyakit akibat rokok, seperti paru obstruktif kronis (PPOK) dan kanker bisa ditemukan setelah penderita mengisap rokok selama 20-25 tahun.
“Mungkin fotonya masih normal, sehingga dianggap sehat,” kata dokter Agus di Rumah Sakit Persahabatan, Kamis, 12 Desember 2019.
Serupa rokok konvensional, menurut dr. Agus, rokok elektrik mengandung nikotin dan sejumlah kandungan berbahaya penyebab kanker (karsinogen), seperti alkanal, formaldehida, akrolein, toluidina, logam berat dan partikulat. Yang membikin lebih bahaya, kata Agus, ialah takaran nikotin dalam rokok setrum.
“Di vape ada yang tinggi ada yang rendah. Ini uncontrol justru lebih berbahaya,” ujar dokter Agus.
Kandungan ini bisa ditemukan di pelbagai jenis rokok elektrik, mulai portable, desktop, pena maupun yang berukuran lebih kecil, seperti merek JUUL. Rokok setrum berukuran mirip USB ini mendarat di salah satu gerai toko di Cilandak Town Square, Jakarta Selatan pada Oktober lalu. Ini ironis, sebab di negara asalnya, Amerika Serikat, peredaran rokok jenis ini sudah diperketat, baik menghentikan penjualan perasa buah (flavoured pods) maupun peredaran iklan.
“Bayangkan kalau bahan karsinogen dipakai bertahun-tahun? Penyakit yang muncul tidak hanya paru,” ungkapnya seraya menyatakan bahaya lain seperti kerusakan sel yang dapat merangsang peradangan pada paru.
Hasil penelitian Departemen Pulmonologi, Fakultas Kedokteran, Universitas Indonesia dan Rumah Sakit Persahabatan pada 2018 menunjukkan 76,5 persen laki-laki yang menggunakan rokok elektrik secara teratur akan mengalami adiksi atau ketagihan. Selain adiksi, penggunaan nikotin berlebihan, menurut dr. Agus, dapat mempercepat risiko penyakit jantung.
“Nikotin kalau terus dihirup menyebabkan penyempitan pada koroner dan otak yang berujung stroke,” ungkap dokter Agus sembari menunjukkan hasil penelitiannya kepada Jaring.id.
Jurnal respirologi terbitan Perhimpunan Dokter Paru Indonesia pada 2019 sempat memuat hasil penelitian Fakultas Kedokteran Universitas Airlangga (Unair) Surabaya, Jawa Timur mengenai pengaruh asap rokok elektronik terhadap tikus putih (rattus norvegicus). Uji coba yang dilakukan selama 35 hari tersebut menemukan bahwa pajanan asap rokok setrum dengan kadar nikotin seberat 0-3 miligram dapat merusak paru-paru dengan level yang berbeda. Semakin banyak nikotin yang dikonsumsi, menurut dr. Agus, maka semakin besar daya rusaknya.
“Penelitian itu menjadi bukti bahwa rokok elektrik menyebabkan kerusakan paru,“ tegasnya.
Temuan itu selaras dengan hasil riset Prosiding National Academy of Sciences (PNAS). Penelitian yang dilakukan lebih dari 1 tahun tersebut mendapatkan pertumbuhan karsinogen pada organ pernapasan tikus. “(Sedangkan –red) dari 20 tikus yang terpapar asap rokok elektrik tak bernikotin, tidak ada satu pun yang mengalami kanker,” demikian hasil temuan PNAS.
Sementara pada manusia, dr. Agus menyitir peristiwa yang terjadi di Hawai, Amerika Serikat pada 2015. Ketika itu diketahui bahwa pengguna rokok elektrik berusia 21 tahun menderita pneumotoraks tension atau kegagalan paru-paru menukar udara. Akibatnya, udara yang terjebak pada rongga pleura lamat-lamat menekan paru-paru. Awal Oktober lalu, Centers for Disease Control and Prevention (CDC), Amerika Serikat mencatat ratusan korban rokok elektrik sepanjang September 2010-Februari 2014.
Di Indonesia, dr. Agus mengaku tengah mengobservasi salah seorang pasien yang diduga mengalami sakit akibat rokok elektrik. Pasien diketahui mengalami batuk berdarah, sekalipun sudah dilakukan penanganan medis standar. “Kita curiga penyebabnya vaping karena baru tiga bulan dipakai,” jelasnya.
Bahan berbahaya rokok elektrik yang dapat mengganggu fungsi pernapasan, menurut dr. Agus, ialah kandungan minyak. Pasalnya bahan jenis ini memiliki watak yang tidak mudah larut dalam air.
“Beberapa cairan lemaknya ketika terhirup bisa menggumpal di nafas, sehingga bisa menyebabkan peradangan,” pungkas dr. Agus.
Sekretaris Umum APVI, Edy Suprijadi tidak menampik adanya kandungan minyak dalam rokok elektronik. Sebagai seorang brewer atau peramu cairan rokok elektrik, Edy kerap mengoplos nikotin, bahan perasa rokok dengan minyak sawit. Bila merujuk pada produk makanan yang menggunakan minyak sawit, ia mengklaim komposisi tersebut tidak membahayakan kesehatan alias layak dikonsumsi karena berbasis food grade. Dengan begitu, menurut Edy, rokok elektronik layak edar. Terlebih sudah dikenakan cukai oleh Direktorat Jenderal Bea dan Cukai, Kementerian Keuangan. “Bahkan ada perjanjian tertulis harus mencantumkan isi, kadar nikotin, sama tidak mencampur isi dengan zat adiktif seperti narkoba,” ungkap Edy.
Perlu Segera Diatur
Berdasarkan catatan APVI, sampai saat ini ada sekitar 3 juta pengguna vape di Indonesia. Dengan begitu, Edy mengklaim, ada uang sekitar Rp 700 miliar yang sudah digelontorkan ke kas negara melalui cukai sepanjang Oktober 2018-Oktober 2019.
Namun, angka yang disebutkan APVI berbanding terbalik dengan data yang Jaring.id peroleh dari Direktorat Jenderal Bea dan Cukai, Kementerian Keuangan. Kepala Subdirektorat Komunikasi dan Publikasi Bea Cukai, Deni Surjantoro menyatakan cukai rokok elektrik sejak 2018 hingga 27 Desember 2019 mencapai Rp 435,2 miliar atau naik sekitar Rp 336 miliar ketimbang tahun lalu. Jumlah tersebut sesuai dengan penetapan tarif cukai hasil pengolahan lainnya (HPTL) sebesar 57 persen sejak Juli 2018.
Penarikkan cukai pada produk liquid atau cairan rokok setrum diatur melalui Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor PMK-146/PMK.010/2017 tentang Tarif Cukai Hasil Tembakau. Aturan ini mensyaratkan sejumlah rambu yang harus diperhatikan para produsen rokok, antara lain verifikasi usia dan peringatan bahaya nikotin pada kemasan bila ingin mendapatkan cukai.
Deni mengingatkan, penarikkan cukai rokok bukanlah izin edar. Ia hanya merupakan salah satu cara membatasi konsumsi rokok elektrik di pasaran. Apabila produk rokok elektronik tak dikenakan cukai, maka harga di pasaran makin terjangkau.
“Semangatnya ialah bagaimana kita bisa mengendalikan peredaran rokok elektrik, juga membatasi konsumsinya. Kita berharap anak sekolah tidak bisa menjangkau harga tersebut,” ujar Deni kepada Jaring.id, Senin, 30 Desember 2019.
Merujuk tingginya konsumsi rokok elektrik di atas, Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) merasa perlu mengawasi atau bahkan melarang peredaran rokok elektrik. Terlebih lembaga ini sempat melakukan kajian dan menemukan senyawa kimia berbahaya di antaranya logam, karbonil, serta tobacco specific nitrosamines (TSNAs) dalam rokok elektrik.
Meski begitu, Kepala BPOM, Penny Lukito mengaku tidak bisa menindaklanjuti hasil kajian tersebut. Sesuai Peraturan Pemerintah Nomor 109 Tahun 2012 tentang Pengamanan Bahan yang mengandung Zat Adiktif Berupa Tembakau bagi Kesehatan, BPOM hanya dapat mengawasi peredaran iklan dan promosi produk tembakau (rokok), baik melalui media massa maupun media luar ruangan konvensional sampai digital.
Peraturan lain ialah Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 86/2017 tentang Ketentuan Impor Rokok Elektronik. BPOM hanya diminta membuat rekomendasi sebelum produk rokok elektronik beredar.
“Harus ada (perluasan) payung hukum. Kalau belum ada, BPOM tidak bisa mengawasi dan melarang,” kata Penny, dikutip dari detikcom, Senin, 11 November 2019.
Meski begitu, menurut Penny, BPOM sudah menyerahkan hasil kajian terhadap rokok elektrik kepada Kementerian Kesehatan, termasuk Kementerian Perdagangan. “Kementerian Kesehatan yang menjadi lead,” ujar Penny.
Dengan begitu, dia berharap pemerintah segera menetapkan regulasi terkait bahaya rokok elektronik. Hal ini sesuai dengan rekomendasi Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) yang menyatakan agar seluruh negara mempertimbangkan pelarangan atau pengaturan terhadap rokok eletrik.
Di tempat terpisah, Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tidak Menular (P2PTM), dr. Cut Putri Arianie tegas melarang peredaran rokok elektrik. “Tugas kami menjaga masyarakat agar sehat,” kata dokter Putri Arianie saat ditemui di Hotel Puri Denpasar, Rabu, 18 Desember 2019. Ia merujuk Peraturan Pemerintah Nomor 109 Tahun 2012 dan rekomendasi Ikatan Dokter Indonesia (IDI), Pusat Pengendalian Penyakit Amerika Serikat (CDC), Perhimpunan Dokter Jantung, Paru, serta anak.
Ia berpesan agar persoalan kesehatan terkait rokok elektrik diperhatikan semua pihak, baik oleh kementerian terkait, Dirjen Bea Cukai maupun masyarakat. Hal itu selaras dengan Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJMN) untuk mengurangi prevalensi merokok di bawah 18 tahun. Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018 dari Kementerian Kesehatan menunjukkan, angka prevalensi perokok pemula (10-18 tahun) mencapai 9,1 persen. Ketika tidak dikendalikan, dr. Putri pesimistis program RPJMN bakal tercapai.
“Anak-anak generasi masa depan Indonesia harus kita jaga guna mewujudkan SDM unggul sesuai dengan arahan presiden,” tutup Cut Putri.