“Ketika ada (tindakan) represif dari aparat mereka memecah titik demo ke beberapa tempat. Ini yang bikin aparat kesulitan karena demonya dibagi empat sampai lima di waktu yang bersamaan,” Ivana Kurniawati bercerita dalam diskusi bertajuk Meneropong Gerakan Pro-Demokrasi di Thailand yang diselenggarakan oleh Migrant Care, Selasa, 20 Oktober 2020.
Aktivis perempuan yang tinggal di Thailand sejak dua tahun lalu tersebut mengatakan kalau demonstrasi yang dilakukan masyarakat Thailand direspons dengan aksi represif aparat. Mulai dari penembakkan gas air mata, penyemprotan air bercampur bahan kimia dengan menggunakan meriam air, hingga penangkapan sejumlah pimpinan massa aksi.
“Padahal aksi (berlangsung) damai,” terangnya.
Namun, ia melanjutkan, represifitas aparat tak menyurutkan gelombang demonstrasi yang sudah berlangsung lebih dari Sembilan bulan tersebut. Alih-alih mundur, mereka justru kembali dengan strategi yang lebih ciamik. Beberapa siasat, lanjut Ivana, dipelajari dari demonstrasi yang berlangsung di Hong Kong tahun lalu.
Untuk melindungi diri dari serangan aparat misalnya, banyak demonstran membekali diri dengan payung, pelindung badan, hingga helm. Mereka berdiri di garis depan untuk melindungi demonstran lain dan menghalau serangan gas air mata yang ditembakkan aparat. Sementara itu, pemanfaatan teknologi dilakukan dengan penggunaan Google Maps untuk memberitahu titik kumpul sebelum protes.
Dewi Ratnawulan, peneliti Indonesia yang tinggal di Thailand, punya amatan serupa. Ia menilai pola aksi yang terorganisir rapi tampak dari penggunaan simbol-simbol saat melakukan protes. Dua diantaranya adalah menunjuk kepala untuk meminta helm dan menyilangkan jari untuk melarang barisan melaju.
“Ketika aksi selesai 8 malam, mereka pulang lalu istirahat, besok dilanjutkan kembali,” ujar Dewi.
Ia juga menilai bahwa kreativitas saat demonstrasi merupakan salah satu daya tarik yang membuat anak muda Thailand ikut melakukan aksi. Pada malam hari, ia mencontohkan, massa aksi diminta untuk menyalakan telepon genggam kemudian mengangkatnya ke atas. Setelah itu mereka mengikuti arahan pimpinan unjuk rasa untuk membentuk gelombang cahaya.
***
Demonstrasi di Thailand mengusung tiga tuntutan yakni pengunduran diri Perdana Menteri Prayuth Chan-o-cha, mantan panglima militer yang melakukan kudeta pada 2014 silam; amandemen konstitusi; dan reformasi monarki. Ketiga tuntutan tersebut dilambangkan dalam salam tiga jari, gestur yang dipopulerkan film Holywood The Hunger Games.
Tuntutan reformasi monarki tidak terlepas dari aturan lese-majeste yang melarang warga Thailand menghina kerajaan. Pelanggar aturan tersebut bisa dikenai kurungan penjara hingga 15 tahun. Ivana Kurniawati, aktivis perempuan asal Indonesia yang tinggal di Thailand, menilai protes panjang juga tak bisa dilepaskan dari pembubaran partai oposisi Future Forward Party (FFP) yang pro-demokrasi.
Pada pemilu 2019, FFP memperoleh 80 kursi di parlemen, mendudukannya di posisi ketiga terbanyak. Namun, partai yang baru didirikan pada Maret 2018 harus berumur pendek. Pengadilan Thailand memutuskan membubarkan partai tersebut pada Februari 2020 karena dianggap melanggar aturan soal pendanaan partai.
“Pembubaran partai ini men-trigger anak muda menjadi sadar. Ada yang salah dengan negara mereka. Ini yang membuat mereka melakukan demo,” imbuh Ivana.
Selain itu, kata Ivana, penculikan Wanchalearm Satsaksit—aktivis politik Thailand yang eksil ke Kamboja—yang diduga dilakukan oleh pemerintah dan junta militer juga membikin geram warga Thailand.
“Ini (penculikan-red) sering terjadi, tidak hanya pertama kali. Apa yang membuat generasi muda sangat terpukul karena korban yang dihilangkan adalah generasi muda. Ini yang menjadi pencetus kemarahan generasi muda,” kata Ivana.
***
Sekretaris Jenderal Asia Democracy Network (ADN), Ichal Supriadi menilai penghilangan orang hanyalah pemantik gelombang unjuk rasa.
“Anak muda Thailand sudah memikirkan gerakan mereka. Hanya butuh orang gilang untuk mengubah semua,” kata Ichal.
Gerakan mahasiswa yang terbangun di Thailand, lanjutnya, tidak dapat dipisahkan dari jejaring yang sudah terbangun di Asia. Thailand, menurut Ichal, merupakan tempat konsolidasi gerakan hak asasi manusia antarnegara. Tidak heran banyak gerakan-gerakan di Asia lahir di negeri tersebut.
Ichal meyakini, gerakan dengan menggunakan simbol tiga jari akan berlangsung lama lantaran adanya segitiga kekuasaan di Thailand. Junta militer yang saat ini memerintah, konglomerat, dan kerajaan memiliki kontribusi dalam munculnya serangkaian demonstrasi.
“Ini laboratorium besar di mana masing-masing ingin mempertahankan posisi,” pungkasnya.
Pengkaji studi Muangthai di Flinders University, Adelaide, Australia, Priyambudi Sulistiyanto menjelaskan ada perbedaan gerakan yang berlangsung saat ini dibandingkan dengan era 1970-an. Pada dekade tersebut, ada pertarungan antara junta militer dibantu oleh kerajaan melawan kubu pro-demokrasi yang dilakukan oleh mahasiswa.
“Kalau konteks sekarang gerakan mahasiswa lebih cair. Tidak mengikuti aksi sebelumnya di mana ada tokoh maupun leader,” nilainya.
Lelaki yang menyelesaikan desertasi tentang gerakan politik di Asia Tenggara ini mewanti-wanti para peneliti untuk tidak terburu-buru mengambil sikap dalam melihat gerakan di Thailand. Sebabnya, gerakan yang selalu muncul di Thailand tidak terlepas dari kudeta. Ia menduga apa yang berlangsung saat ini bagian dari karma politik yang tidak pernah diselesaikan.
“Apakah pendukung gerakan mahasiswa didukung oleh konglomerasi atau secara mandiri menggalang dukungan? Perlu hati-hati mengamati,” tutupnya.