Sejak kasus Covid-19 pertama diumumkan Presiden Joko Widodo awal Maret 2020 lalu, Ponimin (65) tak lagi bekerja. Warga Tegalharjo, Jebres, Surakarta ini sampai harus memenuhi kebutuhan hidupnya dengan bekerja serabutan sebagai kurir sayuran, barang elektronik, sampai kendaraan bermotor. Saban bulan ia beroleh upah paling banyak Rp 2 juta. Jumlah itu lebih sedikit dari pendapatan dia sebelumnya sebagai pengemudi truk lintas Jakarta-Jawa Tengah.
Tiga bulan berselang Ponimin merasa beruntung namanya masuk daftar penerima bantuan langsung tunai (BLT) dan sembako pada Mei 2020. Dana sosial sebesar Rp 600 ribu diterimanya dalam kurun waktu tiga bulan. Sementara sembako berupa beras, telor, sarden, gula, teh, minyak goreng, mie instan dan gula didapatnya sekali. “Saya diminta mengambil di kantor kecamatan,” ujarnya saat dihubungi Jaring.id pada Rabu, 6 Januari 2021.
Dari uang bantuan tersebut, Ponimin menyisihkan sedikit untuk rokok. Satu bungkus rokok kretek seharga Rp 11 ribu biasanya tandas dalam 2-3 hari. “Uang dapat bantuan tidak semua untuk rokok. Saya satu hari satu bungkus belum tentu habis,” kata Ponimin yang sudah merokok sejak duduk di bangku kelas 4 sekolah dasar.
Tak berbeda dengan Ponimin, Ahmad Rizani (46) mengaku sulit meninggalkan kebiasaan merokok. Saban mendapatkan bantuan, Ahmad selalu meminta jatah rokok kepada isterinya. Padahal warga Ciluar, Bogor, Jawa Barat ini memiliki tanggungan 4 anak usia sekolah.
“Rp 300 ribu mah habis buat makan,” kata Riza kepada Jaring.id saat dihubungi melalui telepon, Rabu, 6 Januari 2021.
Sementara Teguh Susanto (63), warga RT 05, Tegalharjo, Jebres, Solo memilih menggunakan seluruh bantuan tunai sebesar Rp 600 ribu untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. Uang sebesar itu dirasa cukup untuk menambal penghasilannya selama ini. Sebagai pedagang sayur di Pasar Gede Solo, Teguh hanya mampu mendapat penghasilan kotor sebesar Rp 100-200 ribu per hari.
“Meski mendapat bantuan saya tidak belikan rokok maupun alat elektronik. Cukup untuk kebutuhan sehari-hari. Saya tidak merokok,” kata Teguh kepada Jaring.id saat dihubungi melalui telepon, Rabu, 6 Januari 2021.
***
Ponimin, Ahmad, dan Teguh ialah sedikit dari masyarakat yang menerima bantuan perlindungan sosial sepanjang pagebluk Covid-19. Bantuan berbiaya lebih dari Rp 400 triliun ini terbagi dalam 3 jenis program, seperti Program Keluarga Harapan (PKH) sebesar Rp 28,71 triliun, Bantuan Pangan Nontunai (BPNT) Rp 45,12 triliun dan Bantuan Sosial Tunai (BST) sebanyak Rp 12 triliun. Selain itu, pemerintah juga membagikan bantuan melalui Kartu Prakerja (Rp 10 triliun) dan Bantuan Tunai Langsung Dana Desa (Rp 14,4 triliun). Pemerintah menargetkan 10 juta penerima bantuan PKH, 18,8 juta penerima BPNT dan 20 juta untuk program BST.
Warga yang berhak menerima bantuan langsung tunai (BLT) di antaranya mereka yang kehilangan mata pencaharian selama pandemi Covid-19 maupun yang tidak terdaftar sebagai penerima bantuan sosial lain dari pemerintah pusat. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) jumlah penduduk miskin meningkat sebanyak 1,63 juta orang pada Maret 2020. Dengan demikian jumlah penduduk miskin saat ini 26,42 juta orang. Oleh sebab itu, Presiden Joko Widodo mewanti-wanti agar dana bansos dimanfaatkan dengan baik dan tidak disalahgunakan.
“Manfaatkan bantuan ini secara tepat. Jangan dipakai untuk beli rokok. Belikan sembako sehingga bisa mengurangi beban keluarga di saat masa pandemi ini,” ujar Jokowi di hadapan puluhan kepala daerah, Senin, 4 Januari 2021.
Pada kesempatan yang sama, Menteri Sosial, Tri Rismahariani juga melarang bantuan tunai dibelikan rokok maupun minuman keras. Ia meminta masyarakat dan para pendamping mengawasi sekaligus memperingkatkan penerima bantuan untuk tidak sembarangan menggunakan dana bantuan sosial.
“Kami sampaikan juga larangan semua bantuan dibelikan rokok dan miras,” ujar Risma saat menyampaikan laporan penyaluran bantuan tunai untuk 2021 di Istana Negara yang siaran melalui YouTube Sekretariat Presiden, Senin, 4 Januari 2020.
Risma menjelaskan bantuan PKH akan disalurkan setiap tiga bulan sekali selama empat tahap melalui bank milik Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Menurut Risma program BPNT dimulai Januari-Desember 2021 dengan rincian Rp 200 ribu per penerima. Sedangkan bantuan tunai sosial sebesar Rp 300 ribu akan disalurkan selama empat bulan mulai Januari-April 2021 melalui PT Pos Indonesia.
“Gunakan bantuan yang diberikan dengan bijaksana dan tepat guna,” kata Risma.
Imbauan Presiden Jokowi maupun Risma bukan tanpa alasan. Laporan sensus penduduk 2020 menunjukkan bahwa rokok masih menjadi komoditas yang paling banyak dikonsumsi setelah beras. Angka konsumsi rokok di kota bisa mencapai 12,2 persen, sementara di desa sebesar 10,9 persen. Angka ini hampir setengah dari persentase konsumsi beras di perkotaan yang mencapai 20,2 persen dan desa 25,3 persen.
Laporan BPS tersebut selaras dengan angka prevalensi merokok nasional sebesar 29 persen yang dicatat oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO). Dengan begitu, maka Indonesia bercokol di peringkat tiga dunia setelah China dan India. Sementara berdasarkan laporan Riset Kesehatan Dasar (Riskedas) 2018, tingkat prevalensi perokok usia 15 tahun ke atas sebesar 33, 8 persen. Riset tersebut juga menjelaskan ada peningkatan 1,9 persen konsumsi perokok usia 10-18 tahun kurun waktu lima tahun.
Hasil riset yang diterbitkan Pusat Kajian Jaminan Sosial (PKJS) Universitas Indonesia pada 2020 menunjukkan bahwa penerima bantuan sosial memiliki kecenderungan merokok lebih tinggi ketimbang bukan penerima. Peneliti PKJS UI, Teguh Danarto mengatakan, penerima PKH memiliki peluang 11 persen poin lebih tinggi untuk merokok dibandingkan bukan penerima PKH. Sementara itu, penerima Program Indonesia Pintar (PIP) memiliki peluang 9 persen poin lebih tinggi untuk merokok dibandingkan bukan penerima PIP.
“Itu bisa menunjukkan bahwa rumah tangga penerima bansos merokonya lebih tinggi dibanding uang tidak menerima,” kata Teguh saat dihubungi melalui telepon, Rabu, 6 Januari 2020.
Dalam riset tersebut juga dijelaskan bahwa penerima bantuan Program Keluarga Harapan (PKH) memiliki pengeluaran untuk rokok 3,5 batang lebih banyak per minggu. Sementara penerima beras sejahtera (Rastra) diketahui menghisap 4,5 batang rokok lebih banyak. “Penerima PKH memiliki pengeluaran untuk rokok Rp3.660 per kapita per minggu dibandingkan dengan bukan penerima PKH,” tuturnya.
Itu sebab, menurutnya, konsumsi rokok berhubungan secara signifikan dengan kemiskinan. Tiap 1 persen kenaikan belanja rokok meningkatkan peluang terhadap kemiskinan sebesar 6 persen pada rumah tangga. Hal ini yang akan berpengaruh pada tumbuh kembang dan intelegensi anak secara tidak langsung. “Perokok akan mengurangi tujuan mulia dari bansos. Banyak yang diharapkan dari bansos tidak optimal,” ujar Teguh.
Teguh menyarankan agar pemerintah bertindak konkret ketimbang sekadar mengimbau. Kata dia, imbauan tak akan efektif untuk mengubah kebiasaan merokok masyarakat. PKJS mendorong pemerintah agar menerapkan sanksi berupa penghentian bantuan sosial bagi penerima yang perokok, lalu edukasi tentang dampak merokok terhadap kesejahteraan keluarga, serta perlu mengoptimalkan peran pendamping PKH untuk mengedukasi dan melakukan pengawasan ketat penerima bantuan. “Ke depan harus lebih keras,” pungkas Teguh.