Nurul Sutarti senang bukan kepalang ketika koleganya, Puji Kusmarti terpilih sebagai salah satu komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) Surakarta periode 2018-2023. Dalam pemilihan 3 tahun lalu Puji terpilih bersama Nurul, Joko Waskito, Suryo Baruno, dan Bambang Christanto. Hasil pemilihan tersebut hampir membuat Nurul tak percaya. Sebab selama ini terkesan ada stigma yang melekat di organisasi pemilu tentang keterwakilan perempuan, yakni hanya satu di antara komisioner laki-laki.
“Sebelumnya tidak ada perempuan. Masih banyak yang memandang rendah kemampuan dan kapasitas perempuan,” kata Nurul yang kini menjabat Ketua KPU Surakarta kepada Jaring.id melalui sambungan telepon, Selasa, 8 Maret 2022.
Pada periode sebelumnya, Nurul merasakan sendiri bagaimana susahnya menjadi perempuan di dalam organisasi pemilihan umum. Ia bahkan sempat dianggap tak memiliki kapasitas menjadi komisioner hanya karena dia perempuan. Padahal Nurul memiliki segudang pengalaman karena telah membangun karir dari bawah sebagai petugas penyelenggara pemilu di tingkat kecamatan. “Teman-teman memandang saya tidak ada. Di awal dianggap remeh. Apalagi fisik saya,” ungkapnya.
Di lembaga pemilu tak hanya Nurul yang mengalami diskriminasi gender. Ketua Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Kota Depok, Luli Barlini pun menemui kesulitan serupa ketika menghadapi budaya maskulin di lembaga pengawas pemilu. Dalam proses pendaftaran dan seleksi lalu, misalnya, ia harus menghadapi tim seleksi laki-laki yang tak berperspektif gender. “Patriarkinya kencang. Kami harus be stronger together,” ujar Lili saat dihubungi Jaring.id melalui telepon, Selasa, 15 Maret 2022.
Oleh sebab itu, sejak terpilih sebagai ketua pengawas pemilu, Lili berkomitmen untuk mendahulukan perempuan ketika merekrut panitia pengawas pemungutan suara. Pasalnya dari 11 kecamatan di Depok hanya tiga kecamatan, yakni Kecamatan Sukmajaya, Beji, dan Cilodong yang memiliki panwas perempuan, “sehingga kami tidak punya banyak suara saat pleno. Jadi susah (suara perempuan),” ujarnya.
Nurul dan Lili hanya sedikit dari perempuan yang berhasil menduduki kursi komisioner KPU maupun Bawaslu. Berdasarkan data Pusat Studi Politik (Puskapol) Universitas Indonesia persentase perempuan dalam organisasi pemilu saat ini belum memenuhi ketentuan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum.
Pada pemilihan anggota KPU dan Bawaslu periode 2022-2027, persentase keterwakilan perempuan tak berubah banyak. Dari 7 komisioner, KPU hanya diisi seorang perempuan. Begitu pula dengan Bawaslu yang hanya menyisakan satu tempat bagi perempuan dari 5 kursi komisioner.
Kondisi tersebut tak berubah banyak sejak pemilihan anggota KPU RI 2012-2017 yang hanya sekitar 14 persen atau 1 perempuan dari 7 anggota KPU pusat. Sedangkan Bawaslu RI tercatat hanya 20 persen atau 1 perempuan dari 5 anggota Bawaslu. Kondisi yang sama juga terjadi di daerah. Persentase anggota KPU di 6 provinsi periode 2013-2018 hanya sekitar 15,62 persen atau 5 perempuan dari 32 anggota KPU. Sementara Bawaslu terdiri dari 5 perempuan dari 17 anggota di enam provinsi.
Ketua KPU Balikpapan, Noor Toha menyebut tiga masalah utama yang mengakibatkan perempuan tersingkir dalam proses pemilihan komisioner. Pertama ialah tiadanya sistem karir berjenjang. Dalam proses seleksi komisioner, menurut Noor, tim seleksi kerap memilih komisioner yang berasal dari organisasi masyarakat, akademisi, dan lembaga swadaya masyarakat ketimbang memilih orang yang sudah berpengalaman mengurus pemilu. “Ini kritik terhadap tim seleksi. Kami yang sudah berkarir di KPPS, PPK tersisihkan karena gerbong itu,” kata Noor kepada Jaring.id, Selasa 8 Maret 2022.
Masalah lain terletak pada jadwal tahapan seleksi yang mendekati proses pemungutan suara. Akibatnya tim seleksi tidak punya waktu yang cukup untuk menilai kapasitas dari masing-masing calon komisioner. “Tim seleksi memperhitungkan karena pelantikan anggota mendekati pencoblosan otomatis diutamakan yang paham kepemiluan. Karena tidak ingin risiko yang diutamakan punya basis pengetahuan kepemiluan karena dekatnya penyelenggaraan pemilu,” ujarnya.
Sementara itu, UU tentang Pemilihan Umum dianggap tidak eksplisit menjamin keterwakilan perempuan. Sebab UU hanya memerintahkan agar panitia seleksi memperhatikan perempuan. Kata memperhatikan, menurutnya, tak berarti banyak dari sekadar upaya untuk melengkapi mayoritas komisioner laki-laki.
Oleh sebab itu, baik Nurul, Lili, maupun Toha berharap agar Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) segera mengubah UU Pemilu dengan mewajibkan 30 persen perempuan mengisi kursi komisioner. ”Keterwakilan perempuan 30 persen dalam sebatas pemenuhan formalitas. Ketentuan harus disampaikan kepada pengambil keputusan yang menentukan seleksi. Sebaiknya perempuan wajib ada,” ujar Nurul.
Mereka juga mendorong agar komisioner KPU dan Bawaslu berani membuat peraturan yang isinya mewajibkan keterwakilan perempuan di tingkat daerah. Tanpa itu, sulit bagi perempuan mengambil peran dalam penyelenggaraan pemilu.
Data Puskapol Universitas Indonesia menunjukkan jumlah perempuan yang mendaftar pada proses seleksi lembaga pemilu cukup banyak. Pada periode 2017-2022 terdapat sebanyak 158 orang. Terdiri dari 95 (29,2%) dari 325 orang yang mendaftar di KPU dan 63 perempuan (26,4%) dari 239 orang di Bawaslu RI. “Perlu keberanian pimpinan untuk merekrut perempuan-perempuan,” ia menambahkan.
Berdasarkan UU Pemilu, komisioner KPU maupun Bawaslu berwenang mengangkat anggota penyelenggara pemilu di daerah. Namun, menurut komisioner KPU terpilih periode 2022-2027 yang juga mantan anggota Bawaslu, Mochammad Afifudin, afirmasi yang telah diberikan kerap kali gugur dalam proses seleksi. “Hasil dari timsel kadang tidak ada perempuan, sehingga kami tidak punya pilihan. Meski, kami sudah minta mempertimbangkan dan mendorong afirmasi khusus dari seleksi awal dan proses kami di akhir,” kata Afif.
Afif menilai masalah keterwakilan perempuan yang minim bukan terletak pada regulasi, melainkan implementasi. Menurut dia, afirmasi perempuan di UU sudah lebih dari cukup. “Politik alokatif sudah mengistimewakan. Kalau aturan saya rasa sudah cukup. Perjuangan kesetaraan kalau dikunci dengan wajib, bukan perjuangan itu. Kewajiban yang dipaksa,” kata Afif kepada Jaring.id, Kamis, 24 Maret 2022.
Sementara itu, komisioner Bawaslu terpilih, Puadi mengungkapkan bahwa kompetensi dan kapasitas masih menjadi persoalan utama yang merintangi perempuan mengambil peran lebih dalam penyelenggaraan pemilu. “Kami mencari yang terbaik. Persaingan perempuan dengan laki-laki terjadi persaingan. Ini persoalan kompetensi persoalannya diatur UU. Kami menyampaikan pada saat proses rekrutmen seleksi tetap memperhatikan keterwakilan 30 persen,” kata Puadi kepada Jaring.id, Rabu, 23 Maret 2022.
Puadi berjanji akan memperhatikan alokasi khusus bagi perempuan di Bawaslu. “Bawaslu harus konsisten memperhatikan keterwakilan perempuan, tapi harus punya kompetensi dan kemampuan. Perhatian keterwakilan perempuan menjadi bahan perhatian sekurang 30 persen itu,” ujarnya.
Sebelumnya, DPR mengesahkan tujuh komisioner KPU dan lima Anggota Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) terpilih dalam rapat paripurna, Jumat, 18 Februari 2022. Dari 14 calon komisioner KPU, Komisi II DPR memilih 7 nama yakni Betty Epsilon Idroos, Hasyim Asy’ari, Mochammad Afifudin, Parsadaan Harahap, Yulianto Sudrajat, Idham Holik, dan August Mellaz. Sedangkan dari 10 calon anggota Bawaslu, legislator memilih 5 nama, yakni Lolly Suhenty, Puadi, Rahmat Bagja, Totok Hariyono, dan Herwyn Jefler Hielsa Malonda. Mereka sedianya akan dilantik oleh Presiden Joko Widodo hari ini, Selasa, 12 April 2022.
Anggota Komisi II DPR, Guspardi Gaus mengklaim sudah berupaya mengingatkan anggota untuk memperhatikan keterwakilan perempuan 30 persen. “Saya sudah mencoba imbau sebelum fit and proper test. Sayang tidak sesuai keinginan sebagaimana yang diamanatkan UU,” kata Guspardi Gaus kepada Jaring.id, Senin, 21 Maret 2022.
Kendati demikian, kata dia, UU Pemilu saat ini tidak perlu direvisi karena sudah lebih baik dari sebelumnya. “Kalau mewajibkan tapi kapasitasnya tidak ada, tentu yang jadi korban lembaganya. Maka perempuan harus persiapkan diri agar punya kapasitas dan bersama-sama ikut bertarung dalam proses seleksi,” ujarnya.
Dewan Penasihat Perkumpulan Pemilu untuk Demokrasi (Perludem), Titi Anggraini mengaku kecewa dengan proses seleksi komisioner KPU dan Bawaslu beberapa waktu lalu. “Proses di DPR hampir menjadi pengetahuan bersama, ini proses politik. Kental pragmatisme dari parlemen. Ini belum sepenuhnya inklusif. Seolah pendekatannya minimalis satu saja cukup,” kata Titi kepada Jaring.id, Selasa, 22 Maret 2022.
Tanpa ada dukungan politik di parlemen, Titi menilai sulit bagi perempuan untuk menjadi komisioner di lembaga pemilu. “Ini membuat perempuan kalah saing,” ujarnya.
Ia berharap proses seleksi penyelenggara pemilu di daerah yang akan dimulai tahun depan tidak bernasib sama dengan pusat. Titi mendorong agar komisioner terpilih membikin peraturan ramah gender yang dapat menguatkan pemenuhan keterwakilan perempuan 30 persen di daerah. Berdasarkan catatan KPU RI, terdapat 24 satuan kerja (satker) KPU tingkat provinsi yang akan melakukan rekrutmen pada 2023 dan 9 satker KPU tingkat provinsi pada 2024. Selain itu, di tingkat kabupaten/kota, ada 317 satker yang mesti melakukan rekrutmen pada 2023 dan 196 satker pada 2024.
“KPU dan Bawaslu bisa didorong untuk mendorong tafsir frasa memperhatikan keterwakilan 30 persen. Buat peraturan teknis yang membuat kewajiban bagi proses seleksi. Bagaimana KPU dan Bawaslu merebut tafsir 30 persen dengan membuat suatu kewajiban,” ujarnya.
Tanpa mempertegas keterlibatan perempuan, kata Titi, sulit bagi Indonesia menyusul langkah negara jiran yang telah mendorong afirmasi perempuan. The Global Gender Index Gaps bidang politik menempatkan Indonesia di bawah Filipina, Timor Leste, dan Singapura. Indonesia hanya memiliki angka 0.164 dari skala skor 0-1. Angka ini kalah jauh dari Filipina yang memiliki indeks sebesar 0.363, Singapura (0.208), dan Timor Leste (0.238). “Kebijakan afirmasinya lebih ramah dan terbuka dari Indonesia,” kata Titi.
Ketua KPU (The National Election Commission) Timor Leste, Jose De Costa Belo menyatakan partisipasi perempuan untuk menjadi komisioner di Timor Leste cukup tinggi. Berbeda dengan Indonesia, Timor Leste menggunakan skema perwakilan untuk menjadi komisioner. Meliputi perwakilan dari presiden, kejaksaan, sipil, dan parlemen. Masing-masing mendelegasikan satu orang, sementara parlemen mewakilkan 3 orang. “Ada kewajiban perempuan untuk menjadi komisioner meski minimal satu,” kata Jose Belo sata dihubungi Jaring.id, Selasa, 22 Maret 2022.
Upaya yang dilakukan Timor Leste mendorong keterwakilan perempuan salah satunya melalui regulasi. Menurut Jose Belo, Undang-Undang Pemilihan Umum Timor Leste menekankan semua partai politik yang bertarung dalam pemilihan umum mencantumkan perempuan sebanyak 30-50 persen. “Undang Undang mengharuskan itu,” ujarnya.
Tingginya minat perempuan dalam urusan politik, tak hanya di KPU. Kata Jose Belo, pencalonan kandidat presiden Timor Leste periode 2022-2027 juga diisi oleh perempuan. Dari 16 kandidat sebanyak 4 orang adalah perempuan. “Saya yakin ke depan akan banyak perempuan berpartisipasi dalam pemilihan yang akan datang,” ujarnya.
Pemilihan umum Timor Leste digelar akhir Maret lalu. Dua kandidat teratas, Jose Ramos-Horta dan Francisco “Lu Olo” Guterres bakal kembali berhadapan dalam putaran kedua pemilihan 19 April 2022 nanti. Pasalnya hingga akhir perhitungan hasil perolehan suara putaran pertama pilpres, Ramos-Horta yang unggul lebih dari dua kali lipat perolehan suara Guterres belum mencapai keunggulan lebih dari 50 persen suara.
Sementara Komisi Pemilihan Umum Filipina (COMELEC) dianggap telah merepresentasikan keterwakilan perempuan. Dari 4 komisioner saat ini, dua diantaranya merupakan perempuan. Bahkan, lembaga pemilihan ini diketuai oleh perempuan, yakni Socorro B. Inting. Dalam situs Comelec disebutkan bahwa Socorro memiliki latar belakang hukum.
Saat Inting masuk Comelec pada 2018 lalu, ia mengaku bukan ahli hukum pemilu. “Hukum pemilu asing bagi saya, jadi saya benar-benar perlu belajar,” katanya kepada karyawan Comelec pada Mei 2018. “Tapi, jangan khawatir, saya cepat belajar,” lanjutnya seperti dikutip dari Rappler.
Perempuan yang berasal dari Davao ini—kota di mana Rodrigo Duterte menjabat walikota selama dua dekade—sempat menjabat Hakim Ketua Pengadilan Negeri di Manila dan Jaksa selama 7 tahun. Sebelum menjabat ketua pemilihan pada Kamis, 3 Februari lalu, Inting adalah Ketua Divisi 2 Comelec yang menangani empat kasus terhadap calon presiden 2022 Ferdinand “Bongbong” Marcos Jr.
Sedangkan komisioner perempuan lain, yakni Aimee P. Ferolino tercatat sudah 26 tahun malang melintang mengurus pemilihan umum di Filipina. Ia sempat menjadi asisten pemilu, pengawas pemilu provinsi, sampai bertugas dalam pelaksanaan 4 pemilihan presiden di negara itu. Ferolino sendiri diangkat pada 22 Desember 2020, dengan masa jabatan selama 7 tahun. (Abdus Somad)