Anak usaha Kuala Lumpur Kepong Berhad (KLK), yakni PT Steelindo Wahana Perkasa dan PT Parit Sembada menolak untuk disebut sebagai penyerobot lahan hutan lindung. Sebab dalam hak guna lahan (HGU) sebelumnya, perusahaan diberi izin untuk mengelola 14.000 hektar. Namun ketika memperpanjang HGU yang akan habis pada 2020, izin kelola akan dikurangi sekitar 500 hektar karena terindikasi masuk kawasan hutan.
Pada Kamis, 24 Desember 2022 lalu, Jaring.id bersama Katadata, dan MalaysiaKini menemui Juru Bicara perusahaan, Ikhsan Nurhadi di Belitung Timur. ”Faktanya bukan kami yang masuk ke kawasan hutan, tapi kawasan hutan bergeser ke HGU kami,” ujarnya dalam wawancara yang berlangsung kurang lebih selama 1,5 jam. Berikut petikan wawancaranya:
Bagaimana awal mula proses pengajuan perpanjangan HGU?
Kami perpanjangan kurang lebih pada 2018. Berproses atau 3 tahun sebelum masa HGU berakhir, pada 31 Desember 2020. Prosesnya kami lalui. Mulai dari pengukuran dan sekarang di tahap akhir di kementerian. Semua syarat yang diminta sudah dilengkapi. Sekarang berkasnya di kementerian.
Berapa luasan HGU yang diajukan?
Ada dua perusahaan yang memperpanjang HGU. PT Parit Sembada (PS) dan PT Steelindo Wahana Perkasa (SWP). Untuk luasan PS ada 3990,04 hektar kalau SWP 14.064 hektar
Bagaimana dengan perkebunan yang disinyalir masuk kawasan hutan?
Terhadap tumpang tindih kawasan hutan di HGU perusahaan. Historisnya begini, dulu kalau masuk kawasan hutan, maka tidak ada HGU. Faktanya bukan kami yang masuk ke kawasan hutan, tapi kawasan hutan bergeser ke HGU kami. SK kawasan hutan berubah beberapa kali. Di situ terjadi tumpang tindih karena ada pergeseran kawasan hutan.
Ada berapa lahan HGU yang masuk kawasan hutan?
SWP sekitar 400 hektare. Sedangkan Paris Sembada itu 100 hektare.
Apakah masih ditanami?
Tetap akan ditanam dan proses kami saat ini tengah mengajukan klaim ke Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan. Kami klaim bahwa dari dulu itu HGU kami. Tapi ada juga yang tidak dipanen. Itu masih debatable apakah masuk HGU kami atau bukan. Kami juga masih mencari tahu apakah itu masuk HGU kami atau tidak.
Kami menilai itu dalam status quo. Apakah itu masuk atau tidak. Itu hanya sedikit dan terletak di ujung. Itu yang tidak dipanen. Kami ragu apakah itu masuk HGU kita atau tidak. Kami sedang telusuri. Jadi ada dua, sebagian masuk kawasan hutan lindung, sebagian lagi tidak. Tidak semua bidang itu masuk kawasan hutan.
Akibat pembukaan kawasan hutan menjadi lahan sawit, tidak sedikit satwa, seperti tarsius dan kijang yang mulai sulit ditemui, bagaimana tanggapan Anda?
Itu ibaratnya beda ranah. Kami diberikan izin yang tidak melanggar aturan. Kalau habitat terganggu, kami tidak dapat memastikan apakah habitatnya ada di sini. Belum punya bukti apa-apa juga kami soal itu.
APDESI sempat melaporkan perusahaan karena memasuki kawasan hutan ini, tanggapan Anda?
Kami jelaskan kalau duduk perkaranya bukan kami yang merambah kawasan hutan. SK kawasan hutan yang bergeser. Kami menegaskan banyak pihak tanya ke kami. Namun secara legal hukum, secara legalitas ada.
Terkait plasma, sebetulnya persoalanya di mana?
Sebenarnya kami terimakasih terhadap tim verifikasi yang dibentuk oleh Kementerian Agraria Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional. Sebelumnya ketika ada masalah, semua tertuju ke perusahaan, tapi setelah verifikasi hasil plasma dan calon penerima lahan semakin jelas. Kalau merujuk aturan, kami hanya memfasilitasi. Kalau ada sengketa lahan kepemilikan, tumpang tindih, dan masuk kawasan hutan itu kewajiban dari pemilik lahan untuk menyelesaikannya.
Calon Penerima Calon Lahan (CPCL) dibentuk dalam koperasi, lalu diurus desa, kemudian ditentukan oleh kecamatan, dinas pertanian. Kalau ada kekeliruan dan kecocokan data, kita persilahkan untuk memperbaiki. Kewajiban kami hanya memfasilitasi. Sampai hari ini sedang berjalan.
Kami sudah wanti-wanti. Dalam kerjasama plasma, ada tiga syarat, yakni tidak ada sengketa, lahan tidak tumpang tindih, dan lahan tidak masuk kawasan hutan.
Ada rekomendasi yang diberikan pihak polisi, mengapa tidak dijalankan?
Itu kami ajukan klaim. Rekomendasi mereka kan menggunakan Undang-Undang Cipta Kerja. Nah dalam UU Ciptaker ada di Pasal 110 a dan 110 b mengatur bahwa keberlanjutan yang sudah memiliki hak dan belum memiliki. Ada lagi pengajuan klaim itu sebelumnya memiliki alas hak dan tidak masuk kawasan hutan, kemudian masuk kawasan hutan itu masuk klaim.
Bagaimana kalau HGU tidak diberikan?
Ada dua opsi. Kami akan litigasi ke persidangan. Karena yang berhak menentukan hasil akhir adalah persidangan. Putusan inkrah dan bukan HGU kami, maka kami lepas saat persidangan. Sejauh itu HGU yang telah ada dimanfaatkan. Kalau terlantarkan ada sanksinya juga. HGU nggak akan ada sanksinya.
Artikel wawancara dengan juru bicara anak usaha Kuala Lumpur Kepong Berhad (KLK) di Belitung, Ikhsan Nurhadi adalah bagian ketiga dari 4 artikel mengenai tumpang tindih lahan sawit di Belitung. Jaring.id berkolaborasi dengan Katadata.co.id, dan Malaysiakini.com melakukan peliputan ini berkat dukungan dari The Rainforest Journalism Fund (RJF), Pulitzer Center.